Sunday 5 February 2012

Bali Last Day

Sampai dimana ya kemarin…?

Oh ya, sampai tertidur di pasir pantai Kuta.

Hampir pukul 1 dini hari saya merasa besok akan masuk angin kalau diteruskan tidur di pantai seperti itu. Jadi saya pun balik ke penginapan diikuti Mbak Amel, Iza, dan Dedi. Yang lain? Wallohualam. Pada hari biasa, jalanan agak sepi jam segitu, tapi kalau malam sabtu, beuh, angin rasanya bau bir.
Meski diskotik di bawah penginapan kami sangat berisik, saya bisa tertidur pulas. Katanya sih teman2 pada lihat sampai pukul 4 an pagi. (padahal kami janji bangun pagi buta mengejar matahari terbit di sanur).

04.30 WITA.

Seperti biasa, bangun lebih awal. Sepedaan sebentar melihat apa yang disisakan orang-orang dalam pesta semalam di jalanan Kuta.

(hot) sunrise
Dua hari sebelumnya, selalu sulit membangunkan teman-teman, tapi kali ini tidak terlalu. Mungkin setiap dari kami menyadari bahwa ini adalah hari terakhir kami di Bali dan penginapan serta sewa motor hanya sampai nanti pukul 11. Pukul 5.30 sudah berangkat menuju Sanur. Pakai acara bensin habis, tersesat, tertinggal, dan saling menunggu membuat kami terlambat sepersekian menit melihat sang surya muncul dari balik selat Lombok. Baru saya tahu, sunrise juga sangat panas ternyata. Apa karena ini Bali ya? Di Bromo enggak tuh (bersiap dijambak Iza, dicakar mbak Amel, dilempar puntung rokoknya Iwan).

Sanur adalah pantai “tua” yang sangat eksotis, dulu. Saya duga, dulu pantai ini jadi wisata pantai yang paling iconic di Bali (mungkin karena letaknya yang ada di ibukota ya…). Namun karena sudah melewati titik jenuh dan banyaknya sampah yang terselip di sana-sini, pantai lainnya jadi alternative. Tapi tetap sih, tempat paling asik buat lihat sunrise ya Sanur ini (itulah kenapa Sanur dijuluki pantai matahari terbit).     

Selanjutnya, tanah Lot. Terjadi sedikit perdebatan dalam memutuskan apakah sebaiknya mandi di pantai Kuta saja, atau menuju Tanah Lot Tabanan. Saya sih, selalu yakin bahwa tak lengkap kalau ke Bali tanpa ke Tanah Lot. Kenapa? Sebab di rumah setiap tetangga saya yang ernah ke Bali, selalu memajang foto dengan begron Pura Laut ini.

Sumpah, kami sangat tersesat dan terjebak macet selepas meninggalkan jalan raya utama Pulau Bali. Muter-muter di Gianyar. Nanya Pak Made1 nunjuknya ke arah sana (nunjuk utara), Pak Made2 nunjuk ke barat, Pak Made3 bilang enggak tahu. Akhirnya kami percaya peta saja lah. Thanks God. Sampai Tabanan juga.

Agak berbeda dengan berkilo-kilo sebelumnya di Denpasar dan Gianyar kota. Menuju Tanah Lot ini jalanan masih lengang (ternyata terkenalnya memang orang2 berkunjung ke Tanah Lot saat sunset) dan sawah dimana-mana. Ngebut.

Sampai parkiran Tanah Lot, ibu saya telfon (pantesan perasaan daritadi nggak enak. Hahaha, maaf ya Ibuk).
……………………. (dialog rahasia)
Ibu         : wis sarapan opo Nang?
Saya       : dereng.
Ibu         : lho kok dungaren?
Saya       : oh, enggeh, lagi ten njawi.
Ibu         : nang endi?
Saya       : err, (hening lama
àkarena bingung) Tanah Lot
Ibu         : oh, Tanah Lot (hening lebih lama dari hening saya tadi
àkarena masih belum nyambung). (lama kemudian)
Ibu         : lho nang Bali? masyaAlloh, mblarah ae. Kok gak matur ibuk se?
Saya       : nken nek matur mesti mboten angsal. Kulo pun bade wangsul kok buk.
Ibu         : yowis, sing ati-ati lho yo Nang.
Saya       : (fiuh, leganya…)

 
Di pantai bercadas, kami foto-foto. Banyak sekali. Membuktikan kalau memang Tanah Lot ini objek wisata paling fotogenik di antara objek lainnya yang kami kunjungi sedari lusa. Males saya terjun basah-basahan. Pasti tasnya jadi berat bawa pulang baju basah. Berdarah-darah, semua, kecuali saya dan Dedi, bela-belain foto loncat di atas cadas dengan begron ombak. Spektakuler sih hasil jepretannya.

adegan berbahaya, (tapi) boleh ditiru

Oh ya, terimakasih buat I Made Adi Primanta yang bersedia kami repoti buat nanya mulu. Baru saya tahu belakangan kalau yang di-sms-i Iwan itu juga Anda. Pasti ribet sekali ya. Sayang sekali kita semua tidak bisa jumpa di Tanah Lot. Padahal jam 10 pagi itu, saya berharap ada yang datang dan bawa nasi 10 bungkus. Untung Anda nggak datang ya. Haha. (tidak bercanda)

Dari Tanah Lot-Kuta ngebut juga. Saya dan Fauzi ketingggalan rombongan. Ngikuti papan penunjuk jalan kok rasanya ya muter2 saja. (serius malu betul saat nanya orang2 di Jalan Raya Legian, dimana Kuta berada… Padahal tinggal lurus saja). Eh ternyata kami semua juga terpencar dan tersesat masing2. Jadi pulangnya satu per satu. Tepat pukul 11 pemilik rental motor sudah nunggu.

Usai berkemas dan sarapan di KFC KutaBex (ecie, backpacker masuk resto!) kami carter carry ke Erlangga di Denpasar.

Beli oleh2, sholat Dhuhur dan Ashar, serta makan siang.

Tips, sok akrablah dengan penjual warung, alih2 sesama orang Jawa, pakailah bahasa Krama dengan beliau. Niscaya sepotong ayam ekstra besar akan ditambahkan ke piring Anda.

Calonya Ubung, beuh hati-hati kakak. Bisa ciut nyali kalau dikerubungi calo sebanyak itu. Padahal mereka menawarkan tiket bis yang ratusan ribu harganya. Langsung saja masuk ke bis abu-abu (agak jelek) yang ngetem di depan terminal, tujuan Gilimanuk, IDR 25.000.

Sampai Gilimanuk, kami beli tiket sendiri di pelabuhan. Sepi sekali. Menunggu pagi, kami tidur di mushola di Ketapang. Ketemu dengan Bli yang mau ke Malang. Asalnya dari tepian danau Bedugul. Katanya banyak muslim di desanya dan ada masjid juga. Tahu gitu hari kedua Jumat kemarin kami ke Bedugul saja sekalian solat Jumat. ><.

sampai lecek petanya
Sebelum tidur saya cek kantong jaket dan saya temukan peta Bali. Ada Taman Ujung, Yeh Pulu, Goa Gajah, Besakih, Bedugul, Beratan, Lovina, Tampaksiring, Benoa, Nusa Dua, Mengwi, Sangeh, dll yang belum kami kunjungi. Lihat, ada banyak alasan bagi kami untuk kembali lagi backpacking ke Bali suatu hari nanti. Lombok juga belum. Semoga. Aamiin.    

Tanah Abang, awal
Banyuwangi, akhir