Dari kami berempat, belum ada yang pernah merasakan badai di gunung, jadi kami belum tahu bahaya apa yang sedang menanti kami nanti malam jika terjadi badai lagi. Karena itulah kami mengabaikan informasi mereka dan tetap melanjutkan perjalanan.
...adalah lanjutan dari kepingan Rinjani: Sebuah Kisah Pendakian Gagal (Bagian 1)
Seharusnya kami lanjut ke sana, ke puncak |
Pagi harinya, ketika membuka pintu tenda, saya
dikagetkan dengan beberapa ekor monyet yang nongkrong-nongkrong
di atas jembatan depan tenda. Sepertinya mereka menanti pendaki-pendaki bangun
untuk meminta remah-remah kue. Simpan bahan makanan atau barang
berharga Anda dengan baik karena jika kita teledor menutup pintu, mereka akan masuk dan
mengambil sendiri logistik-logistik yang kita bawa.
Monyet (satu saja monyetnya) di jembatan Pos II |
Saya berjalan di sekeliling Pos II. Dalam hemat
saya, ini adalah tempat yang sempurna untuk mendirikan tenda. Mata air yang
cukup melimpah, cekungan sungai diapit bukit-bukit yang melindungi tenda dari
terpaan angin kencang, dan sebuah shelter.
Sayangnya saat itu shelter Pos II sudah dipenuhi banyak tenda pendaki lain yang
lebih dulu sampai.
Pukul 9, setelah makan pagi dengan tetap waspada dari gangguan monyet-monyet, kami melanjutkan perjalanan. Dari Pos II ke
Pos III, kami melawati bukit-bukit kecil dengan pemandangan spektakuler. Aliran
sungai penuh batu dan bukit teletabies di kejauhan memanjakan mata kami sehingga
tidak sadar kalau jalanan sedikit-demi-sedikit semakin menanjak. Sampai
akhirnya kami sampai di Pos III. Oiya, sedari Pos II, jas hujan tak pernah kami
lepas sebab hujan sering turun dengan tiba-tiba.
Tanjakan Penyiksaan dari Pos III |
Pos III terletak di pinggir aliran sungai yang cukup deras.
Tepat di permulaan rute tanjakan penyiksaan. Kabarnya, di Pos ini jalanan
bercabang 2, yang satu ke tanjakan penyesalan, dan satunya lurus ke tanjakan
penyiksaan. Saya rasa keduanya bukan pilihan yang bagus. Namun, menurut hipotesa saya, lebih baik tersiksa kan daripada menyesal? Jadilah kami memilih melalui tanjakan penyiksaan.
Tanjakan Penyesalan Jalan zig zag di bukit itu konon tiada habisnya sambung menyambung |
Tanjakan penyiksaan adalah kumpulan bukit-bukit
yang saling sambung menyambung menjadi satu. Seperti kata paribahasa, di atas
bukit masih ada bukit (hehe, harusnya sih di atas langit masih ada langit). Perjalanan
melalui tanjakan penyiksaan serasa tiada habisnya. Di bawah guyuran hujan dan
tas carrier yang makin berat karena basah, kami mendaki sedikit demi sedikit
tanjakan dengan kemiringan rata-rata tak kurang dari 60 derajat. Yang sedikit menghibur
adalah, gunung ini ramai sekali oleh pendaki mancanegara. Perancis, Malaysia,
Belanda, China, Australia, Jerman, Belgia, New Zealand, dan UK adalah turis
yang paling sering kami temui sepanjang perjalanan. Saat break, biasanya kami
ngobrol-ngobrol santai dengan mereka. Kebanyakan mereka bilang “Your country is awesome, cool, etc, etc”
Kami naik dari Pos III pukul 10.30 siang. Kami
bertemu beberapa pendaki yang turun dan semuanya bilang kalau kemarin malam terjadi badai di atas. Tidak ada dari mereka yang summit
karena angin sangat kencang dan mereka sempat menyarankan kami untuk turun saja. Dari
kami berempat, belum ada yang pernah merasakan badai di gunung, jadi kami belum
tahu bahaya apa yang sedang menanti kami nanti malam jika terjadi badai lagi.
Karena itulah kami mengabaikan informasi mereka dan tetap melanjutkan
perjalanan. Wong sudah sejauh ini, masa
mundur di tengah jalan…
Pukul 16.00 kami sudah tiba di sebuah punggungan
bukit dimana tidak ada lagi bukit di atasnya. Saat itu kabut tebal menyelimuti
sekeliling hingga mengaburkan pemandangan apa yang terdapat di bawah bukit.
Sesaat kemudian angin kencang menyibak kabut dan tampaklah pemandangan di
bawahnya. Danau segara anak muncul dari balik kabut. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga
di Plawangan Sembalun.
Plawangan Sembalun |
Sudah ada beberapa tenda berdiri di sana.
Sebetulnya Plawangan ini tidak terlalu bagus untuk dijadikan tempat berkemah.
Letaknya di punggungan bukit tanpa ada cukup vegetasi yang melindungi. Angin
berhembus dengan kencang di tempat ini dengan batas jurang di samping kanan dan
kiri.
Ketika kabut dan awan tersibak Danau Segara Anak |
Segera setelah membaca situasi, kami mendirikan
dua tenda di bawah cerukan pasir yang terkena abrasi angin sehingga membentuk garis-garis
di dindingnya. Gerimis masih terus mengguyur saat kami mendirikan tenda. Angin
yang berhembus kencang semakin menyulitkan pendirian tenda kami. Meskipun telah
dipasang semua pasak, tetap saja tenda terangkat ketika angin kencang menerpa.
Setelah gelap, suasana berubah mencekam. Angin
yang menggesek dedaunan dan pasir menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Makin
malam, angin berhembus makin kencang saja. Ditambah dengan hujan yang deras, membuat
tenda kami bocor dimana-mana. Kilat menyambar-nyambar ditambah suara gemuruh mirip setting film horror jaman dulu.
Pukul 10 malam, terdengar gaduh-gaduh tenda
sebelah diterbangkan angin. Kami tak berani keluar membantu atau melihat mereka,
sebab hujan sangat deras sementara ponco kami terbang entah kemana. Kami berdua
berusaha memposisikan diri di pojok-pojok tenda menahan pasak agar tidak
diterbangkan angin juga. Jika kami
keluar, mungkin tenda kami akan terbang juga. Di balik sleeping bag, tiada henti-hentinya kami berdoa, beristighfar, memohon
ampun atas segala dosa yang tiba-tiba terlintas begitu saja di kepala satu per
satu. Kami menggigil bukan hanya karena kedinginan oleh rembesan air hujan
melalui tenda yang bocor, tapi juga karena menyadari, betapa dekatnya kami
dengan maut saat itu.
Yang ditinggalkan badai semalam |
Sampai pukul 2 pagi kami masih terjaga karena khawatir
dengan suara badai di luar dan tenda yang terangkat-angkat di ujungnya. Apalagi
kami tahu betul kalau di depan dan belakang punggungan Plawangan ini adalah
jurang-jurang yang dalam. Yang jelas, mustahil kami menjalankan rencana untuk summit nanti subuh dengan kondisi belum
tidur semalaman.
Sekalipun kami gagal, ada banyak memori dan oleh-oleh yang kami bawa pulang Terimakasih ya Allah Terimakasih Rinjani |
to be continue... (bagian 3)