Saturday 26 February 2011

SURYA DEWI WAHYUNINGRUM

(salah satu kisah teman saya, dia ingin memberi inspirasi dan motivasi kepada orang lain. dan karena kami se-visi, saya juga mencoba membuat kisah ini menyebar luas)


Kilas balik 6 tahun lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Guruku pernah bertanya, " Kamu mau ngelanjutin SMA kemana?"
"SMAN 1 Sooko (sebuah sekolah bertaraf internasional di mojokerto), Bu", jawabku.
"Trus, mau kuliah dimana?ambil jurusan apa?", beliau bertanya lagi.
"ITS,Bu! Teknik Kimia", jawabku mantap.

Alhamdulillah untuk masuk SMAN 1 Sooko tercapai. Meski harus nangis memohon-mohon agar tidak dipindahkan ke tempat mbah, di Trenggalek, yang notabene biaya apapun terjangkau dan murah daripada di Mojokerto. Tapi waktu itu pemikiranku sempit sekali, "hah, sekolah di Trenggalek? aku takut ketinggalan jauh dengan teman-temanku di sini."
Padahal banyak anak olimpiade dari sana. Aku sadar kalau biaya SMAku di Mojokerto nanti akan memberatkan ibuku, tapi tetep saya mau di rumah (maaf ya Bu). Sejujurnya aku belum siap mental kalau harus jauh dari ibu dan adikku. Dahulu waktu adikku yang ditinggal di rumah mbah, kesepian sekali.

Aku yakinkan ibu, pasti ada beasiswa di sekolahku nanti, tenang saja. Awalnya ibu menyetujui aku tetap di rumah tapi masuk SMAN 1 Gondang atau SMAN 2 Mojokerto, karena pernah juara dan biaya sekolah dijamin. Tetep aku tidak mau dan nangis lagi (cengeng juga ya dulu :D). Sebelumnya ibuku dan sahabatnya ingin memasukkan sahabat kecilku (Dita) dan aku ke SMA TarNus di Magelang. Apa daya waktu itu biaya masuk 10 juta. Uang darimana? Tak mungkin sudah. Parahnya, aku baru tahu kalo ada beasiswa disana, penuh lagi, setelah aku masuk ITB dan cerita dari temen TarNus. Aku tidak mau hal ini terulang lagi untuk adik-adikku yang mau masuk ke sekolah atau perguruan tinggi manapun. Biaya SMAku alhamdulillah apa yang dulu aku yakinkan ke ibu tercapai, dapat beasiswa BKM (Bantuan Kurang Mampu) setahun pertama, 2 tahun selanjutnya dapat beasiswa dari olimpiade.

Selama SMA, aku aktif di OSIS dan Paskib. Tak jarang aku pulang paling akhir dari sekolah, menginap juga, atau menginapnya dirumah teman. Sampai dapat gelar "penjaga S.O", penjaga Sekretariat OSIS. Memang jarak rumahku tak begitu jauh, sekitar 8.5 km, harus 2x angkutan umum dan angkotnya jam 5 sore sudah habis sedangkan angdes jam 7 malem sudah tidak ada. Akhirnya ibu membelikan sepeda motor Suzuki RC (jaman tahun berapa lupa) dipakai bergantian. Tak jarang juga kalo sudah sore motor mogok karena dingin dan harus membersihkan businya. Terimakasih buat kakak-kakak yang mau aku repotkan untuk motor Valentino Rossiku (julukan dari sohibku).

3 tahun kemudian....
Ketika kelas 3 SMA, guru BK-ku pernah berkata bahwa masa-masa kelas 3 SMA adalah penentu masa depan kita. Masa hidup yang paling stress dan menentukan. Ada 3 pilihan kata beliau : kuliah, kerja, atau nikah? hmm..KKN ternyata :)
Ketiga hal bukannya timpang sebelah, tapi sangat berimbang mengingat keberadaan kami yang masih di desa dan majemuknya tingkat ekonomi keluarga siswa di sekolahku.

