Monday, 21 April 2014

Pantai Senggigi; Simbol Kemewahan Lombok

Sebagai ikon Lombok, Pantai Senggigi memiliki segalanya. Akses yang mudah, Pemandangan yang indah, Makanan yang murah, Penginapan yang mewah, dan Penduduk yang ramah. Ah, Tuhan terlalu baik menganugerahi Lombok dengan Senggiginya yang terlampau sempurna.

Setiap sore, selepas sholat Ashar, ketika saya di Mataram, menanti matahari tenggelam di kawasan Pantai Senggigi adalah agenda rutin saya. Ada banyak spot yang bisa digunakan untuk menyaksikan matahari tenggelam di lautan. Dari atas bukit maupun di pasir pantainya langsung. Dari atas, nyiur melambai mengikuti kencangnya angin yang berhembus. Di seberang lautan terpampang puncak tertinggi pulau Dewata, Gunung Agung. Di samping kanan, tiga gili, Air, Meno, dan Trawangan tampak seperti kapal besar yang sedang melepas jangkar, berhenti bergerak. Menjelang magrib, lautan berubah drastis dari biru muda, ungu, kuning, jingga, dan terakhir hitam mengikuti warna cakrawala. Memberikan siluet akan setiap foto yang diambil membelakangi matahari. Beberapa orang sibuk dengan kameranya sementara sisanya takjub dalam diam menyaksikan akhir perjalanan mentari hari itu di Lombok. Menyesap dalam-dalam pemandangan menakjubkan yang suatu hari nanti bisa dipanggil kembali dalam kenangan manis yang membahagiakan.

Jaraknya hanya tiga puluh menit kendaraan motor dari Kota Mataram. Ada juga bis damri yang mengantarkan dari bandara internasional Lombok Praya sampai Pantai Senggigi hanya dengan Rp30.000,00. Jalannya lebar dan mulus kendati menelusur bukit-bukit.

Awalnya saya mengira, untuk akses semudah itu, pasti Pantai Senggigi akan mirip Legian, Bali, terlalu ramai. Namun kenyataannya, akhir Desember 2013, daerah Pantai Senggigi cukup lengang, dengan aktivitas turis asing yang kebanyakan terkonsentrasi di dalam resor/hotel mewah yang tertutup.

Ketika panas matahari mulai turun, paculah motor ke utara jika Anda berada di Mataram. Anda tak akan sendirian, akan ada banyak laron dengan kamera terkalung di leher datang berduyun-duyun menuju arah matahari yang akan tenggelam di lautan

Pantai Senggigi juga dibatasi oleh bukit-bukit yang membuat kontur jalannya naik turun layaknya di pegunungan. Udara pegunungan yang sejuk bercampur dengan udara pantai yang panas menjadikan kawasan Pantai tersebut tidak terlalu terik di siang hari dan tidak terlalu dingin di malam hari. Bukit-bukit tersebut bernama “Baun Pusuk” yang merupakan wilayah konservasi untuk monyet-monyet.

Selain Pantai Senggigi, Spot yang bisa digunakan untuk cangkrukan menanti matahari terbenam ada banyak. Di antaranya ada Pantai Nipah, Pantai Pandanan, Bukit Malimbu I, Bukit Malimbu II, Pura Batu Bolong, dsb. Bisa juga di warung pinggir jalan sambil menikmati jagung bakar. Pokoknya, sepanjang jalan itu bisa dipakai untuk menikmati pemandangan matahari terbenam deh.
pantai nipah
pantai senggigi, dari atas pinggir jalan
the greater senggigi, teluk yang membawa berkah
kapal yang melempar jangkar.
3 gili, (dari ki-ka) trawangan, meno, air
bukit malimbu II, perfect pre wed spot
pura batu bolong
the crowd, kumpulan laron

    


Sunday, 6 April 2014

Surga di Pantai Selatan Lombok Timur



Lombok begitu populer akhir-akhir ini. Dan tentu saja, saya tak mau ketinggalan. Akhirnya, Desember 2013, saya ambil cuti beberapa hari untuk bisa mendapatkan 11 hari pendakian Rinjani sekaligus liburan di Lombok.

