Saya memang senang backpackingan, tapi, mendaki gunung Semeru,
masihlah di luar nalar saya.
Sempat terbersit ragu, tapi puncak tinggal beberapa jam
saja. Nanggung mau mundur di sini.
Usai masak dan packing untuk summit dini hari nanti, kami
semua bergegas masuk tenda dan Sleeping Bag masing-masing. Udara sudah semakin
menggila dinginnya. Tak tahan kami berlama-lama menikmati sepiring sarden sedap
dan abon sapi. Alarm di set pukul 12.15. Berharap bisa tidur nyenyak 2 jam-an
ini.
Oiya, saya dengar tips, dalam kondisi capek dan hawa dingin,
tidak disarankan untuk “mulet” atau posisi tidur yang aneh-aneh, sebab hal
tersebut sangat mudah memicu kram otot. Nggak lucu kan, kram di tengah
Archapada? Siapa pula yang mau bantu summit atau turun. So, stay kalem di balik
Sleeping Bag ya!
Belum juga nyenyak, di luar sudah ramai. Sejak pukul
setengah 12 sudah banyak yang pemanasan mau berangkat. Terpaksa kami bangun
juga jam 12. Mengecek segala sesuatunya, coklat, minum (yang tinggal 1,5 liter
berlima sampai besok pagi), oxycan, roti, dan ya, kami siap. Berdoa mulai. Ya
Allah, sudah sejauh ini, mudahkan dan ridhoilah kami…
Rute masih bervegetasi pinus seperti kemarin siang sampai
setengah jam kemudian, leader saya, “ya, siap-siap, kita memasuki medan
berpasir.” Ribuan, atau jutaan bintang berpendar sangat terang di tengah senyap
seolah menyemangati kami.
1 jam pertama, kami masih lancar. Menanjak terus nggak ada
datar-datarnya. Pasirnya masih agak keras, tidak terlalu halus sehingga pijakan
kaki masih kuat. Kemiringan sekitar 45-60 derajat. Waktu rasanya berjalan
begitu lambat.
“Sudah setengah jalan ya?” tanya saya yang sudah merasa
berjalan sangat jauh. “Belum, sepertinya seperempat saja belum”. Duh, salah,
saya nanya begituan. Hati saya langsung mencelos. Menatap begitu banyak lampu
senter yang kelihatan jauh sekali di atas sana.
Sejam kemudian, track mulai sulit. Pijakan harus betul-betul
dipilih. Sepertinya ini betul-betul tanjakan 53 yang banyak dibicarakan orang.
Maju lima langkah, merosot 3 langkah.
Sedari tadi sebetulnya di kiri dan kanan adalah jurang/
lembah yang cukup dalam. Hanya saja, karena
nggak mau parno, jadinya saya cuma fokus lihat semeter jalan di depan
saya saja. Break mulai semakin sering, tapi nggak bisa lama-lama, sebab,
sebentar saja berhenti, tangan dan sekujur tubuh langsung menggigil kedinginan.
Tiga setengah jam berlalu dan rasanya tanjakan ini tiada
habisnya. Mulai banyak batu sekepalan tangan yang dengan mudahnya meluncur
ketika terinjak. Saya nggak berani nengok ke belakang, takut pusing dan terjun
bebas. Terpeleset? Sudah biasa. Tapi tetap saja di rombongan saya nggak mau
ditaruh paling belakang. Nggak lucu kan kalau saya terpeleset dan meluncur,
lalu nggak ada yang nangkap sampai berhenti belasan meter kemudian?
Empat jam berlalu, pukul setengah lima pagi. Bintang-bintang
sudah tidak terlalu benderang sebab Mentari mulai mengancam. Bernafas sudah
semakin sulit. Mau break ya “mbediding” kalau berhenti. Jadinya selangkah demi
selangkah kami merangkak (sudah nggak jalan lagi, sebab, track semakin vertical
dan menggemaskan saja!).
Akhirnya!!! “Puncak di balik batu besar itu” sahut leader
kami.
Laa haula wa laa quwata illa billah. Batu besar terlewati,
sedikit jalan menanjak lagi dan…
|
finally, *terharu |
“Mahameru, 3676 mdpl”
|
Ceritakan padaku, Tentang Negeri di Atas Awan... |
Sujud syukur dan air mata haru saya tumpah ruah membasahi
puncak tertinggi tanah jawa ini. Empat setengah jam berjuang sejak tengah malam
dengan batas yang tipis antara sukses sampai puncak atau jatuh ke jurang,
sungguh patut disyukuri.
Kabut tipis menyelimuti dataran berbatu yang membeku pagi
itu. Matahari terbit berwarna emas dan jingga yang indah sekali. Ini sunrise
yang berbeda dari sunrise manapun yang pernah saya lihat!
Sholat subuh berjamaah kami lakukan, lengkap dengan kaos
kaki dan baju dekil penuh pasir. Allohuakbar, terimakasih telah memberi kami
kesempatan menjejaki bagian dari bumi Mu yang indah ini.
Mengelilingi bibir puncak, Anda akan mendapati 4
pemandangan-menakjubkan dari seluruh penjuru mata angin.
Di timur dengan sunrise nya yang amboi…
|
Gradasinya, aduh... |
|
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru |
Di barat dengan “pengulangan kaset” rekaman perjalanan Anda
menggapai Mahameru, ada G. Ayak-ayak, G. Kepolo, Oro-Oro Ombo, Kalimati,
Archopodo, Tanjakan 53, semuanya terlihat jelas! Dan mini!
|
Bromo, kecil banget jadinya dari sini yang paling ujung sana, bukan yg dekat itu.. |
Di utara dengan pegunungan di TNBTS seperti G.Bromo, G.
Batok, G. Penanjakan, dll.
|
View dari selatan dengan Wedhus Gembelnya |
Dan di selatan, tanah tandus dengan kawah Semeru Jonggring
Saloko yang tak terlihat di balik gundukan pasir-Kawah yang termasuk hiperaktif
untuk ukuran gunung berapi.
Pukul 6 pagi, tuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit, seperti suara ketel
uap yang siap masak terdengar nyaring. Gumpalan wedhus gembel coklat pekat
bergelung-gelung ke udara. Meninggi dan berubah warna menjadi coklat muda.
Angin membawanya menuju barat laut.
Sekarang saya paham kenapa pendakian-summit harus dimulai
malam hari dan harus segera turun dari puncak maksimal jam 9 pagi. Sebab,
ketika subuh seperti ini, angin berhembus ke barat laut, jadi wedhus gembel
Jonggring Saloko bergerak menjauhi para pendaki. Agak siang dikit, arah angin
berubah. Sedikit saja terhirup, boleh jadi nasib Anda akan seperti
Idhan D Lubis atau Soe Hok Gie yang menghirup asap kawahnya.
Subhanallah, sungguh saya bersyukur berkesempatan melihat
sunrise dan wedhus gembel Mahameru di penghujung Desember yang basah ini. Kami
sangat-sangat beruntung.
Previous Story:
Semeru Hari 1: Ranu Pane-Ranu Kumbolo
Semeru Hari 2: Oro-Oro Ombo - Archapada
Next Story:
Semeru Hari 3 (2): Ayak-ayak
You might also like:
Laporan Biaya Pendakian Semeru
Survival Kit Mahameru