Kali ini Saya akan memosting
tulisan yang bukan tentang jalan-jalan. Tulisan ini sebenarnya dimaksudkan
sebagai kenang-kenangan untuk kami dan anak-anak kami kelak. Bahwa proses
tumbuh kembang pertama yang mereka rasakan dulu saat baru lahir, dilalui
bersama tugas-tugas paper yang datang silih berganti, dan proses belajar
jalannya (ngelasut-merangkak-tatah) dilalui di tengah tumpukan kertas revisi-an
skripsi yang memenuhi ruangan.
Highlight dari tulisan panjang
ini adalah, Saya bersyukur sekali memiliki waktu dan kesempatan selama 1,5
tahun untuk membersamai istri dan anak. Waktu sebanyak ini adalah hal yang
mahal bagi seorang PNS yang dijatah cuti tak lebih dari 12 hari dalam setahun.
Banyak sekali hal menyenangkan selama di kampus, termasuk deadline
tugas-tugasnya, ujiannya, sidangnya, dan tentu saja, skripsinya. Bahwa ungkapan
“tidak ada hal yang lebih menyenangkan dibanding bangku sekolah” memang benar
adanya. Semoga kita, Saya dan Anda, dapat segera mengenyam bangku sekolah lagi ya.
Kami berdua mulai tugas belajar
diploma 4 pada pertengahan September 2015 di kampus yang sama, Politeknik
Keuangan Negara STAN, Tangerang Selatan. Bagi istri, ini adalah hadiah terindah yang
sangat ia nantikan. Pasalnya, istri saya sedang hamil anak pertama dengan usia
kehamilan kurang lebih enam bulan. Berangkat kantor setengah enam pagi dan
sampai rumah lepas isya membuatnya berdoa siang malam agar lulus ujian saringan
masuk diploma 4. Kami pun sepakat bahwa soal ujian yang sulit tersebut harus
dihadapi dengan belajar keras sebelumnya. Sayangnya, efek kehamilan yang
dirasakan istri tergolong unik. Ia bisa tidur kapan saja, dimana saja, dan
selama apapun. Saya selalu mendapatinya tertidur di atas buku-buku hanya beberapa
menit setelah kami berniat buka buku materi. Begitu seterusnya hingga menjelang
ujian. Hasilnya, dapat ditebak. Ia gagal tes tulis dan alhamdulillah Saya masih lolos ke tahap selanjutnya, psikotes.
Selama psikotes saya menghadapi
setidaknya tiga tekanan di luar soal psikotes itu sendiri. Kantor yang beberapa
hari sebelumnya sedang banyak-banyaknya lembur, waktu pelaksanaan ujian yang bersamaan dengan diklat fungsional, dan istri yang ngambek karena
harus berangkat kantor pagi itu sementara saya ujian
psikotes. Kalau bisa Saya istilahkan, Ia sedang bingung menentukan sikap. Di
satu sisi berbahagia, di sisi lain sakit hati sebab keinginannya untuk D4 jauh lebih
besar daripada Saya, "kok malah abi yang lulus ya Allah...".
Alhamdulillah akhirnya saya lulus
ujian dan dapat mulai kuliah sekitar sebulan lagi di September 2015. Di tengah
istri yang sedang dilema, antara turut berbahagia atau sedih karena
membayangkan saya bisa bersantai di rumah di sela-sela jadwal kuliah sementara
ia harus berangkat pagi pulang petang, ada beasiswa yang memberikan pilihan
kampus yang sama. Syaratnya mudah saja, melampirkan hasil tes TOEFL dan TPA. Lagi-lagi
Saya harus selalu menungguinya belajar bahasa inggris dan latihan soal TPA agar
tak terus-terusan tertidur. Singkat cerita, Ia pun lolos seleksi meskipun dengan nilai TOEFL
dan TPA yang tipis sekali dengan passing
grade. Yah, dengan demikian kami sah menjadi pasutri tubel.
