Hari itu saya mengambil keputusan paling menyesakkan dalam hidup. Memutuskan turun meski puncak tinggal sebukit gundukan pasir saja… Gunung itu adalah gunung yang sama esok, lusa, dan seterusnya. Tak kan lari ia dikejar selama masih ada kesempatan. Dan kesempatan itu baru saja kami ciptakan dengan memutuskan untuk turun, yang artinya kami masih hidup.
Saya lupa tepatnya, pukul berapa kami tertidur, yang jelas baru pukul
6 pagi kami terbangun dan mendapati pagi yang berkabut dan gerimis. Masih sama
seperti kemarin. Pucuk pucuk pohon pinus bergoyang-goyang tanda angin masih
kencang di luar sana.
Beberapa pendaki keluar dari tendanya, saling menyapa untuk
memastikan semuanya baik-baik saja pasca badai yang mencekam semalam meski
sambil menunjuk-nunjuk betapa jeleknya bentuk tenda mereka setelah pasaknya
bertahan sekuat tenaga agar tak tercerabut dari tanah Pelawangan Sembalun yang
tipis akibat abrasi angin.
Saya bergidik ngeri melihat jurang dan segara anakan yang ada di
bawah. Membayangkan kembali kemungkinan semalam tenda kecil kami terbawa angin
dan tercebur sempurna ke danau, beserta isinya tentu.
Setelah matahari agak tinggi, kabut mulai naik dan menghadiahkan
sinar-sinar jingga yang hangat. Membuat tubuh, jaket, tenda, dan semua
permukaan tanah menguap. Ahh, hangat sekali. Sejenak terbersit iri kepada
pendaki yang memilih waktu yang tepat di musim kemarau. Pasti mentari yang
hangat akan mengiringi perjalanan mereka sepanjang hari.
Ada sejenak masa ketika (hampir) semua kabut terangkat sempurna.
Menyajikan indahnya Segara Anakan, jalur pendakian Senaru di seberangnya, dan
tentu saja, bukit pasir yang mereka sebut puncak. Kami akan kesana nanti,
ketika angin sudah tak kencang lagi, ketika gerimis sudah tak cenderung menjadi
hujan, dan ketika semangat terisi kembali. Ah ya, sudah waktunya makan pagi.
Kami bergegas mengumpulkan bahan makanan ke satu tenda, menyalakan
kompor dan bersiap menanak nasi di depan tenda. Lalu tiba-tiba angin kencang
kembali menerbangkan pasir membuat air rebusan kami bercampur pasir. Semakin lama
angin semakin kencang dan betapa tak terkejutnya saya ketika menyibakkan pintu
tenda, kabut telah kembali mengungkung sekitar. Putih, Gelap. Saya tak perlu
kaget kalau hujan pun akan segera turun.
Kami menggigil mengelilingi kompor. Meski di dalam tenda, nasi yang
kami masak tak kunjung matang. Badai mulai berisik kembali di luar membuat kami
berempat berkumpul satu tenda dalam diam. Berkecamuk dengan pikiran
masing-masing. Mau apa setelah ini?
Memandangi Segara Anakan untuk terakhir kalinya sebelum turun See You Again |
Usai makan, kami keluar dalam gerimis, mencari informasi mengenai
alternatif apa yang akan kami lakukan. Tenda bule sebelah yang semalam
diterbangkan angin sudah tak ada. Mungkin sejak pagi tadi memang sudah tak ada,
berkemas turun, hanya kami saja yang tak sadar gerak cepat mereka.
Kami bertanya teman di tenda yang lain, katanya mereka akan menanti
lagi sehari kalau-kalau cuaca membaik. “Jadi, kalian akan tinggal di tenda ini
lagi nanti malam? Di bibir jurang ini? Dengan kemungkinan badai yang sama
seperti tadi malam?” Iya begitulah,
semoga nanti cerah, kata mereka mengambang. Kami melanjutkan mencari
penguatan alasan untuk tetap menginap di sana semalam lagi. Alih-alih
mendapatkan jawaban meyakinkan, malah kami dianjurkan para porter untuk segera
turun mengingat angin yang semakin kencang. Ditambah lagi ada beberapa pendaki
yang nekat naik sejak dini hari sampai pukul 9 belum balik sementara puncak
sudah sempurna tertutup kabut.
