Pernahkah Anda, misal, terbiasa kemana-mana naik kereta super ekonomi, lalu tiba-tiba dapat gratisan, catat, G-R-A-T-I-S-A-N, pergi ke suatu tempat impian dengan kereta eksekutif, dengan dipenuhi semua kebutuhannya. Itu yang Saya rasakan ketika September 2015 lalu, bersama atasan Saya di kantor, mendaki ceria ke Ranu Kumbolo. Semuanya dibayari, tak ada tawar menawar angkot, tak ada desak-desakan di truk. Rasanya ada yang hilang.
Dalam tulisan ini tidak akan dijumpai rincian biaya perjalanan sebagaimana ciri khas tulisan backpacking saya yang lainnya. Alasannya, pertama, karena memang perjalanan ini sudah terlampau lama di tahun 2015 jadi sebagian besar harga pasti sudah berubah sehingga tidak relevan kalau diulas. Kedua, karena semua biaya kami sudah dibayari oleh atasan saya, jadi, saya sudah tidak terlalu ingat lagi. Begitu mudah melupakan gratisan. Hihi.
Perjalanan dimulai dari Surabaya hari kamis malam tanggal 10 September 2015. Sebelumnya kami ada acara kantor dari hari senin sampai kamis di kota itu. Tepat kamis tengah malam kami memesan taksi dari hotel ke terminal Bungurasih. Dari Bungurasih, kami naik bus ke terminal Arjosari di Malang. Adakah yang lebih seram daripada naik-bus-jawa-timur-an yang terkenal ugal-ugalan? Ada, naik-bus-jawa-timur-an-pas-tengah-malam. Rencananya sih kami tiduran di bus biar bisa fresh pas nanjak besok paginya, eh realisasinya kami terombang-ambing di atas kursi masing-masing sambil merapal doa-doa keselamatan.
Setibanya di Malang, kami naik angkot ke Tumpang dan berhenti sejenak di sana untuk sarapan dan membeli beberapa sayur dan bumbu dapur di pasar. Kami melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani dengan men-carter jeep yang hanya diisi 5 orang. Teringat
Semeru pertama dulu yang harus berdesak-desakan menumpang bak truk di tengah hujan bersama lebih dari 30an pendaki lainnya, perjalanan jeep ini terasa "aneh".
Karena ini carter, perjalanan Tumpang ke Ranupani ditempuh dengan banyak perhentian. Kami banyak berfoto di tempat-tempat ikonik yang terinspirasi dari film 5 cm. Kebetulan juga jeep yang kami tumpangi adalah jeep yang dipakai shooting film 5 cm dulu.
|
Di sepanjang jalan dari tumpang ke ranu pani... Dari sini terlihat bromo dan lautan pasirnya. |
Sampai Ranu Pani, kami disambut debu pekat yang beterbangan di musim kemarau. Kami rehat untuk sholat jumat di desa Ranu Pani. Usai sholat jumat kami mengurus simaksi yang telah kami persiapkan jauh-jauh hari melalui laman resmi
TNBTS. Di pos lapor, kami mendengarkan prosedur keselamatan dan ceramah singkat petugas balai.
Selanjutnya, pendakian dimulai. Wait, sebelumnya, perkenalkan tim pendakian kami. Ada Usman yang sudah jago naik gunung dan pernah punya pengalaman hampir ilang di Ciremai, ada Randy yang seneng bener foto-foto, ada Pak Syam yang dermawan dan selalu minta break setiap sepuluh menit, dan Zulham, yang menjadikan Ranu Kumbolo sebagai pendakian pertamanya. Zulham baru memutuskan mau ikut naik gunung setelah berfikir setahun penuh. Dia pikir naik gunung itu begitu menakutkan dan menyengsarakan hingga begitu sulit bagi kami untuk mengajaknya jalan-jalan santai sambil bawa carier. Saya akan banyak menceritakan perjalanan ini dari sudut pandang Zulham, sebab ia adalah pendaki pemula dalam rombongan ini sehingga relevan untuk dibaca bagi Anda yang baru akan memulai pendakian pertama kali.
|
meet the team: Usman, Ane, Pak Syam, Randy, Zulham yang paling kanan katanya lagi cari jodoh |
|
Pertama kalinya Zulham senyum-senyum setelah mengeluh terus sepanjang jalan Lokasi: pos 5 dan sudah terlihat Ranu Kumbolo |
Zulham sudah mengeluh pundaknya sakit bahkan sebelum masuk gerbang pintu pendakian. Rupanya memang carier yang cuma berisi sleeping bag dan air mineral serta kebutuhan pribadi lainnya itu terpasang ala kadarnya. Kami membenarkan strap cariernya dan perjalanan pun berlanjut. Beberapa kilometer selanjutnya dia terus bertanya, "masih jauh bro? sudah mau sampai kan?". Alih-alih menjawab, saya pun terus mengingatkan untuk tidak fokus pada oksigen yang tipis dan beratnya perjalanan, tapi "nikmatilah pemandangannya Bro, ini salah satu jalur pendakian gunung terindah lho..." tapi rupanya dia tetap banyak komplain. Zulham banyak tertolong oleh Pak Syam yang paling senior di rombongan kami. Beliau selalu mampir borong semangka kupas setiap ada yang jual. Jalannya baru seperempat jam tapi break nya setengah jam. Haha. Kami baru melanjutkan perjalanan kalau sudah kedinginan karena kelamaan duduk sambil nyemil semangka.
|
"Ane: Teman-teman, Selamat datang di Ranu Kumbolo, surganya Semeru*" *ala Genta :'D |
Karena takut kemalaman, saya terus membujuk mereka untuk tetap berjalan melewati pos demi pos hingga akhirnya tiba di Ranu Kumbolo pukul 8 malam. Keempat teman saya langsung menggigil kedinginan dan bukannya banyak bergerak, mereka malah mau langsung meringkuk di balik sleeping bag.
Pagi harinya, mereka kegirangan dan tak henti-hentinya berfoto sana-sini dengan berbagai pose. Ranu Kumbolo seperti biasa, memang selalu indah. Zulham sudah melupakan saat-saat ketika kemarin dia mengeluh terus sepanjang perjalanan. Setelah sarapan, kami berkemas-kemas dan kembali turun pada pukul 9 pagi.
|
Syuruk di Kumbolo |
Rupanya, perjalanan turun harus dimulai dengan menaiki punggung bukit yang mengelilingi danau terlebih dulu. Lagi-lagi kami break setiap beberapa menit dan setiap bertemu penjual semangka potong. Kalau dihitung sepertinya perjalanan turun kami tidak lebih cepat dibanding perjalanan naiknya. Hihi. Tak apalah, namanya juga jalan-jalan ala eksekutif.
Epilog: Setelah turun, Zulham sudah tidak takut lagi naik gunung. Namun, dia tetap lebih memilih untuk tidak naik gunung jika ada opsi itu. "mending main ke pantai" katanya, dan sekarang, dia benar-benar jadi anak pantai dengan mutasi ke Bali.