Kejutan selanjutnya datang dari
kampus. Lokasi kuliah kami dipindah dari bintaro Tangerang selatan ke
Purnawarman (sekitar blok M). Artinya, setiap hari kami harus naik motor dan
saling menunggu jadwal kuliah kami yang berbeda. Kadang istri kuliah pagi dan Saya
kuliah sore. Ini artinya kami tetap berangkat setengah tujuh pagi dan pulang
lepas jam empat sore. Hampir setiap hari saya tiduran di sembarang tempat di
kampus Purnawarman menunggu istri selesai kuliah. Saya jadi berteman akrab dengan OB gedung di sana karena sering ketiduran di kelas kosong.
Dua bulan berlalu dan sampailah
ke minggu-minggu menjelang HPL. Setiap hari Saya membawa perlengkapan lengkap
lahiran istri di dalam tas kuliah ditambah bantal duduk untuk istri.
Persis seperti mahasiswa kutubuku karena tasnya yang terlihat sangat penuh.
Lahiran anak pertama bertepatan
dengan akhir jadwal Ujian Tengah Semester. Beruntung saat itu hanya tersisa
satu mata kuliah dengan ujian take home exam. Sehingga istri yang baru dua hari
pasca lahiran dapat saya tuntun untuk melakukan presensi ujian dan mengumpulkan
tugas via email.
Saat tugas belajar, diperkenankan
cuti selama satu semester. Namun, karena kurikulum istri adalah beasiswa, Ia
dilarang cuti karena kuliahnya harus selesai dalam 1,5 tahun. Jadilah istri
tetap kuliah rutin hanya 2 minggu setelah melahirkan. Luar biasa ya? Tapi
banyak kok kasus yang seperti itu. Bahkan beberapa teman tetap ujian beberapa
hari pasca operasi Caesar. Hmm, lihatlah
perjuangan ibu-ibu kalian Nak.
Kesibukan kami beberapa bulan
berikutnya berkutat dengan tugas kuliah yang berusaha ala kadarnya kami penuhi
di tengah keasyikan kami berlama-lama menemani si kecil di kasur. MasyaAllah,
lucu sekali bidadari kecil kami, Hafsa Tsabita Athoillah. Ia memfasilitasi
istri yang hobi tidur sejak masa kehamilan dengan terus-terusan minta nenen kalau istri sedang di rumah. Jadilah
mereka berdua tidur sebanyak dan sesering mungkin. Tak jarang saya yang panik
melihat deadline tugas istri yang masih belum disentuh sedikitpun padahal akan
dikumpul besok pagi. Banyak obrolan grup whatsap istri untuk tugas kelompok
yang saya balas mewakili istri yang tengah tidur pulas bersama Nak Hafsa.
Memang sejak
anak kami lahir, “belajar” tidak menjadi prioritas kami. Hihi, padahal judulnya “tugas belajar” kan ya… Effort kami hanya sebatas hadir di ruang kelas sebelum dosen
melakukan cek presensi saja. Sering sekali saya terlambat setengah atau satu
jam di kuliah pagi.
Sedihnya, dengan porsi belajar
yang hampir nihil bahkan saat ujian sekalipun, Indeks Prestasi istri di
semester 8 dan 9 masih lebih baik daripada nilai Saya. Kesimpulan sederhananya,
breast feeding itu adalah kegiatan
yang sangat mulia. Jangan takut Ibu-Ibu menyusui yang sedang tugas belajar,
untuk kehilangan apa yang bukan menjadi prioritas Anda (belajar), sebab, jika
Allah ridho, tak ada yang mustahil bagi Nya. Allah lah yang maha berkehendak
atas segala sesuatu.
Tugas belajar ini berlalu begitu
cepat. Saya selalu sedih setiap ujian tiba. Duh, perasaan kemarin baru UTS, kok
sekarang sudah UAS. Anak kami masih terlalu kecil kalau tugas belajarnya
selesai nanti. Bisa extended nggak ini tubelnya?
