Salah seorang dosen saya pernah bertanya dalam sebuah kesempatan di depan kelas. Kurang lebih pertanyaannya berbunyi “jika Anda adalah seorang bendahara di sebuah instansi pemerintah dan sedang memegang banyak uang, sementara orang tua Anda sedang sakit keras. Dokter memvonis jika tidak segera dioperasi ditakutkan akan meninggal, padahal Anda tidak punya uang dan tidak ada opsi lain selain menggunakan uang Negara secara ilegal, mana yang akan Anda selamatkan? Uang Negara atau nyawa orang tua Anda?”. Mayoritas dengan tegas menjawab akan menyelamatkan uang Negara. Saya begitu kagum sekaligus prihatin dengan jawaban teman-teman saya. Mereka semua begitu idealis, maksudnya, penuh dengan kata-kata yang indah dan tinggi seperti “bagaimanapun keadaannya, saya akan tetap menjaga integritas saya” atau “lebih baik orang tua saya meninggal dengan tenang daripada hidup melihat anaknya jadi bulan-bulanan berita kasus korupsi.”
Sejarah mencatat bahwa Indonesia terkenal dengan pemikir-pemikirnya. Mulai dari ASEAN yang digagas oleh lima menlu/PM Asia Tenggara pada 1967, salah satunya AdamMalik, kemudian Konferensi Asia Afrika yang dipelopori oleh lima kepala Negara termasuk Ir.Soekarno, dan banyak contoh lainnya.
Ideologi Negara kita juga dikatakan unik oleh bangsa lain. Bukan mutlak komunis atau liberal seperti kebanyakan Negara di dunia, tapi Pancasila yang begitu kaya, mengambil banyak nilai-nilai positif lebih dari sekedar komunis atau liberal.
Belum lagi kalau kita melihat banyaknya nilai-nilai di buku teks kewarganegaraan hasil pemikiran para filsuf Indonesia, atau produk-produk hukum yang sangat kompleks di Negara ini.
Lantas, apa hubungannya dengan jawaban teman-teman saya?
Fakta di atas membuktikan bahwa orang Indonesia sangat pandai berteori dan berpikir idealis. Satu bukti lagi, esai ini, terlihat teoritis bukan? Begitupun, saya yakin esai yang dikumpulkan teman-teman lain kurang lebih juga bercerita seputar kondisi-kondisi pengandaian dengan asumsi semua berlaku secara ideal.
Fakta tersebut diikuti oleh fakta lain yang menyakitkan yakni ketidakmampuan orang Indonesia untuk mengaplikasikan kata-kata sakti dalam kertas menjadi kenyataan. Ada lebih dari 234 juta penduduk Indonesia. Namun, menduduki peringkat ketiga Asia Tenggara di Sea Games Laos 2009 saja sudah berpuas diri, peringkat kelima belas Asia di Guangzhou kemarin sudah dipuji-puji, atau hanya satu emas Kido/Hendra di olimpiade Beijing tapi seolah sudah meraih segalanya. Sadarlah, kita ini bangsa besar dengan jumlah penduduk yang besar pula. Tak selayaknya kita berpuas diri kalau kemarin hanya dapat empat emas sementara ada China yang mengantongi 160 lebih.
Kalau mengenai keefektifan hukum dan produk hukum di Negara kita tentu Anda sudah memahaminya tanpa saya ungkapkan panjang lebar.
Ketika ditanya atau bersuara antikorupsi, mahasiswa begitu lantang dan vokal. Padahal kita sendiri begitu dekat dengan korupsi itu sendiri dan ,saya benci mengatakannya, kita masih belum mampu mengatasinya dengan baik. Suka atau tidak, kita sering berbicara muluk soal Gayus, spekulasi Bank Century, Arthalita, dan lain-lain. Namun, menjalani kehidupan sehari-hari yang rutin, kita masih sering berkorupsi. Tentunya bukan yang seperti Gayus, tapi terpikirkah seperti apakah Gayus ketika kuliah dulu? Saya pikir tidak jauh berbeda dengan keseharian mahasiswa STAN pada umumnya di kampus. Kesimpulannya, setiap orang yang baik saat kuliah belum tentu akan tetap mempertahankan catatan bersihnya setelah lulus nanti.
