Friday 2 October 2015

Surat Buat Anakku (2) - Shaum Ramadhan Sebulan Penuh

Pertengahan April 2015, Usiamu 5 minggu di perut Ibu

Ibumu berhasil membujuk Ayah untuk periksa ke dokter kandungan. Bukannya enggan, tetapi Ayah masih sangat tidak berpengalaman berurusan dengan dokter. Jadi, mendengar kata “yuk periksa ke dokter” terdengar aneh sekaligus menakutkan di telinga Ayah.

Kami memilih dokter kandungan yang banyak direkomendasikan teman-teman Ayah Ibumu. Kata mereka, dokter nya sok kenal sok dekat gitu deh, cocok sama pasien-pasien pemalu seperti kami dan pasangan muda lainnya. Jadi, bukan pasiennya yang banyak bicara, tapi dokternya yang mancing nanya-nanya, katanya.

Kenyataannya, saat itu Jakarta sedang musim penghujan Nak. Malam hari, di tengah hujan rintik-rintik dan macetnya Jalan Raya Ciputat, kami bertemu dokter tersebut.
“Assalamualaikum Bunda, apa kabar, alumni STAN ya?”
(hmmm, ternyata benar sekali apa yang dibilang teman-teman Ayah, dokternya sok akrab Nak)

Di tempat ini, perut Ibumu selalu di USG untuk melihat tumbuh kembangmu. Selanjutnya dokter mencatat di Buku Perkembangan Ibu dan Anak. Isi catatannya? Maaf Nak, tulisannya terlampau sulit dibaca. Yang jelas, panjang tubuhmu baru  0,46 cm kala itu. Kira-kira itu sama dengan panjang kukumu saat ini. Kecil ya? Saat kau membaca ini, tinggi badanmu sudah berapa Nak?

Pertengahan Mei 2015, Usiamu 10 minggu di perut Ibu

Ayah tidak takut lagi ke dokter. Jadi Ayah bergegas mengiyakan ketika Ibumu mengingatkan, “Kanda, sudah sebulan nih, nengok dedek yuk…”

Kali ini Jakarta sudah mulai masuk kemarau tapi tak ada bedanya di jalanan, macet dimana-mana Nak. Saat mengantri, Ibumu berujar, “Kanda, nanti kalau besar dedeknya profesinya apa ya?”, “jadi dokter kandungan aja ya?”, “eh tapi kalau cowok, jangan sampai jadi dokter kandungan, serem ah”, “eh tapi kan kita nggak boleh menyetir keinginan anak ya…, kalau nggak cocok lalu dia stress gimana, belum tentu itu yang terbaik kan Kanda”, “berdoa saja kita, semoga jadi apapun, dedek nanti jadi anak yang soleh/solehah, yang mendoakan orang tuanya baik ketika masih hidup apalagi kalau sudah tiada”, “oiya kanda, jangan dipanggil dedek deh nanti kalau udah lahir, dipanggilnya kakak saja. Kita persiapkan sedari dini untuk melatih tanggung jawab, dan biar lebih cepat dewasa nanti dibanding adik-adiknya kelak”

Nak, tadi semua itu perkataan ibumu lho. Ayah belum sempat berkomentar, sudah disambung dengan kalimat selanjutnya. Begitulah Nak, konon kata orang, kalau wanita sedang banyak bicara itu berarti suasana hatinya sedang baik. Tidak perlu mengomentari berlebihan, Ayah cukup angguk-angguk, ber “hmmm”, “yup”, “haha”, “waaah” dan sejenisnya sudah mampu membuat dunia aman.

Hasil USG yang kedua, panjang tubuhmu sudah 5,4 cm. Cepat sekali Nak Engkau tumbuh besar.