Semester terakhir kami hanya diisi
2 mata kuliah dan tugas skripsi. Beruntung kami mendapatkan dosen pembimbing
yang sama. Istri Saya memaksa agar mengambil mata kuliah skripsi yang sama agar
proses ke depannya lebih efisien. Jadilah Saya banting setir dari tema pajak ke
sistem informasi yang sebetulnya menjadi kelemahan Saya. Alhamdulillah banyak
pertolongan dalam penyelesaian skripsi ini. Istri? Hmm, kegalauannya meningkat
seratus persen menjelang batas pengumpulan proposal, sidang proposal,
pengumpulan skripsi, revisi dosen teknis, sidang skripsi, dan sidang
komprehensif. Rasanya, seperti memikirkan dua skripsi. Hafsa jadi lebih sering
berangkat ke daycare baitul maal beberapa pekan menjelang deadline.
Tibalah akhirnya, sidang skripsi
dan komprehensif yang menentukan kelulusan kami. Hari demi hari terlewati dan
semakin mendekati hari H, 19 Januari 2017. Namun, tak banyak yang dapat kami pelajari
mengingat kami lebih senang bermain bersama sang buah hati daripada berkutat
dengan buku-buku materi. Saya teringat pesan senior yang dulu dimintai nasihat/
tips agar mampu melewati skripsi dan sidang dengan lancer, jawabnya “perbanyak
aja bersedekah dan berbuat baik, apapun itu bentuknya”. Pesan ini kami percaya
sebagai langkah yang lebih masuk akal ketimbang membaca puluhan materi kuliah
selama d3 dan d4 di PKN STAN. Hasilnya, alhamdulillah kami berdua lulus dengan
predikat “dengan pujian”.
Sungguh kami sangat menyukai
tugas belajar. Ini adalah rekreasi terlama yang pernah kami rasakan. Saya
menyadari bahwa menghabiskan hari-hari bersama sang buah hati adalah nikmat
yang kurang lebih sama seperti naik gunung. Keduanya sama-sama membuat badan
pegal-pegal. Tapi senyum dan canda tawanya adalah bonus sunrise yang indah
setelah perjalanan panjang meniti setapak. Saya sependapat dengan tulisan
seseorang di facebook beberapa hari lalu:
“Sejatinya dalam pengasuhan, bukan kita yang menghibur anak kita, tetapi merekalah yang justru menghibur kita dengan canda tawanya. Kita banyak berbuat salah pada mereka, tetapi mereka tiada hentinya membalas kita dengan canda tawa dan kebahagiaan dalam rutinitas harian kita yang memenatkan. Kita berhutang banyak pada mereka.”
Terakhir, tulisan ini dibuat di
saat kami menunggu wisuda di 22 Maret 2017 nanti. Ada yang bergejolak dalam
dada. Rasanya begitu sulit membayangkan kami akan segera kembali ke dunia nyata
lagi, berangkat ke kantor jam setengah enam pagi dan sampai rumah lepas Isya. Hanya bisa
mencium pipi anak kami banyak-banyak saat ia sudah mengantuk sebagai bentuk
permohonan maaf dan perasaan bersalah telah meninggalkannya seharian di
daycare.
Ah sudahlah, tak baik
membicarakan hal yang masih belum terjadi. Semoga kami semua mendapat solusi
terbaik dari keadaan yang akan kami hadapi kelak. Yang jelas, kami sangat
bersyukur mendapat 1,5 tahun ini untuk memberikan pengasuhan dini hampir 24/7 bagi
anak kami. Terimakasih Ya Rabb, Terimakasih PKN STAN, Terimakasih Kemenkeu,
Terimakasih Semuanya. Semoga kita semua dimudahkan untuk tubel lagi ya… Aamiin…
Alhamdulillah, semoga bisa tubel bersama lagi... |
Alhamdulillah, Gedung G, 15 Maret 2017 |
MasyaAllah semoga nular sama aku dan masku tahun ini dan setelah wisuda bareng segera dihalalkan akunya Amiin ya rabbal'alamiin
ReplyDelete