Friday 11 January 2013

Kereta Api, Saat Ini

Saya rasa tiada yang protes kalau saya katakan bahwa kereta api adalah moda transportasi paling aman dan nyaman. Kereta bersaing ketat dengan Pesawat terbang, tetapi kereta dikenal lebih murah. Namun, belakangan ini makin banyak maskapai baru yang muncul dan membuat persaingan harga (promo dan program lain) menjadi persaingan sempurna dan membuat harga pesawat lebih terjangkau.

Apalagi, yang mengejutkan, harga kereta api (terakhir kali saya ke stasiun KA Desember 2012) sekarang relative mahal. Bahkan untuk kereta eksekutif dan bisnis harganya punya batas bawah dan atas. Maksudnya, harganya tidak fixed, tetapi tergantung permintaan dan penawaran.

Khusus untuk kereta ekonomi, tidak berlaku batas atas dan bawah, tetapi harganya sebagian besar naik. (lihat gambar). Beberapa saja yang masih harga tetap seperti kereta-jarak-jauh-termurah-favorit-saya, Gaya Baru Malam Selatan.
captured Des 2012 from Mojokerto Railway Station

Tiket ekonomi favorit saya kita

Aturan Baru
Mungkin tidak terlalu baru, tapi di gambar tersebut diberitahukan bahwa:
1.       Tiket hanya berlaku pada nomor kereta api, tanggal keberangkatan, kelas, dan relasi perjalanan untuk penumpang dengan nama sebagaimana tercantum dalam tiket dibuktikan dengan identitas yang sah. (so, jangan lupa bawa KTP ya kalau masuk stasiun, biar nggak ricuh)
2.       Pembatalan tiket dipotong 25% di luar biaya pemesanan. Pemohon pembatalan wajib menunjukkan dan memberikan fotokopi KTP sesuai dengan nama yang tercantum pada tiket.

Cara Mendapat Tiket:
1.       Dapat melalui situs online www.tiketkai.com atau melalui web resmi PT KAI.
2.       Melalui rekanan PT KAI di Indomaret, Pos Indonesia, FastPay, Citos, dan Alfamart.
3.       Datang langsung ke stasiun dengan batas H-60 hari keberangkatan.



Wednesday 9 January 2013

Navigasi

Di antara pucuk rimbun bambu,
kutitipkan rinduku padamu.

Di sebalik tunas daun jati,
Kusampaikan lagu hati,
         Untukmu yang pasti bertemu satu hari nanti.

Ketika kau tiba di persimpangan,
yakinlah aku menantimu di ujung jalan.

Ketika kau tersesat dalam keputusasaan,
bertanyalah semesta,
         Tlah kutitipkan peta padanya.

09012013

Wednesday 2 January 2013

Semeru Hari 3: Mahameru

Saya memang senang backpackingan, tapi, mendaki gunung Semeru, masihlah di luar nalar saya.

Sempat terbersit ragu, tapi puncak tinggal beberapa jam saja. Nanggung mau mundur di sini.

Usai masak dan packing untuk summit dini hari nanti, kami semua bergegas masuk tenda dan Sleeping Bag masing-masing. Udara sudah semakin menggila dinginnya. Tak tahan kami berlama-lama menikmati sepiring sarden sedap dan abon sapi. Alarm di set pukul 12.15. Berharap bisa tidur nyenyak 2 jam-an ini.

Oiya, saya dengar tips, dalam kondisi capek dan hawa dingin, tidak disarankan untuk “mulet” atau posisi tidur yang aneh-aneh, sebab hal tersebut sangat mudah memicu kram otot. Nggak lucu kan, kram di tengah Archapada? Siapa pula yang mau bantu summit atau turun. So, stay kalem di balik Sleeping Bag ya!

Belum juga nyenyak, di luar sudah ramai. Sejak pukul setengah 12 sudah banyak yang pemanasan mau berangkat. Terpaksa kami bangun juga jam 12. Mengecek segala sesuatunya, coklat, minum (yang tinggal 1,5 liter berlima sampai besok pagi), oxycan, roti, dan ya, kami siap. Berdoa mulai. Ya Allah, sudah sejauh ini, mudahkan dan ridhoilah kami…

Rute masih bervegetasi pinus seperti kemarin siang sampai setengah jam kemudian, leader saya, “ya, siap-siap, kita memasuki medan berpasir.” Ribuan, atau jutaan bintang berpendar sangat terang di tengah senyap seolah menyemangati kami.