Pertengahan Juni 2015, Usiamu 14 minggu di perut Ibu

Dokter Kartika sangat modern Nak, setidaknya beliau menepiskan sebagian besar pantangan bagi Ibu hamil yang kerap diwanti-wanti sama budhe-budhe di kampung Ayah maupun Ibu. Kata Dokter Kartika, tak perlu khawatir jika kita bertiga bepergian jauh naik motor (dengan kondisi Jakarta yang lebih banyak polisi tidurnya daripada jalan datarnya), Ibumu tak perlu makan berlebih untuk dua porsi sebagaimana kata Mbah Putri di desa yang berkali-kali bilang “makannya harus banyak lho, kan buat dua orang sekarang”, tak ada pantangan makanan seperti daging mentah, durian, dsb dan terpenting Ibu boleh juga shaum lho meski usiamu baru 14 minggu di perut Ibu.


Akhir Juni adalah bulan Ramadhan Nak, dan sebelumnya Ibu juga punya beberapa hutang puasa. Alhasil, kami sempat kebingungan sebelum diyakinkan oleh Dokter Kartika bahwa berpuasa saat hamil muda itu tak jadi masalah. Wong ngendikane Rosul, puasa itu bikin sehat kok ya… Jadilah dedek ikut puasa sama Ibu selama sebulan penuh. Alhamdulillah, dedek luar biasa. Wah, besok mulai puasa lagi umur berapa ya Nak? Masak kalah sama dedek bayi dulu yang baru 14 minggu sudah shaum?

besok-besok kita foto bertiga ya dedek ya...

Thursday 1 October 2015

Pulau Semak Daun, Pelarian Penatnya Jakarta


dermaga Pulau Semak Daun
Berlari ku ke pantai, kemudian teriak ku...


Salah satu puisi dalam drama laris Ada Apa Dengan Cinta (2004) tersebut saya pilih karena layak menggambarkan kebutuhan warga ibukota yang setiap hari harus berkutat, hampir dua puluh empat jam, dengan macet, polusi, banjir (atau kekeringan seperti saat ini), dan berbagai problematika hidup di kota yang waktunya berjalan sangat cepat ini. Stress begitu mudah menghinggapi penduduk kota ini.

Tak heran, ketika akhir pekan, ribuan orang Jakarta berbondong-bondong mencari hiburan baik itu di dalam maupun luar kota. Stasiun, Terminal, dan Bandara tak pernah sepi ketika akhir pekan. Jika disurvey, kami (warga Jakarta) mungkin memiliki anggaran terbesar yang dialokasikan untuk jalan-jalan mengurai stres selama hari kerja dibanding warga kota lain di Indonesia. Meski demikian, tetap saja, banyak warga Jakarta mengatakan diri mereka "kurang piknik", nah lo.

Berlari ke pantai? dimana ada pantai di Jakarta? Ada.

Salah satu alternatif untuk menemukan pantai yang bisa dipakai teriak adalah di Kab. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (catat, masih provinsi DKI lho). Untuk menuju ke sana ada beberapa cara, salah satu yang biasa dipakai oleh traveler kantong pas-pasan adalah dengan menumpang kapal kayu dari Pelabuhan Muara Angke. 
Di pelabuhan yang ramai ini, Anda bisa berbelanja ikan untuk dibawa ke Pulau guna masak-memasak. Dulu kami serombongan besar membayar Rp 100.000 dan sudah mendapatkan dua kotak sterofoam dengan berkilo-kilo udang, ikan merah, dan cumi. 

welcome to the bridge, bringing you into joy
Dari Pelabuhan Muara Angke, kalau tidak salah, Anda bisa membayar Rp 35.000 untuk menuju Pulau Pramuka (Ibukota administratif Kab. Kepulauan Seribu) dengan menumpang kapal kayu berpenumpang ratusan atau entahlah. Lama perjalanan selama kurang lebih 2 jam ditempuh dengan kekhawatiran akan jumlah jaket pelampung yang jumlahnya kurang dari jumlah penumpang. Ombak yang cukup besar juga cukup menakutkan bagi saya yang tak pandai berenang ini.