Lombok paradiso! @ no name beach
Sepulang dari Rinjani, kaki lecet semua, pinggul, dan pundak pun kelebihan asam laknat laktat akibat memanggul karier 20 kg yang basah selama 3 hari. Harusnya hal itu menjadi alasan yang logis untuk mengistirahatkan sejenak di kasur yang empuk. Namun, tidak bagi saya, eman sudah jauh-jauh ke Lombok, kok malah tidur.

Langsung saya cari rental motor, dan cuss, sorenya sudah jalan-jalan di Pantai Senggigi, Nipah, dan dapat sunset di Pantai Malimbu.

Hari selanjutnya, setelah perih di sekujur kaki sudah bisa diajak kompromi, saya siap untuk melakukan perjalanan panjang lagi. Subuh buta kami sudah mandi dan mempersiapkan motor sewaan kami. Berbekal dengan selembar peta dan setangki penuh bensin di motor, kami menyusuri jalan panjang ke Lombok Timur. Dari Mataram di tepian selat Lombok hingga Jerowaru di tepian selat Alas memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan motor. Ada dua alternative jalan besar yang bisa diambil. Melalui jalur tengah, ataupun jalur selatan (bandara Praya). Saya pilih jalur tengah untuk berangkat dan jalur selatan untuk pulangnya. Jalur tengah lebih berbukit-bukit.

Sepagi itu belum banyak kendaraan yang melitas di jalan raya. Jalanan yang rindang, Rinjani di sebelah kiri, dan persawahan di sepanjang jalan, membuat hati ini bersenandung riang. Perasaan yang sama ketika berkendara di pelosok Kintamani atau pedalaman Gunungkidul. Ahh, nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan?

Sesekali jalanan melintasi ibukota kecamatan yang ditandai dengan perempatan yang ramai dengan cidomo (cikar, dokar, motor), pasar yang ramai dengan aneka hasil bumi, dan tentu saja, ATM. Selepas terminal Sweta, pusat keramaian yang dilalui adalah Narmada, Sedau, Mantang, Kopang, Terara, dan Sikur. Di sepanjang jalan itu pula, saya mendapati banyak papan penunjuk objek wisata yang sayang sekali tidak sempat saya kunjungi karena terbatasnya waktu; seperti Taman Narmada, Air terjun Benang Setokel, Otak Kokok, dan Jeruk Manis. Mudah-mudahan lain kali.


Di Kecamatan Sikur, ambil jalan ke selatan menuju Sakra dan Keruak. Mulai dari Sikur, jalanannya tidak sebesar jalan provinsi seperti sebelumnya dan mulai diperlukan tanya di sana sini agar tidak tersesat. Di Desa Pemokong, terdapat pertigaan yang ke kanan ke arah Ekas sedangkan ke kiri ke arah Temeaq/ Pantai Pink. Saya ambil arah kiri terlebih dahulu.


Pantai Cemara.

Berawal dari kepedean saya yang nekat saja mengikuti aspal tanpa bertanya penduduk lokal, akhirnya saya menemukan pantai ini, padahal niatnya mau ke Pantai Pink.
ini masih indonesia lho Bro.
 Sesuai namanya, di Pantai ini terdapat beberapa pohon cemara yang tumbuh di  antara pasir putih dan semak-semak berduri. Saat itu sepi-eh bahkan tidak ada satupun pengunjung. Belum ada jejak kaki manusia, hanya ada jejak kaki anjing dan kepiting. Pantainya putih dan memantulkan sinar matahari, silau sekali. Di samping pohon cemara terdapat bukit untuk memandang pantai dari ketinggian. Ternyata panjang juga garis pantainya. Di atas bukit ada 4 pohon yang membentuk segiempat. Sungguh fotogenik jika foto di tempat itu dengan begron birunya langit dan air laut yang bergradasi. Saya jadi ngiler pengen foto prewed di sana.
I love this beach. Smooth sand as baby powder
 Yang paling saya suka dari pantai ini adalah pasir nya yang selembut bedak. Jadilah sebotol pasir dari sini saya bawa pulang untuk kenang-kenangan.


Pantai Semerang.

Beberapa kilo dari pantai Cemara terdapat pondok bambu. Lengkap dengan perahu nelayan, beberapa gubuk, dan juga hamparan rumput laut yang sedang dikeringkan. Pantai ini ramai dengan penduduk lokal yang mencari nafkah dari melimpahnya hasil laut pantai selatan. Anak-anak kecil bertelanjang dada tetap tertawa riang ketika difoto meskipun udara saat itu terik sekali. Mereka ramah dan dari merekalah pula saya tahu nama pantai ini.