Tibalah semester akhir, 8, masa-masa PMDK, SNMPTN, dan USM perguruan tinggi. Aku, yang sebelumnya keukeuh dengan Tekkim ITS, sedikit layu karena tidak ada jalur PMDK reguler yang dibuka untuk teknik, kecuali Tek.Mesin untuk perempuan dan FMIPA. Jikalau begitu akan aku tembus lewat SNMPTN, meski tidak yakin dengan soal-soal SNMPTN. Karena di ITS aku sudah dapat tempat kost dari teman ibuku, yang bayarnya jika nanti aku sudah lulus dengan harga ketika aku menempatinya. Tinggal bagaimana cara nembus ke PTNnya ini. Lalu, aku memutuskan untuk tidak akan ikut PMDK manapun yang tidak aku minati dan tidak beasiswa. Karena deklarasi ibuku,"Nduk ayu, ojo kuliah dhisik yo. Ibu gag ono duwit iki. Mbantu Ibu dhisik yo, kerjo opo kunu setaun ae gae nglumpukno duwit biaya kuliah. Taun ngarep baru daftar kuliah sak sirmu, yo Nduk?"
Artinya,"Anakku, jangan kuliah dulu ya. Ibu tidak punya uang. Membantu Ibu dulu ya, kerja apa gitu setahun saja untuk ngumpulin uang biaya kuliah. Tahun depan baru daftar kuliah sesukamu, ya Nak?"

jedaaarrrrr *serasa petir menyambar.

bersambung...