Dari pulau Pramuka biasanya perjalanan dilanjutkan dengan menyewa perahu yang kapasitasnya sekitar 20 orang saja ke pulau-pulau yang lebih jauh. Saya lupa persisnya berapa biaya sewa perahu tersebut karena waktu itu perginya bersama rombongan trip yang menawarkan harga paket. Tips: pergilah beramai-ramai agar bisa menghemat sharing cost kalian.
Harga sewa perahu kadang ada yang termasuk sewa alat snorkeling. Sistemnya, mereka akan mengantar ke pulau yang dituju, mengantar ke pulau-pulau sekitar (hoping island), dan mengantar ke spot-spot terbaik untuk menyelam.

Pulau Semak Daun

Entah kenapa pulau ini dinamai demikian, yang jelas memang terdapat beberapa semak pepohonan yang melindungi pengunjung dari teriknya matahari siang di tengah laut. Di tengah pulau ada satu warung yang menjual air bersih dan makanan yang harganya terpapar inflasi hebat. Mahal! Kalau mandi, cukuplah air sumur yang meski asin juga, tetapi lumayan bersih. Kamar mandi ada, tapi airnya mesti nimba sendiri ya...
semak-semak, lalu ada dedaunan
mungkin itu alasan dinamakan semak daun
Jika Anda beruntung, pulau ini relatif sepi dari keramaian. Pengunjung harus membawa tenda sendiri kalau mau menginap di sana. Di tengah semak dedaunan, dirikan tenda dan nyalakan api unggun untuk memanggang cumi dan udang bekal kita. Hmm, stress killer banget ya...

Di salah satu ujung Pulau ini terdapat perairan landai yang bisa digunakan untuk berkano santai. Di ujung lainnya, tanaman bakau yang baru ditanam adalah lokasi foto yang indah.

Oya, sebetulnya trip rombongan biasanya tak banyak menghabiskan waktu di Pulau ini sih. Karena kebanyakan langsung hoping island atau pergi menyelam. Paket trip wisata yang sharing cost bisa dipilih apabila tak mau ribet. Kemarin saya 2 hari 1 malam di harga Rp 250.000 all in. 

Terpenting, jangan lupa bawa kembali sampah Anda. Jaga agar pulau-pulau yang menyenangkan itu tetap menyenangkan esok, lusa, dan seterusnya. 


Salam,


-pnsbackpacker yang sedang tugas belajar- 
-sedang di perpustakaan menunggu istri selesai kuliah-

easy?



Tuesday 14 July 2015

Surat Buat Anakku (1)

Akhir Maret 2014

Nak, pekan itu Ayah membuat sebuah keputusan penting. Ayah akan melamar anak orang. Di awal bulan Mei 2014, bertepatan dengan libur nasional, sekeluarga besar berangkat pukul 21.00 WIB dari Mojokerto menuju Bantul. Semuanya senang, semuanya antusias sebab di Bantul bertebaran objek wisata pantai yang jarang-jarang dijumpai orang Mojokerto. Cuma satu orang saja Nak yang cemas sekaligus risau dalam rombongan itu, Ayahmu. Tak lain karena ia akan membuat keputusan besar esok harinya, “mengambil tanggung jawab seorang wanita dari ayahnya”. Ya tanggung jawab ekonominya, sosialnya, psikologisnya, dan yang terberat adalah tanggung jawab agamanya.

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya….” (Q.S. 4: 34)

Penghujung Desember 2014

Tahukah kau Nak, jarak waktu 7-8 bulan sampai dengan tanggal akad nikah adalah masa yang sangat berat bagi Ayahmu? Pun dengan Ibumu. Kelak kalau kau sudah dewasa, tanyalah Ayah dan Ibumu alasannya.
Pertengahan Maret 2015

Ayah dan Ibu menghabiskan akhir pekan dengan jogging di sekitar kampus Jurangmangu (sebenarnya yang jogging Ayahmu saja, Ibumu hanya naik sepeda dan sibuk memotret-motret Ayahmu yang lagi lari. Tiba-tiba sepulangnya, Ibumu mengeluh mual dan pusing sampai malam hari. Ayahmu yang logis ini langsung memvonis Ibumu pasti masuk angin, sebab sore hari di kampus sungguh berangin kencang. Kalau tak percaya, kesanalah sore hari. Pasti kau akan senang layaknya layang-layang yang siap terbang.