Mari kita lihat seberapa dekatnya dunia kita dengan korupsi kecil-kecilan. Betapa sering kita kuliah intensif di dua minggu terakhir menjelang ujian padahal ada jadwal resmi tiap minggunya? Betapa sering tiga sks kita diisi kurang dari sejam? Atau, karena ketiduran dan sebagainya, dengan dukungan dosen yang enggan mengabsen, absensi sekelas hari itu tercentang semua.
Lebih serius lagi, saat akhir tahun ajaran, dimana kita harus mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan, sering saya jumpai penggantian buku teks setebal principle accounting dan sejenisnya yang hilang dengan dua puluh ribu rupiah saja. Entah untuk apa uang itu, padahal di toko buku harganya lebih dari seratus ribu. “Kemudahan” tersebut membuat mahasiswa kurang bertanggung jawab menjaga buku perpustakaan yang notabene juga merupakan asset Negara dan mengurangi jumlah yang seharusnya menjadi hak adik kelas angkatan selanjutnya untuk meminjam.
Terakhir, yang paling dekat dan sudah membudaya bagi mahasiswa STAN adalah kisi-kisi. Buat apa diuji lagi kalau semalam soal sudah beredar di fotokopian? Setiap orang rasanya jadi berorientasi pada hasil akhir (IP) saja daripada proses pembelajaran. Apalagi dengan mengandalkan usaha instan belajar kisi-kisi. Banyak buku teks dikopi hanya untuk jadi pajangan karena tersisihkan oleh kisi-kisi yang cukup dihafal beberapa jam. Lambat laun, perkuliahan jadi kurang menarik bagi sebagian besar mahasiswa. Betapa banyak saya jumpai keseharian teman saya di kos yang lebih sering di depan laptop main game ketimbang belajar. Di kampus pun, tanpa merasa berdosa tidur dengan nyenyaknya.
Jika begini, adakah kemungkinan munculnya “Gayus” baru versi 2020? Ada, bahkan sangat lebar kemungkinan itu saya rasa. Apakah Anda pikir sejak kuliah Gayus sudah berkorupsi miliaran rupiah? Tidak, tapi hal-hal kecil seperti contoh di atas mungkin iya.
Menyinari negeri dengan sikap antikorupsi tidak perlu dengan sikap yang muluk-muluk menurut saya. Mulailah perbaiki diri Anda sendiri, lantas berilah pengaruh positif ke lingkungan sekitar. Kurang tepat jika kita tidak melakukan “pemanasan” tapi langsung sprint dan melakukan langkah besar. Sejarah mencatat bahwa perubahan dunia tidak terjadi secara tiba-tiba. Jarang ada penemuan hebat di bidang sains ataupun sosial yang dalam percobaan pertama kali langsung sukses dan memenangkan nobel. Sebaiknya kita berfikir besar, melangkah kecil-kecil. Bukan berfikir kecil dengan langkah besar tanpa tahu bahwa jalan yang telah kita lewati seperti apa.
Thomas Alfa Edison mengatakan bahwa banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan ketika mereka menyerah. Jadi, tak perlu kita takut dengan keanehan yang bakal mendera kita ketika kita membuat perubahan kecil dalam perilaku sehari-hari. Mulailah dari diri kita sendiri dan dari hal yang sederhana.
Menulis hal ini layaknya sebuah ungkapan kegalauan hati saya dengan perilaku saya pribadi dan teman-teman saya yang masih saja sering melakukan hal-hal tidak ber-value added padahal setiap dari kita dapat kuliah dengan gratis di sini karena dibiayai oleh seluruh warga Negara Indonesia melalui pajak dan pendapatan BLU lainnya. Semoga dapat menjadi sebuah renungan bagi saya pribadi dan juga Anda.
Mohon maaf jika banyak kekurangan.
No comments:
Post a Comment