1 jam pertama, kami masih lancar. Menanjak terus nggak ada datar-datarnya. Pasirnya masih agak keras, tidak terlalu halus sehingga pijakan kaki masih kuat. Kemiringan sekitar 45-60 derajat. Waktu rasanya berjalan begitu lambat.

“Sudah setengah jalan ya?” tanya saya yang sudah merasa berjalan sangat jauh. “Belum, sepertinya seperempat saja belum”. Duh, salah, saya nanya begituan. Hati saya langsung mencelos. Menatap begitu banyak lampu senter yang kelihatan jauh sekali di atas sana.

Sejam kemudian, track mulai sulit. Pijakan harus betul-betul dipilih. Sepertinya ini betul-betul tanjakan 53 yang banyak dibicarakan orang. Maju lima langkah, merosot 3 langkah.

Sedari tadi sebetulnya di kiri dan kanan adalah jurang/ lembah yang cukup dalam. Hanya saja, karena  nggak mau parno, jadinya saya cuma fokus lihat semeter jalan di depan saya saja. Break mulai semakin sering, tapi nggak bisa lama-lama, sebab, sebentar saja berhenti, tangan dan sekujur tubuh langsung menggigil kedinginan.

Tiga setengah jam berlalu dan rasanya tanjakan ini tiada habisnya. Mulai banyak batu sekepalan tangan yang dengan mudahnya meluncur ketika terinjak. Saya nggak berani nengok ke belakang, takut pusing dan terjun bebas. Terpeleset? Sudah biasa. Tapi tetap saja di rombongan saya nggak mau ditaruh paling belakang. Nggak lucu kan kalau saya terpeleset dan meluncur, lalu nggak ada yang nangkap sampai berhenti belasan meter kemudian?

Empat jam berlalu, pukul setengah lima pagi. Bintang-bintang sudah tidak terlalu benderang sebab Mentari mulai mengancam. Bernafas sudah semakin sulit. Mau break ya “mbediding” kalau berhenti. Jadinya selangkah demi selangkah kami merangkak (sudah nggak jalan lagi, sebab, track semakin vertical dan menggemaskan saja!).

Akhirnya!!! “Puncak di balik batu besar itu” sahut leader kami.

Laa haula wa laa quwata illa billah. Batu besar terlewati, sedikit jalan menanjak lagi dan…
finally, *terharu

“Mahameru, 3676 mdpl”
Ceritakan padaku,
Tentang Negeri di Atas Awan...

Sujud syukur dan air mata haru saya tumpah ruah membasahi puncak tertinggi tanah jawa ini. Empat setengah jam berjuang sejak tengah malam dengan batas yang tipis antara sukses sampai puncak atau jatuh ke jurang, sungguh patut disyukuri.

Kabut tipis menyelimuti dataran berbatu yang membeku pagi itu. Matahari terbit berwarna emas dan jingga yang indah sekali. Ini sunrise yang berbeda dari sunrise manapun yang pernah saya lihat!

Sholat subuh berjamaah kami lakukan, lengkap dengan kaos kaki dan baju dekil penuh pasir. Allohuakbar, terimakasih telah memberi kami kesempatan menjejaki bagian dari bumi Mu yang indah ini.

Mengelilingi bibir puncak, Anda akan mendapati 4 pemandangan-menakjubkan dari seluruh penjuru mata angin.

Di timur dengan sunrise nya yang amboi…

Gradasinya, aduh...
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Di barat dengan “pengulangan kaset” rekaman perjalanan Anda menggapai Mahameru, ada G. Ayak-ayak, G. Kepolo, Oro-Oro Ombo, Kalimati, Archopodo, Tanjakan 53, semuanya terlihat jelas! Dan mini!

Bromo, kecil banget jadinya dari sini
yang paling ujung sana, bukan yg dekat itu..