Auditor: Dalam Benak Saya



Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah excess demand (jumlah permintaan melebihi jumlah penawaran). Kondisi ini membuat barang komoditi menjadi langka dan harganya melambung tinggi. Akan tetapi, excess demand jarang terjadi dalam kehidupan normal saat ini. Hanya kondisi-kondisi ekstrim saja yang mampu menciptakannya. Sebagai contoh permintaan akan daging ayam di hari raya ketupat* atau permintaan akan masker bagi penduduk lereng Merapi saat statusnya awas.
Lalu, apa hubungannya dengan profesi auditor?
Globalisasi, zaman yang sedang kita jalani, sejatinya merupakan sebuah proses yang memaksa setiap pelaku ekonomi untuk berpikir keras bagaimana cara mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Mulai dari orang pribadi sebagai pelaku ekonomi paling sederhana, keluarga, organisasi, dan perusahaan (termasuk negara). Yang terakhir disebutkan adalah pelaku ekonomi paling kompleks. Kelangsungan hidup perusahaan mempengaruhi hajat hidup banyak orang baik internal maupun eksternal.
Internal dan eksternal perusahaan adalah dua pihak yang berseberangan. Pihak internal menginginkan entitas selalu tampak sempurna dengan rasio-rasio meyakinkan dan laporan keuangan yang sehat. Kalau perlu window dressing (praktik tidak sehat dalam akuntansi untuk membuat laporan keuangan yang dikehendaki) pun dilakukan. Di sisi lain, pihak eksternal menginginkan apa yang internal laporkan adalah benar sehingga investasi mereka tetap aman dan rupiah yang mereka pinjamkan dikembalikan tepat waktu.
Berangkat dari kondisi itulah profesi auditor muncul. Diperlukan satu pihak yang mampu menjembatani kepentingan dewan direksi, pemerintah, kreditur, dan masyarakat luas dengan  manajemen perusahaan.
Sementara itu, tuntutan perekonomian terbuka yang ditandai dengan ditandatanganinya berbagai free trade agreement antara Indonesia (ASEAN) dan berbagai Negara seperti New Zealand (ANZFTA), China (ACFTA), India (AIFTA), Jepang (AJCEP), Korea (AKFTA) membuat Negara kita layaknya zona bebas bagi perusahaan-perusahaan di hampir seluruh dunia. Minimnya proteksi pemerintah mengharuskan semua perusahaan di Indonesia berpikir keras untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan standar internasional. Otomatis setiap laporan keuangan perusahaan terbuka juga harus transparan menurut standar yang berlaku umum (sekarang IAI sedang berusaha mengadopsi IFRS). Dengan kata lain, harus diaudit. Dewasa ini, auditor adalah salah satu profesi yang menjanjikan di seluruh dunia. Bahkan di salah satu buku teks akuntansi Amerika disebutkan bahwa profesi auditor adalah tiga besar profesi dengan prospek luar biasa selain jasa teknik dan jasa kesehatan. Di Negara berkembang seperti Indonesia sendiri, profesi auditor adalah lahan yang masih belum jenuh. Jumlah profesi auditor di Indonesia belum dikategorikan berlebihan. Inilah hubungan antara excess demand jasa audit dengan jumlah auditor yang disediakan oleh berbagai Kantor Akuntan Publik.
Interpretasi saya pribadi mengasosiaskan auditor dengan seorang raja. Semboyan yang selama ini dikenal memang “pelanggan adalah raja” dan saya akui secara umum memang benar. Namun, untuk kasus audit, saya memandang ada sedikit perbedaan. Auditor tidak tunduk pada kepentingan klien, yang selalu menginginkan wajar tanpa pengecualian, meskipun manajemen lah yang membayar fee auditnya. Independensi dan objektivitas menjadi syarat mutlak yang dilindungi dalam kode etik profesi.
Andai saya menjadi auditor, saya akan merasa menjadi orang paling adidaya di dunia karena hak-hak auditor untuk memeriksa umumnya tidak terbatas. Manajemen berkewajiban mengikuti instruksi/ permintaan auditor selama masa audit. Bandingkan dengan sebelum masa audit, auditor bukanlah siapa-siapa. Namun dengan selembar agreement (swasta) atau surat tugas (pemerintah) auditor menjadi orang yang ditakuti dan disegani seluruh manajemen.
Profesi auditor dilindungi oleh sebuah payung berupa kode etik professional yang merupakan standar operasional setiap auditor di seluruh dunia. Kode etik meminimalisir kesalahan yang bisa menghancurkan  nama baiknya dan KAP/instansi tempatnya bekerja. Stakeholder tentu juga tak menginginkan ada kesalahan dalam laporan hasil audit. Mengerikan memang, betapa fatal akibat yang bisa ditimbulkan sebuah kesalahan/ketidakhati-hatian seorang pemeriksa. Sebuah gugatan hukum terhadap salah satu KAP big five dunia pada 2002 mampu menenggelamkan nama besar dan memaksanya bubar. Banyak buku teks terpaksa merevisi informasi mengenai big five menjadi big four. Auditor dituntut untuk ekstra teliti dalam memeriksa laporan keuangan/kinerja perusahaan. Oleh karena itu, andai saya menjadi auditor, entah swasta atau pemerintahan, saya menanggung tugas berat untuk tidak melakukan kesalahan dalam bertugas. Nama baik profesi auditor harus saya junjung dengan berpedoman pada kode etik profesi.
Stakeholder menaruh harapan besar di pundak auditor untuk memberikan informasi seakurat mungkin tentang kondisi perusahaan. Jadi, jika saya menjadi auditor, saya akan melindungi pihak-pihak eksternal dari kecurangan manajemen. Tanpa berpikir mencari-cari kesalahan, akan saya berikan opini wajar jika memang sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum serta bebas dari salah saji material dan tidak wajar jika berlaku sebaliknya.
Selain itu, jika saya menjadi auditor, saya mendapat kesempatan dan paksaan untuk belajar sepanjang masa. Saya harus siap untuk mempartisi kemampuan otak saya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Audit perusahaan eksplorasi minyak memaksa saya untuk belajar ilmu perminyakan. Audit Rumah Sakit membuat saya sering berada di Rumah Sakit selama masa audit. Otomatis sedikit banyak saya tahu mengenai dunia kesehatan dan administrasinya. Ilmu administrasi pemerintahan bisa saya dalami ketika bertugas mengaudit Pemda, BUMN, BLU, dan lain-lain. Tak hanya hardskill yang bisa kita pelajari, softskill, seperti kemampuan berkomunikasi, pun bisa saya asah melalui wawancara dan temu auditan.
Tak akan sia-sia semua ilmu yang saya pelajari selama sekolah sejak SD hingga sekarang jika menjadi auditor. Singkatnya, saya harus siap belajar dan siap menjadi orang pandai dalam banyak bidang.
Sejatinya, auditor adalah pekerjaan impian saya sejak memasuki bangku kuliah. Padahal dulu saya belum mengerti apa audit itu. Entah mengapa senang sekali saya mendengar kata tersebut. Sekarang, semakin bertambah pengetahuan dan pemahaman tentang audit, semakin besar kebanggaan saya akan profesi auditor ini.
Menulis prosa ini layaknya menuangkan harapan saya untuk menjadi auditor setelah lulus kelak. Mungkin tulisan saya terkesan terlalu idealis dan subjektif. Yang jelas, andai menjadi auditor, saya akan sangat bahagia karena doaku telah dikabulkan oleh Nya. 