Meet them, they are so kind!
Pasirnya tidak sehalus pasir Pantai Cemara. Pantainya pun banyak ditumbuhi rumput laut sehingga membuat warnanya agak kecoklatan. Kurang menarik dari segi estetika, tetapi, pengalaman bercengkrama dengan anak-anak lokal di bawah gubuk beratapkan daun kelapa sungguh patut dicoba.


Pantai Tanjung Bloam

Nah, seharusnya, dari SMPN 1 Jerowaru ambil jalan belok kiri di pertigaan yang jalannya rusak parah, bukan lurus yang ke Pantai Cemara tadi. Masih ada sekitar 5 km dengan kondisi jalan berlubang biasa hingga berlubang yang digenangi air seperti kolam (sapi).

Di tengah perjalanan, terdapat pintu masuk pantai Tanjung Bloam yang dipagar kawat berduri dan dijaga dua satpam galak. Katanya pantai itu sudah dibeli oleh orang Jerman bernama mister xxx (lupa -.-“) dan sudah dibangun resort. Jadi hanya pelanggan saja yang boleh masuk kesana.

Damn, mana bisa seperti ini? Pantai kan barang publik. Apalagi dibeli bule. Huff, Indonesia… Malas berdebat dengan dua satpam itu, saya putuskan untuk cari pantai lain saja.


Pantai Pink/ Temeaq

cute, isn't it?
Hanya ada 7 pantai berwarna pink di dunia ini (versi on the spot kali ya), salah satunya di Indonesia, di Pulau Komodo. Lhah? Kok di Lombok ada pantai pink juga? Ada 8 dong jadinya?

Terlepas dari kontroversi jumlah pantai pink di dunia, saya yakin bakal ada lagi pantai pink kesembilan kesepuluh dst yang nantinya akan ditemukan publik di dunia atau bahkan di Indonesia, sebab pasti banyak pantai terpencil yang belum dieksplor/ ditemukan.

Jalan ke pantai pink lebih parah lagi. Pepohonan yang rimbun membuat seakan berjalan di terowongan pohon. Sesekali kita bisa menjumpai gerombolan sapi yang sedang berkubang lumpur di tepi jalan. Ah, tentu saja saya berhenti dan memotret mereka. Sudah lama sekali saya tidak menemukan pemandangan seperti ini.

Sudah ada beberapa pondok di atas bukit di pantai Pink ini. Kamar mandi dan warung-warung pun sudah tersedia. Meskipun jauh, banyak turis asing yang berduyun-duyun ke sini.

Menurut penduduk lokal, pantai ini sudah tidak se-pink dulu karena telah tercampur dengan tanah daratan. Landscape yang sempurna dengan bukit-bukit, pasir kemerahan, dan ombak kecil karena terhalang beberapa pulau yang seolah terapung mengepung pantai ini. Beberapa perahu tertambat di pantai menawarkan pengunjung yang hendak menikmati pemandangan melintasi pulau-pulau kecil tersebut menyusuri Pantai di sepanjang Jerowaru ini.

Warna pink katanya berasal dari pecahan kerang2 warna merah
yang dominan di sini.
Pantai Batu Dagong

Setelah dari Temeaq, saya memilih balik arah untuk menuju kawasan Ekas. Pantai pertama yang saya jumpai ini juga karena tersesat. Kali ini bukan karena tak mau bertanya, tapi memang karena tak ada penduduk lokal untuk bertanya arah. Bahkan saya tak tahu bagaimana cara turun ke pantainya. Saya Cuma mendapati jalan yang berakhir di tepian bukit. Jadilah kami hanya foto-foto dari atas bukit.
Ada pantai di bawah bukit itu.
Cuma saya nggak tau gimana cara turunnya.
 Pantai Sungkun

Setelah bertemu dengan seorang penduduk lokal, saya baru tahu kalau pantai yang di atas bukit tadi bernama Batu Dagong. Dan beliau juga menunjukkan jalan ke pantai lain yang biasanya dicari turis untuk selancar.
Alone Alone! Salah satu favorit saya, cakep!
Pulau kecil di Sungkun, Subhanallah

great barrier coral di Sungkun
Jalan ke Pantai Sungkun dipenuhi ilalang tinggi dengan bunga putih yang melambai tertiup angin. Ketika motor saya berhenti di tepian jalan, sesaat saya menahan nafas. Maha Karya sang Pencipta terpampang di depan mata. Dua buah pulau yang digempur ombak besar-besar mengapung di kejauhan. Pantai di sini dibatasi oleh batuan yang memanjang menghalau gelombang laut yang tinggi. Pasirnya putih bundar-bundar dengan tekstur seperti merica. Tidak ada orang di sana.