Meniti Punggungan Pelawangan Sembalun |
Singkat cerita, saya putuskan untuk turun setelah menimbang-nimbang
keselamatan rombongan. Saya tak mau bersikap oportunis terkait nyawa ketiga
teman saya. Dalam gerimis kami berkemas. Lama kami kesulitan melipat tenda yang
basah dan tertiup angin kencang. Akhirnya setelah sekian puluh menit, sebuah
keril yang basah menggembung siap dibawa turun. Perjalanan turun tak kalah
‘menyesakkan’ dibanding perjalanan naiknya dengan hujan yang tak kunjung jeda
serta kaki yang kram dan lecet dimana-mana. Hujan baru mengecil selepas Pos
III. Selama perjalanan dari Pos III ke Pos II, kami baru menikmati perjalanan
dengan pemandangan bukit teletabis yang luar biasa indahnya di sekeliling. Due
on that, suddenly I whispering: MasyaaAllah, Lombok is a blessed island.
The Blessed Island Pos III ke Pos II |
Sebelum sampai Pos II, kami bertemu serombongan pendaki (15 orang)
dari Johor Bahru dengan 2 guide yang dibawa dari ekspedisi Gunung sebelumnya:
Kerinci dan Semeru, serta beberapa porter lokal yang dibawa dari kaki Sembalun.
Mereka ramah dan terus menerus berbagi pengalaman pendakian sepanjang
perjalanan sekalipun terdapat banyak salah paham bahasa dimana-mana ketika kami
bercakap-cakap dengan bahasa Melayu. Akhirnya, kami sepakat bahwa menggunakan
bahasa Inggris malah lebih nyambung. Yang paling membuat kagum adalah mereka
bilang, seperti kata pendaki asing lainnya kemarin-kemarin, “Malaysia tak punya
volcano, Indonesia is the best lah kalau untuk pendakian volcano. Tapi you nak
mesti cuba hike Kinabalu, come Malaysia lah” tetep, endingnya jualan. Kami salut dengan mereka yang sudah datang
dari jauh mengagendakan secara rutin mengunjungi gunung-gunung berapi di negara
kita.
Karena terus bercerita di sepanjang jalan, kami tak menyadari kalau
langkah rombongan ini cepat sekali sampai harus lari-lari kecil di banyak
kesempatan untuk mengimbangi agar tetap berada di rombongan tersebut. Sudah
pukul 18 sejak kami turun di Plawangan Sembalun tadi pukul 9 pagi. Artinya,
sudah sekitar 9 jam kami turun tapi belum ada tanda-tanda akan sampai. Selepas Pos
I, saya pura-pura mengambil senter dan mempersilakan rombongan Malaysia
tersebut untuk melanjutkan dahulu. Fyuh, akhirnya ngga perlu lari-lari lagi. Iya mereka enak nggak bawa keril, cukup bawa
badan saja. Lha kami?
Tinggal kami berempat di Pos I, kami melanjutkan perjalanan dalam
gelap dan dalam diam. Rasanya fisik semakin lemah kalau nggak ada yang ngajak
ngobrol. Sejam terakhir, sudah tak terhitung berapa kali kami
terjungkal-jungkal karena kelelahan. 100 meter terakhir teman saya terduduk tak
kuat lagi melangkah. Kami harus berhenti cukup lama, menyeretnya selangkah demi
selangkah. Cahaya lampu pemukiman dan ladang penduduk tak pernah tampak begitu
menentramkan kecuali saat itu. Alhamdulillahirobbilalamin. Terimakasih ya Rabb,
saya membawa naik 3 teman dengan sehat dan kembali membawanya turun dengan
selamat meski beratnya perjalanan yang kami lalui. Fix, ini adalah pendakian
paling berkesan saya sejauh ini. Akhirnya, saya bisa mengerti, kenapa ada orang
yang sudah melakukan persiapan naik gunung dari jauh-jauh hari dengan matang
tetapi tetap gagal summit. Akhirnya juga, saya bisa merasakan sendiri badai di
atas gunung seperti yang kebanyakan diobrolkan para pendaki gunung.
Epilog:
Seorang teman yang kami kunjungi di Mataram tidak percaya ketika kami
katakan baru mendaki Rinjani. “di koran
yang kubaca tadi pagi, ada berita Rinjani ditutup lebih awal lho… tanggal 26
Desember udah ditutup karena badai beberapa hari terakhir. Kok bisa kalian
naik? Bohong nih…”
Saya tersenyum saja sambil berujar dalam hati “bagus lah kalau ditutup, kami ada di atas sana semalam, tanggal 26
Desember”