Thursday, 10 July 2014

Pendakian Gede (sekaligus) Pangrango Bagian 3: Puncak Gede

Sang Saka di 2958 mdpl
Tilut tilut tilut tulalit tulalit tulalit…

Mendengar bunyi alarm hp, saya tidak serta merta beranjak dari kantung tidur yang hangat, tapi saya tambah additional time nya 10 menit. Nanti lah jam 3.10 bangun lagi.

Tilut tilut tilut tulalit tulalit tulalit…

Astaga, cepat sekali 10 menitnya, alarm sudah bunyi lagi! Terpaksa saya bangun. Saya agak kasihan sama Dans, teman setenda, yang semalam baru tidur jam 22.30 setelah senam dengkul di trek Pangrango. Jadilah saya tidak bergegas membangunkannya.

Saya mulai memasak mi instan biar nggak lemes waktu summit Gede. Setelah sekian kali mencoba mendaki Gunung, saya jadi paham satu hal penting. “Bagaimanapun keadaannya, di gunung, kita harus tetap kenyang”. Lapar adalah sumber segala petaka, bisa masuk angin, pusing, nggak konsentrasi ketika meniti jalan di pinggir jurang, dsb. Bisa runyam kan urusannya kalau sakit di gunung. Jadilah saya bela belain masak terlebih dahulu. Mi instan jadi alternative makanan cepat saji yang lazim jadi andalan pendaki gunung. Dan memang, bisa saya katakan, rasa mi instan terbaik muncul ketika kita ada di atas ketinggian.

Setelah mi instan matang, barulah saya bangunkan ketiga teman saya. Pukul 3.30, kami baru selesai makan dan persiapan packing untuk summit Gede. Kita tak boleh meremehkan trek apapun. Obat P3K, jas hujan, headlamp, snack/coklat, minum, dan kamera diungkus rapi dalam 2 ransel kecil. Bismillah, we are ready!

Kalau kemarin ke Pangrango kita mengambil arah kanan dari pertigaan kandang badak, kali ini ke Puncak Gede, kita pilih yang lurus. Jalurnya didominasi tanjakan dan pepohonan lebat di kanan kiri. Menguntungkan sih ada pepohonan seperti itu. Jadi, kita bisa pegangan ketika naik maupun turun. Angin pun tidak terlalu kencang karena terhambat dedaunan.

jalur ke puncak Gede
Jalurnya cukup jelas meskipun saat itu masih gelap gulita. Cukup besar pula kemungkinan kita untuk berpapasan/menyalip pendaki lainnya bila dibandingkan dengan track menuju Puncak Pangrango yang lebih sepi peminat. Jadi, kita tak perlu takut tersesat sekalipun mulai summit pukul 3 pagi.

Setelah satu jam perjalanan, kami menjumpai tanjakan setan. Hiii, serem amat ya namanya. Kenyataanya memang serem juga sih. Tanjakannya memiliki kemiringan hampir 80 an derajat tapi sudah banyak dibantu dengan tali temali dan pijakan yang cukup aman meski kelihatannya licin saat musim penghujan. Akan sulit juga kalau naik sambil bawa kerier besar. Dengan ketinggian hampir 20 meter, tanjakan setan, menurut saya, adalah bagian paling manarik sepanjang Kandang Badak - Puncak Gede. Terjadi antrian yang lumayan ketika naik ataupun turun tanjakan setan.

Jalur Alternatif
Bagi yang fobia ketinggian, sebelum tanjakan setan, dibuka jalur baru tanpa melewati tebing tanjakan setan. Jalurnya agak berputar ke kiri dan nanti bertemu di atas. Ini bisa jadi pilihan, tapi menurut saya, dengan jalur baru tersebut kurang seru sensasinya jika dibandingkan bergelantungan, mbediding, dan gemeteran ketika kaki kesulitan mencari pijakan kaki yang aman di tanjakan setan.

Setelah tanjakan setan, vegetasi mulai berkurang. Efeknya, angin terasa berhembus kencang. Tidak banyak tanaman edelweiss di sini. Kabarnya, edelweiss tumbuh suburnya di alun-alun Suryakencana (untuk Gede) dan alun-alun Mandalawangi (untuk Pangrango). 

Ngomong-ngomong soal Mandalawangi, jadi ingat tentang Soe Hok Gie dalam film Gie. Ia hobi sekali naik TNGGP dan berfilosofi di alun-alun Mandalawangi. Banyak setting film itu diambil di sana yang menandakan betapa seringnya ia dan teman-teman kuliahnya di UI naik TNGGP.

“Mandalawangi-Pangrango” 
oleh Soe Hok Gie


Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu


Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu


Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tetang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku


Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semata


Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua


“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”


Dan di antara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara

Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu


Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup


Djakarta, 19 Juli 1966
Soe Hok Gie


Mendekati puncak, banyak dijumpai rombongan yang memilih mendirikan kemah di sana. Di antara sedikit perdu-perdu yang melindungi tenda mereka dari kencangnya angin yang dapat menerbangkan pasak. Namun memang pemandangan di sini lebih spektakuler dibandingkan di Kandang Badak yang tertutup pohon-pohon tinggi. Jurang di sisi utara dan selatan menjadi pembatas daerah tersebut. Di sisi utara, Kota Bogor dan Jakarta, serta laut jawa di kejauhan membatasi daratan dengan langit. Lampu-lampu kota tersebar bagaikan kunang-kunang yang sedang kumpul keluarga.

Tak seberapa jauh dari sana, tugu puncak Gede, 2958 mdpl terpancang menandai tanah tertinggi ketiga di Bumi Sunda setelah Puncak Ciremai dan tetangga seberang, Puncak Pangrango.

Riuh rendah suara pendaki yang telah sampai di sana membuat saya lupa melakukan ritual sujud syukur di setiap puncak gunung yang saya kunjungi. Sebagian besar mengantri untuk berfoto selfie di papan nama 2985 mdpl, sisanya mengelilingi penjual nasi uduk dan teh panas yang laris manis.

Pangrango
Pemandangan yang paling menakjubkan di Puncak Gede adalah kerucut Pangrango yang gagah menjulang di seberang jurang. Ia lebih hitam dari malam, lebih angkuh jika dilihat dari jauh. Terharu saya semalam berhasil ngesot ke sana. Allohuakbar.

Sekumpulan kabut tipis yang naik menyisakan gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang tampak kecil di kejauhan dibandingkan dengan daratan tigaribu meter ini.

#
Setelah mengabadikan beberapa gambar, saya bergegas turun karena perut sudah mulai lapar lagi. Seperti kisah-kisah pendakian saya yang lain, jika dibandingkan naik, saya lebih tidak suka turun gunung. Selain memang lebih menyiksa dengkul, turun juga berarti meninggalkan Puncak yang indah di atas sana dan mendatangi Jakarta dan rutinitas di hari kerja (lagi). Hmm, tetap harus disyukuri sih ya, Alhamdulillah.

Sampai di Kandang Badak, kami memaksakan diri memasak sebagian besar logistic yang masih banyak agar tidak terlalu berat. Sisanya, diberikan ke tenda sebelah.

Meski dari pos Cibereum sampai bawah kami diguyur hujan lebat, sepiring nasi goreng panas di sebuah warung di dekat Balai Besar Cibodas menghangatkan lagi suasana hati yang sempat kebas. Tsaaah. :D Sampai jumpa di catatan perjalanan selanjutnya ya.