Wednesday, 3 September 2014

Rinjani: Sebuah Kisah Pendakian Gagal (Bagian 2)

Dari kami berempat, belum ada yang pernah merasakan badai di gunung, jadi kami belum tahu bahaya apa yang sedang menanti kami nanti malam jika terjadi badai lagi. Karena itulah kami mengabaikan informasi mereka dan tetap melanjutkan perjalanan.
...adalah lanjutan dari kepingan Rinjani: Sebuah Kisah Pendakian Gagal (Bagian 1)

Seharusnya kami lanjut ke sana,
ke puncak
Pagi harinya, ketika membuka pintu tenda, saya dikagetkan dengan beberapa ekor monyet yang nongkrong-nongkrong di atas jembatan depan tenda. Sepertinya mereka menanti pendaki-pendaki bangun untuk meminta remah-remah kue. Simpan bahan makanan atau barang berharga Anda dengan baik karena jika kita teledor menutup pintu, mereka akan masuk dan mengambil sendiri logistik-logistik yang kita bawa.

Monyet (satu saja monyetnya)
di jembatan Pos II
Saya berjalan di sekeliling Pos II. Dalam hemat saya, ini adalah tempat yang sempurna untuk mendirikan tenda. Mata air yang cukup melimpah, cekungan sungai diapit bukit-bukit yang melindungi tenda dari terpaan angin kencang, dan sebuah shelter. Sayangnya saat itu shelter Pos II sudah dipenuhi banyak tenda pendaki lain yang lebih dulu sampai.

Pukul 9, setelah makan pagi dengan tetap waspada dari gangguan monyet-monyet, kami melanjutkan perjalanan. Dari Pos II ke Pos III, kami melawati bukit-bukit kecil dengan pemandangan spektakuler. Aliran sungai penuh batu dan bukit teletabies  di kejauhan memanjakan mata kami sehingga tidak sadar kalau jalanan sedikit-demi-sedikit semakin menanjak. Sampai akhirnya kami sampai di Pos III. Oiya, sedari Pos II, jas hujan tak pernah kami lepas sebab hujan sering turun dengan tiba-tiba.

Tanjakan Penyiksaan dari Pos III
Pos III terletak di pinggir aliran sungai yang cukup deras. Tepat di permulaan rute tanjakan penyiksaan. Kabarnya, di Pos ini jalanan bercabang 2, yang satu ke tanjakan penyesalan, dan satunya lurus ke tanjakan penyiksaan. Saya rasa keduanya bukan pilihan yang bagus. Namun, menurut hipotesa saya, lebih baik tersiksa kan daripada menyesal? Jadilah kami memilih melalui tanjakan penyiksaan.

Tanjakan Penyesalan
Jalan zig zag di bukit itu konon tiada habisnya sambung menyambung
Tanjakan penyiksaan adalah kumpulan bukit-bukit yang saling sambung menyambung menjadi satu. Seperti kata paribahasa, di atas bukit masih ada bukit (hehe, harusnya sih di atas langit masih ada langit). Perjalanan melalui tanjakan penyiksaan serasa tiada habisnya. Di bawah guyuran hujan dan tas carrier yang makin berat karena basah, kami mendaki sedikit demi sedikit tanjakan dengan kemiringan rata-rata tak kurang dari 60 derajat. Yang sedikit menghibur adalah, gunung ini ramai sekali oleh pendaki mancanegara. Perancis, Malaysia, Belanda, China, Australia, Jerman, Belgia, New Zealand, dan UK adalah turis yang paling sering kami temui sepanjang perjalanan. Saat break, biasanya kami ngobrol-ngobrol santai dengan mereka. Kebanyakan mereka bilang “Your country is awesome, cool, etc, etc

Kami naik dari Pos III pukul 10.30 siang. Kami bertemu beberapa pendaki yang turun dan semuanya bilang kalau kemarin malam terjadi badai di atas. Tidak ada dari mereka yang summit karena angin sangat kencang dan mereka sempat menyarankan kami untuk turun saja. Dari kami berempat, belum ada yang pernah merasakan badai di gunung, jadi kami belum tahu bahaya apa yang sedang menanti kami nanti malam jika terjadi badai lagi. Karena itulah kami mengabaikan informasi mereka dan tetap melanjutkan perjalanan. Wong sudah sejauh ini, masa mundur di tengah jalan…

Pukul 16.00 kami sudah tiba di sebuah punggungan bukit dimana tidak ada lagi bukit di atasnya. Saat itu kabut tebal menyelimuti sekeliling hingga mengaburkan pemandangan apa yang terdapat di bawah bukit. Sesaat kemudian angin kencang menyibak kabut dan tampaklah pemandangan di bawahnya. Danau segara anak muncul dari balik kabut. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Plawangan Sembalun.

Plawangan Sembalun
Sudah ada beberapa tenda berdiri di sana. Sebetulnya Plawangan ini tidak terlalu bagus untuk dijadikan tempat berkemah. Letaknya di punggungan bukit tanpa ada cukup vegetasi yang melindungi. Angin berhembus dengan kencang di tempat ini dengan batas jurang di samping kanan dan kiri.

Ketika kabut dan awan tersibak
Danau Segara Anak
Segera setelah membaca situasi, kami mendirikan dua tenda di bawah cerukan pasir yang terkena abrasi angin sehingga membentuk garis-garis di dindingnya. Gerimis masih terus mengguyur saat kami mendirikan tenda. Angin yang berhembus kencang semakin menyulitkan pendirian tenda kami. Meskipun telah dipasang semua pasak, tetap saja tenda terangkat ketika angin kencang menerpa.

Setelah gelap, suasana berubah mencekam. Angin yang menggesek dedaunan dan pasir menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Makin malam, angin berhembus makin kencang saja. Ditambah dengan hujan yang deras, membuat tenda kami bocor dimana-mana. Kilat menyambar-nyambar ditambah suara gemuruh mirip setting film horror jaman dulu.

Pukul 10 malam, terdengar gaduh-gaduh tenda sebelah diterbangkan angin. Kami tak berani keluar membantu atau melihat mereka, sebab hujan sangat deras sementara ponco kami terbang entah kemana. Kami berdua berusaha memposisikan diri di pojok-pojok tenda menahan pasak agar tidak diterbangkan angin juga.  Jika kami keluar, mungkin tenda kami akan terbang juga. Di balik sleeping bag, tiada henti-hentinya kami berdoa, beristighfar, memohon ampun atas segala dosa yang tiba-tiba terlintas begitu saja di kepala satu per satu. Kami menggigil bukan hanya karena kedinginan oleh rembesan air hujan melalui tenda yang bocor, tapi juga karena menyadari, betapa dekatnya kami dengan maut saat itu.

Yang ditinggalkan badai semalam
Sampai pukul 2 pagi kami masih terjaga karena khawatir dengan suara badai di luar dan tenda yang terangkat-angkat di ujungnya. Apalagi kami tahu betul kalau di depan dan belakang punggungan Plawangan ini adalah jurang-jurang yang dalam. Yang jelas, mustahil kami menjalankan rencana untuk summit nanti subuh dengan kondisi belum tidur semalaman. 
Sekalipun kami gagal, ada banyak memori
dan oleh-oleh yang kami bawa pulang
Terimakasih ya Allah
Terimakasih Rinjani

to be continue... (bagian 3)