(salah satu kisah teman saya, dia ingin memberi inspirasi dan motivasi kepada orang lain. dan karena kami se-visi, saya juga mencoba membuat kisah ini menyebar luas)
Kilas balik 6 tahun lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Guruku pernah bertanya, " Kamu mau ngelanjutin SMA kemana?"
"SMAN 1 Sooko (sebuah sekolah bertaraf internasional di mojokerto), Bu", jawabku.
"Trus, mau kuliah dimana?ambil jurusan apa?", beliau bertanya lagi.
"ITS,Bu! Teknik Kimia", jawabku mantap.
Alhamdulillah untuk masuk SMAN 1 Sooko tercapai. Meski harus nangis memohon-mohon agar tidak dipindahkan ke tempat mbah, di Trenggalek, yang notabene biaya apapun terjangkau dan murah daripada di Mojokerto. Tapi waktu itu pemikiranku sempit sekali, "hah, sekolah di Trenggalek? aku takut ketinggalan jauh dengan teman-temanku di sini."
Padahal banyak anak olimpiade dari sana. Aku sadar kalau biaya SMAku di Mojokerto nanti akan memberatkan ibuku, tapi tetep saya mau di rumah (maaf ya Bu). Sejujurnya aku belum siap mental kalau harus jauh dari ibu dan adikku. Dahulu waktu adikku yang ditinggal di rumah mbah, kesepian sekali.
Aku yakinkan ibu, pasti ada beasiswa di sekolahku nanti, tenang saja. Awalnya ibu menyetujui aku tetap di rumah tapi masuk SMAN 1 Gondang atau SMAN 2 Mojokerto, karena pernah juara dan biaya sekolah dijamin. Tetep aku tidak mau dan nangis lagi (cengeng juga ya dulu :D). Sebelumnya ibuku dan sahabatnya ingin memasukkan sahabat kecilku (Dita) dan aku ke SMA TarNus di Magelang. Apa daya waktu itu biaya masuk 10 juta. Uang darimana? Tak mungkin sudah. Parahnya, aku baru tahu kalo ada beasiswa disana, penuh lagi, setelah aku masuk ITB dan cerita dari temen TarNus. Aku tidak mau hal ini terulang lagi untuk adik-adikku yang mau masuk ke sekolah atau perguruan tinggi manapun. Biaya SMAku alhamdulillah apa yang dulu aku yakinkan ke ibu tercapai, dapat beasiswa BKM (Bantuan Kurang Mampu) setahun pertama, 2 tahun selanjutnya dapat beasiswa dari olimpiade.
Selama SMA, aku aktif di OSIS dan Paskib. Tak jarang aku pulang paling akhir dari sekolah, menginap juga, atau menginapnya dirumah teman. Sampai dapat gelar "penjaga S.O", penjaga Sekretariat OSIS. Memang jarak rumahku tak begitu jauh, sekitar 8.5 km, harus 2x angkutan umum dan angkotnya jam 5 sore sudah habis sedangkan angdes jam 7 malem sudah tidak ada. Akhirnya ibu membelikan sepeda motor Suzuki RC (jaman tahun berapa lupa) dipakai bergantian. Tak jarang juga kalo sudah sore motor mogok karena dingin dan harus membersihkan businya. Terimakasih buat kakak-kakak yang mau aku repotkan untuk motor Valentino Rossiku (julukan dari sohibku).
3 tahun kemudian....
Ketika kelas 3 SMA, guru BK-ku pernah berkata bahwa masa-masa kelas 3 SMA adalah penentu masa depan kita. Masa hidup yang paling stress dan menentukan. Ada 3 pilihan kata beliau : kuliah, kerja, atau nikah? hmm..KKN ternyata :)
Ketiga hal bukannya timpang sebelah, tapi sangat berimbang mengingat keberadaan kami yang masih di desa dan majemuknya tingkat ekonomi keluarga siswa di sekolahku.
Tibalah semester akhir, 8, masa-masa PMDK, SNMPTN, dan USM perguruan tinggi. Aku, yang sebelumnya keukeuh dengan Tekkim ITS, sedikit layu karena tidak ada jalur PMDK reguler yang dibuka untuk teknik, kecuali Tek.Mesin untuk perempuan dan FMIPA. Jikalau begitu akan aku tembus lewat SNMPTN, meski tidak yakin dengan soal-soal SNMPTN. Karena di ITS aku sudah dapat tempat kost dari teman ibuku, yang bayarnya jika nanti aku sudah lulus dengan harga ketika aku menempatinya. Tinggal bagaimana cara nembus ke PTNnya ini. Lalu, aku memutuskan untuk tidak akan ikut PMDK manapun yang tidak aku minati dan tidak beasiswa. Karena deklarasi ibuku,"Nduk ayu, ojo kuliah dhisik yo. Ibu gag ono duwit iki. Mbantu Ibu dhisik yo, kerjo opo kunu setaun ae gae nglumpukno duwit biaya kuliah. Taun ngarep baru daftar kuliah sak sirmu, yo Nduk?"
Artinya,"Anakku, jangan kuliah dulu ya. Ibu tidak punya uang. Membantu Ibu dulu ya, kerja apa gitu setahun saja untuk ngumpulin uang biaya kuliah. Tahun depan baru daftar kuliah sesukamu, ya Nak?"
jedaaarrrrr *serasa petir menyambar.
bersambung...