*hari raya ketupat: beberapa hari setelah Idul Fitri dimana banyak keluarga membuat ketupat dan opor ayam untuk dinikmati bersama.

sanda.aditya.arsandi@gmail.com

Sebuah Renungan Untukku dan Untukmu



Salah seorang dosen saya pernah bertanya dalam sebuah kesempatan di depan kelas. Kurang lebih pertanyaannya berbunyi “jika Anda adalah seorang bendahara di sebuah instansi pemerintah dan sedang memegang banyak uang, sementara orang tua Anda sedang sakit keras. Dokter memvonis jika tidak segera dioperasi ditakutkan akan meninggal, padahal Anda tidak punya uang dan tidak ada opsi lain selain menggunakan uang Negara secara ilegal, mana yang akan Anda selamatkan? Uang Negara atau nyawa orang tua Anda?”. Mayoritas dengan tegas menjawab akan menyelamatkan uang Negara. Saya begitu kagum sekaligus prihatin dengan jawaban teman-teman saya. Mereka semua begitu idealis, maksudnya, penuh dengan kata-kata yang indah dan tinggi seperti “bagaimanapun keadaannya, saya akan tetap menjaga integritas saya” atau “lebih baik orang tua saya meninggal dengan tenang daripada hidup melihat anaknya jadi bulan-bulanan berita kasus korupsi.”

Sejarah mencatat bahwa Indonesia terkenal dengan pemikir-pemikirnya. Mulai dari ASEAN yang digagas oleh lima menlu/PM Asia Tenggara pada 1967, salah satunya AdamMalik, kemudian Konferensi Asia Afrika yang dipelopori oleh lima kepala Negara termasuk Ir.Soekarno, dan banyak contoh lainnya.

Ideologi Negara kita juga dikatakan unik oleh bangsa lain. Bukan mutlak komunis atau liberal seperti kebanyakan Negara di dunia, tapi Pancasila yang begitu kaya, mengambil banyak nilai-nilai positif lebih dari sekedar komunis atau liberal.

Belum lagi kalau kita melihat banyaknya nilai-nilai di buku teks kewarganegaraan hasil pemikiran para filsuf Indonesia, atau produk-produk hukum yang sangat kompleks di Negara ini.

Lantas, apa hubungannya dengan jawaban teman-teman saya?

Fakta di atas membuktikan bahwa orang Indonesia sangat pandai berteori dan berpikir idealis. Satu bukti lagi, esai ini, terlihat teoritis bukan? Begitupun, saya yakin esai yang dikumpulkan teman-teman lain kurang lebih juga bercerita seputar kondisi-kondisi pengandaian dengan asumsi semua berlaku secara ideal.
Fakta tersebut diikuti oleh fakta lain yang menyakitkan yakni ketidakmampuan orang Indonesia untuk mengaplikasikan kata-kata sakti dalam kertas menjadi kenyataan. Ada lebih dari 234 juta penduduk Indonesia. Namun, menduduki peringkat ketiga Asia Tenggara di Sea Games Laos 2009 saja sudah berpuas diri, peringkat kelima belas Asia di Guangzhou kemarin sudah dipuji-puji, atau hanya satu emas Kido/Hendra di olimpiade Beijing tapi seolah sudah meraih segalanya. Sadarlah, kita ini bangsa besar dengan jumlah penduduk yang besar pula. Tak selayaknya kita berpuas diri kalau kemarin hanya dapat empat emas sementara ada China yang mengantongi 160 lebih.

Kalau mengenai keefektifan hukum dan produk hukum di Negara kita tentu Anda sudah memahaminya tanpa saya ungkapkan panjang lebar.

