Puncak Pangrango dari Puncak Gede been there, alhamdulillah |
Setelah menyelesaikan simaksi
jalur Cibodas, kami bergegas memulai mengayunkan langkah langkah sampai 7 km ke
depan menuju Kandang Badak. Pukul 10.30 kami mulai berjalan. Rombongan ini terdiri
atas empat orang. Saya, Zein, Dans, dan Mas Alam. Kesemuanya teman sekantor. Khusus Zein, dia baru pertama kali naik gunung. Mari kita lihat bersama
kelak, apakah selanjutnya dia tertular virus “rindu ketinggian” atau tidak.
Pos pertama yang kami jumpai
setelah tiga puluh menit perjalanan adalah telaga biru yang saat itu warnanya
hijau. Jalannya sedari awal sudah berupa tangga berbatu. Entah kenapa, saya
malah kurang suka dengan trek yang rapi seperti ini. Terasa lebih vertikal,
kasihan kaki ini pas turun nanti.
Jembatan Rawa Gayonggong |
Beberapa saat kemudian, kami
sampai di Rawa Gayonggong. Sebuah wilayah becek yang untungnya sudah dibuatkan
jembatan beton panjang dan cantik. Saya jadi paham kenapa di papan informasi di
Balai Besar tadi disebutkan kalau TNGGP adalah Taman Nasional terbaik di
Indonesia. Kalau dari segi fasilitas, saya mengamini. Tapi kalau dari segi
lainnya, hmmm, nanti dulu.
team Jomblo-Jomblo-Jomblo-Jomblo #eh |
Sejam sudah kita berjalan dan
kita sudah sampai di pertigaan air terjun Cibereum. Pengunjung umum hanya boleh
mendaki sampai pertigaan ini untuk kemudian berbelok ke kanan menuju air
terjun. Asyik, berarti muda-mudi pacaran,
dan remaja-remaja haha hihi nggak
akan sering-sering ditemui lagi setelah ini.
Setelah pertigaan, jalurnya cukup
menanjak selama 140 menit sampai Kandang Batu. Di kandang batu terdapat shelter
dan sungai yang deras. Tempat yang cukup ideal untuk istirahat. Kami pun
sejenak break untuk sholat Dzuhur dan
makan siang nasi bungkus yang dibeli dari Cibodas.
Selepas Kandang Batu, kami
mendapati papan peringatan bahwa kami akan melewati air panas. Sandal saya
ganti sepatu saking takutnya dengan tulisan-tulisan di blog orang yang katanya
airnya benar-benar panas. Nyatanya? Ya memang panas, tapi ngga sampai mendidih
kok (Baliknya saya turun pakai sandal). Sejauh ini, rute air panas adalah
favorit saya sepanjang pendakian Gede Pangrango. Air terjun dan sungai yang
mengepul, batuan yang licin, dan jurang di samping kanan sungguh mendebarkan.
Oiya, di sini jalurnya agak macet, karena kami jalannya pelan-pelan. Beberapa
ada yang sengaja berhenti di tengah-tengah untuk foto selfie dulu dengan begron
air terjun panas.
selfie di air panas kayak gini nih yang bikin macet |
Terjun ke jurang langsung tuh, ngeri-ngeri sedap |
Dari air panas ke kandang badak
memakan waktu sekitar 60 menit melewati aliran sungai yang agak keputih-putihan
karena bercampur belerang. Hati-hati, air di aliran sungai ini tidak bisa
diminum ya. Ke atas lagi, kami bertemu dengan air terjun kecil bernama Pancaweleuh.
Di sini saya berpapasan dengan banyak pendaki yang turun. Banyak dari mereka
mengatakan kalau lahan untuk camp di kandang badak sudah hampir penuh, lebih
baik kembali saja ke kandang batu. Haseem.
Bukannya berbalik, saya malah mempercepat langkah dan mulai sprint meninggalkan rombongan untuk
segera mengecek dan menge-tag tempat untuk mendirikan tenda. Alhamdulillah,
dapat juga. Saat itu pukul 16.00.
air terjun Pancaweleuh |
Segera setelah tenda berdiri,
saya bersama Dans mengemas tas kecil untuk tempat minum, headlamp, kamera, jas hujan, P3K, dan makanan ringan. Kami
lanjutkan mendaki Gunung Pangrango.