Di utara dengan pegunungan di TNBTS seperti G.Bromo, G. Batok, G. Penanjakan, dll.


View dari selatan dengan Wedhus Gembelnya
Dan di selatan, tanah tandus dengan kawah Semeru Jonggring Saloko yang tak terlihat di balik gundukan pasir-Kawah yang termasuk hiperaktif untuk ukuran gunung berapi.

Pukul 6 pagi, tuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit, seperti suara ketel uap yang siap masak terdengar nyaring. Gumpalan wedhus gembel coklat pekat bergelung-gelung ke udara. Meninggi dan berubah warna menjadi coklat muda. Angin membawanya menuju barat laut.

Sekarang saya paham kenapa pendakian-summit harus dimulai malam hari dan harus segera turun dari puncak maksimal jam 9 pagi. Sebab, ketika subuh seperti ini, angin berhembus ke barat laut, jadi wedhus gembel Jonggring Saloko bergerak menjauhi para pendaki. Agak siang dikit, arah angin berubah. Sedikit saja terhirup, boleh jadi nasib Anda akan seperti Idhan D Lubis atau Soe Hok Gie yang menghirup asap kawahnya.


Subhanallah, sungguh saya bersyukur berkesempatan melihat sunrise dan wedhus gembel Mahameru di penghujung Desember yang basah ini. Kami sangat-sangat beruntung.   

Previous Story:
Semeru Hari 1: Ranu Pane-Ranu Kumbolo
Semeru Hari 2: Oro-Oro Ombo - Archapada 

Next Story:
Semeru Hari 3 (2): Ayak-ayak

You might also like:
Laporan Biaya Pendakian Semeru
Survival Kit Mahameru   
    

Semeru Hari 2: Oro-Oro Ombo –Arcapadha


Kampanye anti sampah
Ranu Kumbolo 23 Des
Setelah 10,5 km (5 jam tempuh) kemarin, 23 Desember pukul 9 pagi kami siap packing dari Ranu Kumbolo. Rasanya tidak tega meninggalkan tempat yang sangat indah ini. Apalagi setelah mentari muncul dan kabut-kabut mulai naik, terlihat bahwa danau ini cantik tanpa pengecualian!


Team, yeah team!
Tanjakan sengsara, eh cintaaaa
Tapi kami harus buat perhitungan. Setelah membawa bekal air secukupnya (karena di atas tidak ada lagi Sumber Air selain Sumber Mani yang jaraknya 1 jam tempuh PP dari kalimati), kami mulai mendaki tanjakan (yang populer dengan nama) cinta (padahal cocoknya diberi nama "tanjakan sengsara"). Mitosnya, siapapun yang bisa jalan sampai puncak bukit tanpa menoleh ke belakang, cintanya bakal langgeng. Duh, saya sih nggak percaya begituan (jomblo detected, haha, hiks), jadi saya nengok Ranu Kumbolo berkali-kali. Habis, makin cantik saja danau itu dari atas (alibi!).

Selesai tanjakan, Kami dihadapkan pada turunan ekstrem bukit yang mengepung Oro-Oro Ombo. Sebetulnya bisa sih melipir bukit yang jalannya tidak ekstrem, tapi lebih jauh. Oro-Oro Ombo adalah Padang Sabana yang (hampir) homogen vegetasinya. (katanya) Ini adalah salah satu Padang Sabana tercantik di gunung Pulau Jawa.

Sabana Oro-Oro Ombo,
ternak sapi di sini gemuk pasti. #penting
Setelah Sabana 2,5 km nya berakhir, kami dihadapkan pada hutan bervegetasi cemara yang dinamakan “Cemoro Kandang”. Banyak pohon tumbang bekas terbakar letusan Semeru beberapa tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, ini mirip lokasi syutingnya film Twilight. Rutenya mayoritas menanjak sepanjang 3 km.