Ketika ditanya atau bersuara antikorupsi, mahasiswa begitu lantang dan vokal. Padahal kita sendiri begitu dekat dengan korupsi itu sendiri dan ,saya benci mengatakannya, kita masih belum mampu mengatasinya dengan baik. Suka atau tidak, kita sering berbicara muluk soal Gayus, spekulasi Bank Century, Arthalita, dan lain-lain. Namun, menjalani kehidupan sehari-hari yang rutin, kita masih sering berkorupsi. Tentunya bukan yang seperti Gayus, tapi terpikirkah seperti apakah Gayus ketika kuliah dulu? Saya pikir tidak jauh berbeda dengan keseharian mahasiswa STAN pada umumnya di kampus. Kesimpulannya, setiap orang yang baik saat kuliah belum tentu akan tetap mempertahankan catatan bersihnya setelah lulus nanti.

Mari kita lihat seberapa dekatnya dunia kita dengan korupsi kecil-kecilan. Betapa sering kita kuliah intensif di dua minggu terakhir menjelang ujian padahal ada jadwal resmi tiap minggunya? Betapa sering tiga sks kita diisi kurang dari sejam? Atau, karena ketiduran dan sebagainya, dengan dukungan dosen yang enggan mengabsen, absensi sekelas hari itu tercentang semua.

Lebih serius lagi, saat akhir tahun ajaran, dimana kita harus mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan, sering saya jumpai penggantian buku teks setebal principle accounting dan sejenisnya yang hilang dengan dua puluh ribu rupiah saja. Entah untuk apa uang itu, padahal di toko buku harganya lebih dari seratus ribu. “Kemudahan” tersebut membuat mahasiswa kurang bertanggung jawab menjaga buku perpustakaan yang notabene juga merupakan asset Negara dan mengurangi jumlah yang seharusnya menjadi hak adik kelas angkatan selanjutnya untuk meminjam.

Terakhir, yang paling dekat dan sudah membudaya bagi mahasiswa STAN adalah kisi-kisi. Buat apa diuji lagi kalau semalam soal sudah beredar di fotokopian? Setiap orang rasanya jadi berorientasi pada hasil akhir (IP) saja daripada proses pembelajaran. Apalagi dengan mengandalkan usaha instan belajar kisi-kisi. Banyak buku teks dikopi hanya untuk jadi pajangan karena tersisihkan oleh kisi-kisi yang cukup dihafal beberapa jam. Lambat laun, perkuliahan jadi kurang menarik bagi sebagian besar mahasiswa. Betapa banyak saya jumpai keseharian teman saya di kos yang lebih sering di depan laptop main game ketimbang belajar. Di kampus pun, tanpa merasa berdosa tidur dengan nyenyaknya.

Jika begini, adakah kemungkinan munculnya “Gayus” baru versi 2020? Ada, bahkan sangat lebar kemungkinan itu saya rasa. Apakah Anda pikir sejak kuliah Gayus sudah berkorupsi miliaran rupiah? Tidak, tapi hal-hal kecil seperti contoh di atas mungkin iya.

Menyinari negeri dengan sikap antikorupsi tidak perlu dengan sikap yang muluk-muluk menurut saya. Mulailah perbaiki diri Anda sendiri, lantas berilah pengaruh positif ke lingkungan sekitar. Kurang tepat jika kita tidak melakukan “pemanasan” tapi langsung sprint dan melakukan langkah besar. Sejarah mencatat bahwa perubahan dunia tidak terjadi secara tiba-tiba. Jarang ada penemuan hebat di bidang sains ataupun sosial yang dalam percobaan pertama kali langsung sukses dan memenangkan nobel. Sebaiknya kita berfikir besar, melangkah kecil-kecil. Bukan berfikir kecil dengan langkah besar tanpa tahu bahwa jalan yang telah kita lewati seperti apa.

Thomas Alfa Edison mengatakan bahwa banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan ketika mereka menyerah. Jadi, tak perlu kita takut dengan keanehan yang bakal mendera kita ketika kita membuat perubahan kecil dalam perilaku sehari-hari. Mulailah dari diri kita sendiri dan dari hal yang sederhana.

Menulis hal ini layaknya sebuah ungkapan kegalauan hati saya dengan perilaku saya pribadi dan teman-teman saya yang masih saja sering melakukan hal-hal tidak ber-value added padahal setiap dari kita dapat kuliah dengan gratis di sini karena dibiayai oleh seluruh warga Negara Indonesia melalui pajak dan pendapatan BLU lainnya. Semoga dapat menjadi sebuah renungan bagi saya pribadi dan juga Anda.              



sanda.aditya.arsandi@gmail.com

Mohon maaf jika banyak kekurangan.