Kami bertemu dengan seseorang yang
juga ingin ‘tektok’ naik Pangrango. Katanya sedari siang ia menunggu barengan
untuk naik tapi ngga ketemu juga. Jadilah kami bertiga mulai naik dari Kandang
Badak pukul 16.30. Saat itu saya berpesan sambil bercanda sama dua teman yang
tinggal di Kandang Badak agar mulai mencari kalau jam 10 malam kami belum
kembali.
Puncak Gede, dilihat dari jalur Pangrango |
Kami bertiga rupanya punya visi
yang sama, “nggak ingin kemalaman di jalan”. Jadilah kami, yang sama-sama belum
pernah tahu medan yang akan kami hadapi, dengan semangatnya, sprint di sepanjang jalur. Sepertinya
lebih jarang yang naik Pangrango, sebab, jalurnya masih sangat rimbun dan
banyak pohon tumbang di tengah jalan. Sejam dua jam terus menanjak tiada
habisnya. Gelap tak terhindarkan. Hanya doa dan pita-pita yang dililitkan di
pohon yang kami andalkan sebagai penunjuk jalan.
Setelah 2 jam mendaki, barulah
kami bertemu beberapa pendaki yang turun. Apa yang kami dapat? Bukannya
semangat, tapi mereka malah bilang kalau puncak masih lama, sekitar tiga jam
lagi. Dibilangnya, mereka tadi naiknya sampai 5 jam. “Sebaiknya turun saja kalau tidak bawa tenda, daripada kemalaman”.
Seketika itu juga kaki kami lemas. 3 jam lagi? Selama ini dan sejauh ini kami
melangkah, masih 3 jam lagi? Dalam hati saya mengutuk pendaki-pendaki tersebut.
Uasemm, wong di blog-blog dijelaskan
kalau ke Pangrango hanya butuh 2,5 jam perjalanan dari Kandang Badak kok. Artinya, kami hanya kurang setengah
jam lagi. Padahal sedari tadi speed
kami tidak berkurang, kok masih selama itu. Hoax
paling, pikir saya.
Kami bertiga sepakat untuk
meneruskan mendaki meski dengan ketidakpastian. Sayangnya, sepanjang perjalanan
kami bertemu pendaki turun yang sepertinya mereka tidak belajar etika menyemangati sesama pendaki.
Bukannya memberi energi, mereka malah seperti melumpuhkan sendi-sendi kami
dengan berkata “puncak masih jauuh
sekali, turun saja”.
Azam kami yang kuat akhirnya
membuahkan hasil. Di tanjakan yang ekstrim menjelang puncak, angin berubah
kencang dan udara mendadak sangat dingin. Mungkin ada dementor. Artinya,
ruang terbuka sudah dekat dan mungkin itu adalah puncak.
Akhirnya, Puncak tertinggi kedua
di Jawa Barat ada di depan mata dengan penanda bangunan dan sebuah tugu bertuliskan
3019 mdpl. Alhamdulillah. Tepat 2,5 jam perjalanan cepat kami tempuh untuk
sampai puncak Pangrango. Kami berhenti sejenak untuk menunaikan sholat maghrib.
Pondok di Puncak Pangrango |
Selepas sholat, kami kembali
turun. Saya tahu ini akan menjadi masalah lebih besar ketimbang perjalanan naik
tadi. Udara yang lebih dingin (karena sempat berhenti), malam yang semakin
pekat, dan tubuh yang semakin lapar. Bismillah, dengan sesekali merosot dan
meluncur kami turun. Rupanya tak banyak waktu yang dapat kami hemat dalam
perjalanan turun. Setidaknya 2 jam lebih juga waktu yang kami butuhkan untuk
turun.
#teamPangrango |
Ketika kami menjumpai rombongan pendaki yang masih naik, kami katakan
dengan jelas kalau puncak mesih sekian menit lagi, memberikan kata-kata
motivasi, dan saling menyapa santun.
Pukul 10 kami sampai di Kandang
Badak dan mendapati 2 tenda kami sudah gelap plus dengkuran dari kedua rekan
kami yang sudah tertidur pulas. Ketika kami membuka tenda, ada sebuah kertas
yang isinya “kalau mau masak, logistic ada di tendamu semua”. Duh, jadi kami ngga disisain makanan ya?
#hiks #suddenly #brokenheart #kram #ngantuk #pengentidur #tapilaper