Kilas balik 6 tahun lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Guruku pernah bertanya, " Kamu mau ngelanjutin SMA kemana?"
"SMAN 1 Sooko (sebuah sekolah bertaraf internasional di mojokerto), Bu", jawabku.
"Trus, mau kuliah dimana?ambil jurusan apa?", beliau bertanya lagi.
"ITS,Bu! Teknik Kimia", jawabku mantap.
Alhamdulillah untuk masuk SMAN 1 Sooko tercapai. Meski harus nangis memohon-mohon agar tidak dipindahkan ke tempat mbah, di Trenggalek, yang notabene biaya apapun terjangkau dan murah daripada di Mojokerto. Tapi waktu itu pemikiranku sempit sekali, "hah, sekolah di Trenggalek? aku takut ketinggalan jauh dengan teman-temanku di sini."
Padahal banyak anak olimpiade dari sana. Aku sadar kalau biaya SMAku di Mojokerto nanti akan memberatkan ibuku, tapi tetep saya mau di rumah (maaf ya Bu). Sejujurnya aku belum siap mental kalau harus jauh dari ibu dan adikku. Dahulu waktu adikku yang ditinggal di rumah mbah, kesepian sekali.
Aku yakinkan ibu, pasti ada beasiswa di sekolahku nanti, tenang saja. Awalnya ibu menyetujui aku tetap di rumah tapi masuk SMAN 1 Gondang atau SMAN 2 Mojokerto, karena pernah juara dan biaya sekolah dijamin. Tetep aku tidak mau dan nangis lagi (cengeng juga ya dulu :D). Sebelumnya ibuku dan sahabatnya ingin memasukkan sahabat kecilku (Dita) dan aku ke SMA TarNus di Magelang. Apa daya waktu itu biaya masuk 10 juta. Uang darimana? Tak mungkin sudah. Parahnya, aku baru tahu kalo ada beasiswa disana, penuh lagi, setelah aku masuk ITB dan cerita dari temen TarNus. Aku tidak mau hal ini terulang lagi untuk adik-adikku yang mau masuk ke sekolah atau perguruan tinggi manapun. Biaya SMAku alhamdulillah apa yang dulu aku yakinkan ke ibu tercapai, dapat beasiswa BKM (Bantuan Kurang Mampu) setahun pertama, 2 tahun selanjutnya dapat beasiswa dari olimpiade.
Selama SMA, aku aktif di OSIS dan Paskib. Tak jarang aku pulang paling akhir dari sekolah, menginap juga, atau menginapnya dirumah teman. Sampai dapat gelar "penjaga S.O", penjaga Sekretariat OSIS. Memang jarak rumahku tak begitu jauh, sekitar 8.5 km, harus 2x angkutan umum dan angkotnya jam 5 sore sudah habis sedangkan angdes jam 7 malem sudah tidak ada. Akhirnya ibu membelikan sepeda motor Suzuki RC (jaman tahun berapa lupa) dipakai bergantian. Tak jarang juga kalo sudah sore motor mogok karena dingin dan harus membersihkan businya. Terimakasih buat kakak-kakak yang mau aku repotkan untuk motor Valentino Rossiku (julukan dari sohibku).
3 tahun kemudian....
Ketika kelas 3 SMA, guru BK-ku pernah berkata bahwa masa-masa kelas 3 SMA adalah penentu masa depan kita. Masa hidup yang paling stress dan menentukan. Ada 3 pilihan kata beliau : kuliah, kerja, atau nikah? hmm..KKN ternyata :)
Ketiga hal bukannya timpang sebelah, tapi sangat berimbang mengingat keberadaan kami yang masih di desa dan majemuknya tingkat ekonomi keluarga siswa di sekolahku.
Tibalah semester akhir, 8, masa-masa PMDK, SNMPTN, dan USM perguruan tinggi. Aku, yang sebelumnya keukeuh dengan Tekkim ITS, sedikit layu karena tidak ada jalur PMDK reguler yang dibuka untuk teknik, kecuali Tek.Mesin untuk perempuan dan FMIPA. Jikalau begitu akan aku tembus lewat SNMPTN, meski tidak yakin dengan soal-soal SNMPTN. Karena di ITS aku sudah dapat tempat kost dari teman ibuku, yang bayarnya jika nanti aku sudah lulus dengan harga ketika aku menempatinya. Tinggal bagaimana cara nembus ke PTNnya ini. Lalu, aku memutuskan untuk tidak akan ikut PMDK manapun yang tidak aku minati dan tidak beasiswa. Karena deklarasi ibuku,"Nduk ayu, ojo kuliah dhisik yo. Ibu gag ono duwit iki. Mbantu Ibu dhisik yo, kerjo opo kunu setaun ae gae nglumpukno duwit biaya kuliah. Taun ngarep baru daftar kuliah sak sirmu, yo Nduk?"
Artinya,"Anakku, jangan kuliah dulu ya. Ibu tidak punya uang. Membantu Ibu dulu ya, kerja apa gitu setahun saja untuk ngumpulin uang biaya kuliah. Tahun depan baru daftar kuliah sesukamu, ya Nak?"
jedaaarrrrr *serasa petir menyambar.
bersambung...
aku juga mengalami hal yg sama..
ReplyDeletesangat menginspirasi, pasti. semangat3!! lanjutkan sampai harvard/illinois bung rifqi.. amien.
ReplyDelete