Sekilo dari pantai itu, terdapat padang rumput luas dengan bukit-bukit teletabis yang mengingatkan saya akan Jalur Ayak-Ayak Gunung Semeru. Saya ikuti saja jalan setapaknya dan ternyata ia berakhir di pinggir pantai (entah namanya apa) juga. Lagi-lagi tak ada orang. Ahhh, indahhh sekali.
di pantai tak bertuan tak bernama
Ini nyata, di pinggir pantai, bukan di Semeru!
Pantai Surga dan Pantai Planet

Saya mengakhiri perjalanan tur pantai selatan Lombok Timur dengan kurang manis. Saat itu sudah pukul 16.00 dan saya masih berniat blusukan cari pantai-pantai lain. Ada papan penunjuk kedua pantai tersebut. Namun di tengah jalan saya dihadang oleh seorang lokal berkulit coklat, bermata merah, dan berseragam. Dia mengancam agar jangan pernah coba ke Pantai Surga demi keselamatan. Katanya jalannya rusak dan becek dimana-mana sehingga susah dilalui motor, Padahal jelas-jelas saya melihat beberapa turis asing dengan motor matic dan papan selancar berbelok ke arah pantai itu. “Nggak usah saja Mas, lebih baik pulang. Tidak aman” katanya dengan mulut bau alcohol. Terpaksa saya mengalah karena sudah agak sore dan sinyal hp pun tak ada sama sekali sehingga akan sulit menghubungi siapapun kalau terjadi apa-apa, mana masih tiga jam kan ke mataram. Hihi. Coba agak siang dikit, pasti saya nekat ke kedua pantai tersebut. Namanya itu lho, bikin penasaran. Pantai Surga meeen!!

Mission to Heaven incomplete. Next time maybe!
Sebetulnya masih banyak sekali pantai cantik yang ada di semenanjung Jerowaru dan Ekas tersebut kalau kita mau terus menuruti rasa penasaran akan setiap persimpangan jalan. Seperti Pantai Tanjung Ringgit (yang katanya ada mercusuarnya), Ujung Ketangga, Sekarah, Tanjah-anjah, Penyu, Putit, Bagik Cendo, dsb. Semoga lain kali ada kesempatan kesana lagi, sebelum makin banyak Pantai yang dibeli/ dibangun resor oleh orang asing dan dipasang kawat berduri.  

Selamat merencanakan perjalanan ke Lombok ya, Anda. 

   
  



Pantai Jungwok, Adik Perempuan Pantai Wediombo



Dua tahun lalu ketika ke PantaiWediombo, belum saya jumpai papan plang penunjuk jalan ke Pantai Jungwok dari Pantai Wediombo. Kemarin pun, 01 Maret 2014, nama pantai ini belum banyak dibicarakan di dunia maya maupun nyata. Saya nemu nama pantai ini dari teman Gunungkidul yang juga belum pernah ke sana.
 
Hayooo, pilih kemana?



Kami, bersembilan teman sekantor, dengan kereta ekonomi progo, berencana menjenguk rekan kami juga yang baru punya momongan, Alfaro bin Ridwan, di Wonosari. Kami pikir, tak afdol rasanya kalau ke Gunungkidul tanpa main ke pantainya yang juara. Seusai acara, Pukul 16 kami bergegas menuju Pantai untuk menikmati matahari terbenam. Saking banyaknya pilihan pantai, kami sampai bingung menentukan kemanakah kami akan menuju.
NP: lorde, team

Wediombo akhirnya kami pilih karena teluk di pantai ini sempurna menghadap ke barat sehingga kita bisa mendapati matahari kembali ke peraduannya tepat di lautan, berbeda dengan pantai lainnya yang menghadap selatan. Matahari akan tenggelam di balik bukit atau karang.