Sampai Jambangan baru jalannya mendatar. Di Jambangan, Anda baru bisa melihat Mahameru (untuk pertama kalinya) yang hampir kerucut sempurna seperti visualisasi anak TK terhadap gunung pada umumnya. Jambangan adalah padang rumput yang banyak dijumpai pohon perdu dan edelweiss putih. Hap hap, sedikit lagi *sugesti

Mahameru, dari Jambangan
Selepas 2 km Jambangan, Anda melalui Kalimati. Banyak pendaki yang memilih camp di sini sebagai titik awal summit attack nanti malam. Sisanya memilih di Arcapadha. Keuntungan/ Perbandingan masing-masing tempat camp adalah:

Kalimati
Arcapadha
Ada Sumber Mani sebagai tempat mengambil air.
Tidak ada, jadi yang mau camp di sini harus bawa air cukup sampai besok.
Tanahnya lapang, sehingga bisa menampung banyak tenda
Sedikit sekali tanah lapang
Dataran yang luas
Sempit dan mudah longsor (kata peringatannya sih)
Jauh dari Plawangan (batas vegetasi)
 Sudah Dekat Plawangan

Papan nama, Dead River, muhaha
Kalimati, sesuai namanya, adalah jalur sungai yang sudah mati. Hanya saat hujan deras dan Semeru meletus saja Kalimati ini terisi material. Kami istirahat sejam di Kalimati ini sebelum naik ke Arcapadha. Jarak Kalimati ke Archapada hanya 1,2 km. Jadi saya pikir akan cepat saja sampai di sana.

Rupanya jalannya ekstrim. Naik terus dengan tanah licin dan blank 75 (jurang sedalam 75 m) menganga di sebelah kiri. Di Blank 75 itulah konon banyak pendaki yang tersesat. Beruntung banyak tanaman cemara plus akar-akarnya yang bisa buat pegangan. Duh, hampir jam 2 kami baru sampai di tempat camp. Ini adalah rute terberat saya hari ini.

Usai sampai, kami segera mendirikan tenda karena gerimis sudah turun. Nasi dimasak, dan setelah kenyang kami masuk tenda. Walau hujan deras, kami cukup hangat meringkuk tidur siang di dalam sleeping bag. Jam 20, kami baru bangun karena di luar gaduh. Rupanya para pendaki lain sedang bersiap memasak makan malam. Kami pun juga bergegas memasak dan segera tidur lagi karena nanti tengah malam kami akan summit attack ke puncak Mahameru.    

Previous Story:
Semeru Hari 1: Ranu Pane-Ranu Kumbolo

Next Story:
Semeru Hari 3: Mahameru
Semeru Hari 3 (2): Ayak-ayak

You might also like:
Laporan Biaya Pendakian Semeru
Survival Kit Mahameru    

Semeru Hari 3 (2): Rute Baru, Ayak-Ayak

Tenda kami di Archapada,
setelah berdiri, beberapa menit kemudian hujan deras
....Subhanallah, sungguh saya bersyukur berkesempatan melihat sunrise dan wedhus gembel Mahameru di penghujung Desember yang basah ini. Kami sangat-sangat beruntung.      

Tidak hanya masalah sunrise dan wedhus gembel, tapi perjalanan kami memang sepertinya sangat diberkahi. Bagaimana tidak, di musim penghujan yang basah ini, kami hanya mendapati gerimis kecil saat berangkat, bahkan panas saat naik dari Ranu Kumbolo ke Kalimati, dan hujan deras sepersekian menit ketika tenda kami sudah berdiri di Archapada.

Kembali melanjutkan cerita hari 3, setelah puas mengagumi segala penjuru di Mahameru, kami turun. Kali ini saya dapat melihat jelas jalur yang tadi 4,5 jam saya daki. Hehe, bisa juga ya rupanya mendaki setinggi ini. Antara tidak percaya dan takjub.

Turunnya tidak susah, tapi sakit. Ujung-ujung jari kaki harus berdarah-darah mengerem setiap tubuh ini meluncur tak terkendali. Kalau tak berhenti juga, saya menjatuhkan –maaf- pantat saya ke pasir dan “plusurrr” persis seperti TK dulu pas main perosotan pasir di tetangga yang lagi bangun rumah (cuman ini pasirnya segede gunung, ehehe).

Sampai Archapada hanya sejam lebih sedikit dan sampai tenda pukul 9. Langsung tertidur kami mengingat air juga tidak cukup untuk masak.

