Tuesday 26 August 2014

Rinjani: Sebuah Kisah Pendakian Gagal (Bagian 1)

Pendakian itu butuh ilmu.

Pendakian itu bukan sekedar naik dan foto selfie /groupies di Puncak sambil bawa bendera.

Pendakian itu bukan hanya soal sunrise di puncak.

Dan terpenting, pendakian itu soal kembali ke rumah, dengan selamat.


Ini adalah gunung pertama yang saya gagal sampai puncaknya, tapi jika ditanya “Pendakian mana yang paling berkesan sejauh ini Mas?” Dengan mantap saya jawab “Rinjani…”
Saat terakhir melihat Danau Segara Anak,
dan kami putuskan turun...

Pendaki Cerdas

Saya tidak berhak menghakimi seseorang dengan predikat cerdas atau tidak. Siapalah saya… Hanya saja, perkenankan saya menceritakan kronologis gagalnya pendakian Rinjani kali ini agar menjadi pelajaran dan pengingat bagi saya khususnya, dan mungkin, Anda yang berminat mendaki gunung api tertinggi kedua di Indonesia tersebut, atau gunung lain apapun itu saat cuaca kurang mendukung.

Saya memilih berangkat di hari Jumat, 20 Desember 2013 sepulang kerja dengan kereta api dari Jakarta. Rutenya, Jakarta Pasar Senen – Jogjakarta Lempuyangan – Banyuwangi. Perjalanan kereta api sampai Banyuwangi memakan waktu sekitar 24 jam. Ditambah dengan bus 5 jam di Bali, Fery 5 jam di Selat Lombok, dan Travel 3 jam di Lombok sehingga totalnya, 37 jam kami habiskan sepanjang perjalanan Jakarta – Lombok. Memang sih biaya totalnya cukup murah bila dibandingkan dengan harga tiket pesawat saat peak season libur natal dan tahun baru, tapi konsekuensinya sungguh tidak murah. Meskipun tidak tampak, fisik kami sudah tidak 100% bahkan sebelum kami menginjak pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani.

Sebagai PNS, rasanya sulit mendaki gunung tinggi dengan hanya memanfaatkan sabtu dan minggu. Minimal harus mengambil cuti 3 hari yang jatahnya hanya 12 hari dalam setahun (minus cuti bersama). Akibatnya banyak periode traveling saya yang memanfaatkan tanggal merah bertumpuk-tumpuk seperti pada Desember 2011 (Bali, seminggu), Desember 2012 (Semeru, 4 hari), dan kali ini Desember 2013 (Lombok & Rinjani, 10 hari). Padahal Desember dinyatakan para pakar sebagai bulan paling basah sepanjang tahun. Probabilitas untuk tidak hujan hanya sedikit dan memang saya hanya berharap keberuntungan yang besar ketika memutuskan untuk naik gunung di bulan Desember.
hujan di selat Lombok, pagi pukul 8 WITA
 Kenyataanya, sepanjang perjalanan saya menemui hujan di mana-mana. Sejak di dalam kereta hingga di atas kapal di selat Lombok, hujan mengiringi perjalanan kami. Hanya semangat membabi buta yang mampu mengalahkan logika betapa sulitnya naik gunung di saat cuaca buruk.

Puncaknya, ketika naik pick up dari aikmel ke sembalun, hujan mengguyur dengan deras. Saat itulah saya pertama kalinya merasa ragu untuk meneruskan pendakian. Sebagai “yang dituakan” di tim ini, saya diberi tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan penting menyangkut keselamatan kami berempat. Tapi mengingat perjalanan kami yang terlampau jauh dari Jakarta, rasanya nanggung kalau mau berhenti di sini.

Kami sampai di Sembalun pukul 5.30 sore dengan hujan yang tak kunjung berhenti. Setelah lapor di Pos Sembalun, kami meneruskan naik pick up ke pintu masuk yang jaraknya sekitar 1,5 km.

Di bawah rintik hujan, kami memulai pendakian. Target kami adalah Pos II. Belum juga mencapai Pos I, gelap telah datang memeluk kami. Bersyukurnya, rintik hujan telah berhenti. Jalur sampai dengan Pos II Rinjani terkenal landai tapi panjaaaaang sekali. Jika Anda melaluinya di siang hari, banyak ranjau kotoran sapi di sana-sini karena memang bukit-bukitnya jadi ladang penggembalaan sapi. Kalau malam, ya…mumpung nggak kelihatan. 

Sampai Pos I sekitar pukul 7.30 WITA. Beberapa tenda sudah berdiri di sekitar balai-balai. Menurut sumber di internet, mata air baru ditemukan di Pos II, jadi kami hanya break sebentar di Pos I untuk memasak oatmeal dan melanjutkan satu jam perjalanan lagi menyusuri jalan setapak ke Pos II dalam kegelapan.

Sesampainya di Pos II Pukul 09.00 WITA, sudah banyak tenda berdiri mengelilingi pondokan sampai tidak ada tanah lapang lagi untuk mendirikan tenda kami. Kondisi di Pos II cukup ideal karena tertutup 2 bukit dan berada di pinggir aliran sungai dengan jembatan lebar menghubungkan keduanya.

Karena sudah larut malam dan badan kami kepayahan, akhirnya kami putuskan mendirikan tenda di atas jembatan. Kami belum tahu kalau di jembatan itu banyak makhluk tak diundang yang berlalu lalang.


To be continue ke Bagian 2...