Saya selalu suka berkendara motor di pelosok Gunungkidul dengan jalannya yang mulus dan sepi, anginnya yang kencang, bukit-bukit kapur yang cantik, dan orang-orang lokal yang selalu tersenyum balik ketika kita menyapa mereka. Adorable!

Pukul 17 kami sudah sampai di Pantai Wediombo. Segera kami dirikan tenda sebelum melakukan aktivitas lainnya. Runyam juga urusannya kalau malam hari tenda belum berdiri. Gelap gulita Fren! 

Di pantai ini ada banyak toilet umum yang buka hanya di siang hari. Kalau malam, hanya kamar mandi di dekat parkiran yang buka. Lumayan jauh dari pantai.

Stunning Sunset
Pukul 17.30 kami tinggal duduk santai di pasir dalam diam menunggu sang bola jingga tenggelam di lautan dengan perlahan. Stunning moment. Saya telah memandangi begitu banyak sunset dan entah kenapa, tak pernah bosan akan sensasinya.
Terlihat ganteng ya, kalau siluet gini -.-"

Malam harinya, kami berdesakan di atas matras sambil makan pisang dan kacang rebus ditemani jutaan gemintang yang tampak lebih banyak dari biasanya. Kegiatan favorit saat gelap gulita adalah bercerita horror. Hiii, kasian dong yang besok pagi kebelet duluan.

Air laut yang pasang memaksa kami memindahkan tenda ke atas karena sudah menyentuh bibir tenda. Setelah itu, kami putuskan untuk segera tidur demi petualangan lain esok hari.

Benar saja, pukul 4 sebelum alarm berbunyi, teman tenda sebelah sudah memanggil-manggil minta diantar ke kamar mandi.

Ketika mengambil wudhu di laut, air yang sedang surut meninggalkan banyak ikan dan biota lainnya terperangkap karang. Ah, Indonesiaku, kau memang bukan lautan tapi kolam susu.

Papan penunjuk di tengah sawah, between Wediombo-Jungwok
Wediombo's little sister: Jungwok
Pukul 5 kami mulai berjalan melalui sawah dan ladang penduduk menuju Pantai Jungwok. Beberapa teman kami salah kostum dengan memakai celana pendek, padahal banyak ilalang tinggi yang lumayan gatal. Sekitar 1,5 km sampailah kami di Pantai Jungwok yang saya deskripsikan sebagai adiknya Pantai Wediombo. Sebuah teluk kecil dengan batuan karang di sebelah timur dan pulau kecil di sebelah barat. Sayang sekali teluk ini menghadap ke tenggara sehingga matahari terbit tidak tepat muncul dari samudera, tapi baru nampak tinggi di atas batuan karang. Seandainya tepat menghadap timur, kombo sunset dan sunrise yang bisa didapat di satu tempat pasti membuat duet kakak beradik Wediombo-Jungwok cepat terkenal. Tak apa, pantai yang sepi ini cukup cantik meski lebih kecil dari Wediombo. Banyak bukit pengamatan yang ditumbuhi nipah dan pandan di belakang pantai ini. Tampak juga beberapa pemancing lobster di atas batu karang.
pulau kecil yang dikepung ganasnya ombak Jungwok
batuan karang di sisi timur yang menghalangi sunrise nya Jungwok
 Pasir pantai Jungwok di sebelah timur didominasi oleh pecahan cangkang hewan laut, sehingga agak tajam. Sementara sisanya adalah pasir bulat seperti merica. Ombak yang cukup besar dan karang yang tajam membuat lecet beberapa tema saya yang nekat mandi di sana.

haram lupa, pose loncat.
talent: Rizkamulia dan Ichin
Puas di Jungwok, kami kembali ke Wediombo yang sudah tidak surut lagi. Beberapa dari kami berloncatan kembali mandi di Pantai. Pukul 8 kami bersemangat melipat tenda dan packing demi perut yang sudah keroncongan dan demi janji ekan kami, Feriwa yang akan menjamu kami di rumahnya.

Pecah di Jungwok! Pecah di Gunungkidul! Thanks Feriwa, Thanks Alfaro!
dalam setiap perjalanan, jangan pernah lupa untuk pulang