Kami putuskan untuk segera mengemasi tenda dan bergegas menuju Ranu Kombolo sebelum hujan deras. Air kami sudah habis. Di kalimati kami meminta sebotol air ke pendaki lain untuk lima orang sampai Ranu Kumbolo.

Tidak sarapan dan dehidrasi, membuat saya (dan saya yakin teman-teman lain juga) lemas. Sedikit-sedikit break. Hampir saja saya memutuskan untuk menyuruh 4 orang lain pergi duluan ke Ranu, dan saya menyusul di belakang. Kasihan kalau harus berlama-lama gara-gara sering break. Sampai akhirnya, di Jambangan, saya berpapasan dengan teman sekosan dulu pas di kampus, Ferdhi, dan saya minta rampok crackers dan minumnya. ^^v

Mood booster yang baik rupanya berjumpa teman di gunung. Walhasil, melintasi Cemoro Kandang, saya sprint tak lebih dari 40 menit. Sesekali berhenti memberi kesempatan pendaki lain yang mau naik sambil berkata “Ganbatte”! Ya, menyemangati pendaki lain selalu asyik!
Jalur "atas" Oro-Oro Ombo.
Banyak Crop circle di bawah
Lepas cemoro kandang, kami melalui Oro-Oro Ombo jalur atas. Kami melipir ke kanan kearah bukit yang naiknya tidak terlalu terjal. Dari atas, terlihat banyak tulisan-tulisan di sabana Oro-Oro Ombo mirip crop circle. Ketahuilah wahai para penulisnya, vandalisme (?) ini harus dihentikan. Bukannya bagus, malah bikin Oro-Oro Ombo lubang-lubang nggak jelas. 

Finally, Ranu Kumbolo again. Lagi-lagi kami beruntung. Sesaat setelah berteduh, hujan turun deras. Sambil menunggu hujan reda, kami habiskan (masak) semua logistic agar tak terlalu berat, sisa mi instan dan bubur kami bagi ke pendaki lain. Oiya, Minum sepuas-puasnya air Ranu.

Kami putuskan pulangnya tidak lewat jalur kemarin (Landengan Dowo-Watu Rejeng) yang makan waktu 5-6 jam. Kami pilih jalur G. Ayak-ayak yang katanya bisa cuma 4 jam saja. Padahal, tidak seorang pun dari tim ini yang pernah lewat jalur ini.

Bukit Teletabis Rute Ayak-Ayak
Setelah tanya dan cukup yakin, kami berangkat. Saat itu pukul 4 sore. Setengah jam pertama, jalurnya indah sekali. Jalan setapak yang dikelilingi Bukit Teletabis dimana-mana. Selanjutnya mulai naik, naik, dan naik terus. Rasanya tiada habisnya. Ini seperti Archapada kedua yang didaki dengan stamina sisa belasan persen bekas summit. Gunung Ayak-ayak! Ayak ayak wae atuh (sunda gagal)

Dari atas Bukit Teletabis
Tepat sampai pucak saat adzan magrib (serius kedengar jelas adzannya). “Bentar lagi” batin saya. Lha wong kampung nya udah dekat kok. Ternyata jalan menurun setidaknya masih 2 jam lagi. Haha. *lemes

Pakai acara tersesat ke ladang penduduk pula. Awalnya mau nanya sekaligus minta air putih saja tapi malah disediakan makan malam plus teh panas plus perapian yang hangat. Wogh, Bapak Ibu-yang kami tidak tahu namanya- terima kasih banyak ya… Mugi Gusti Allah nyembadani.

Numpang tidur ya, Rakyat Tumpang.
Nuwus.

Sampai Pos Ranu Pane jam 9 malam, lapor, dan dapat Truck terakhir ke Tumpang. Terkantuk-kantuk sambil nunggu diberangkatkan! Sampai Tumpang jam 12.30. Kami tidur di musola –semacam- Balai Desa, Tumpang untuk cari angkot ke arjosari besok pagi.
Sebelum tidur, tiada habis keheranan saya mengingat, betapa banyak hal yang saya alami 3 hari ini. 


Ah, pundak dan kaki (dan sekujur tubuh sebetulnya) ngilu semua, but at least, I have something to be shared to my grandchild someday... Well, thank you, universe.