Alih-alih menyuruh Ayah membeli obat masuk angin, Ibumu malah memaksa Ayah membelikan test pack. Itu lhoh, alat yang digunakan untuk mengecek, apakah Engkau sudah nyenyak tidur di perut Ibumu atau belum…

Keesokan harinya, pukul 3 pagi, Ayah dibangunkan Ibu yang matanya sembab. Ia memperlihatkan test pack yang kemarin Ayah belikan. Setengah mengantuk, Ayah melihat segaris warna merah muda di alat tersebut.

Kata Ibumu, Ayah tak berekspresi sedikitpun saat itu. Sst, kuberi tahu kau satu rahasia, meskipun selalu terlihat tenang dan kalem, emosi Ayahmu lebih sering meluap-luap ketika bahagia. Kenyataanya, setelah bilang “Oh, iya Dinda (panggilan Ayahmu buat Ibumu sebelum ada Engkau), masih jam 3 pagi, tidur lagi saja”, sambil menyembunyikan wajah gugup di balik bantal, jantung ayahmu langsung berdegup tak karuan, tiada henti Ayah mengucap hamdalah atas anugerah yang tiada terkira. Alhamdulillah ya Rabb.


Ngomong-ngomong, sejak kapan kau anakku pandai mewarnai? Test pack selanjutnya bahkan kau warnai dengan lebih tebal. 

28 Desember 2014
...adalah musim dimana tanah baunya harum karena jutaan tetes hujan yang mencumbuinya dengan mesra.
Itu yang kurus, memang benar Ayah Ibumu Nak. Pangling kan?   


Thursday 30 April 2015

Bandar Lampung, Gerbang Sumatera Yang Elok

Sudah lama saya ingin menginjakkan kaki di Sumatera dan tempat-tempat lain di Nusantara yang belum saya kunjungi. Rasanya menyenangkan membayangkan berjumpa tempat baru, terpisah lautan, dengan penduduk dan kultur baru.

Singkat cerita, akhir tahun 2014 kemarin saya ditugaskan oleh kantor ke Bandar Lampung. Girang hati ini menyambut tanggal keberangkatan. Tiap ada kesempatan, saya buka internet mencoba mengumpulkan keterangan tentang tempat-tempat menarik yang harus dikunjungi di sana. Menara Siger, Patung Gajah, Way Kambas, Pantai Kelumbayan, Teluk Kiluan, dan Pahawang ada dalam dream destination saya saat itu. Yakali perginya sebulan... Padahal cuma 2 hari.

Menjelang keberangkatan, saya putuskan untuk naik pesawat ketika berangkat, dan pulang naik Royal Damri agar pengalaman darat, laut, udara bisa didapatkan sekali perjalanan. Harga tiket Garuda Jakarta - Lampung yang hanya berjarak 165 km ternyata lebih mahal lho saat itu daripada harga tiket di hari yang sama rute Jakarta – Surabaya yang jaraknya mencapai 784 km.

Pesawat kami mendarat di Bandara Internasional Radin Inten II Lampung setelah mengudara tak lebih dari 40 menit. Bagusnya, mendarat di Bandara kecil, kita tak perlu antri masuk landasan pacu seperti di Soetta atau Juanda.

Keluar Bandara, untuk menuju Kota Bandar Lampung, harus berkendara sejauh 14 km ke selatan. Jalanan di sana naik turun dan bergelombang akibat banyaknya truk dan kendaraan berat dari Jawa yang semuanya pasti melewati jalan yang sama apabila hendak ke kota-kota lain di Sumatera. Memasuki kota di siang hari, semilir angin laut yang panas berhembus dari Teluk Lampung ke Utara dan sebaliknya, apabila malam hari angin berhembus dari perbukitan dan gunung kunyit ke selatan. Persis teori di pelajaran IPA kelas 4 SD dulu ya.

Kota Bandar Lampung nampaknya tak kalah padat dengan kota besar di Jawa saat rush hour. Saat itu saya mengunjungi stasiun kereta api Tanjung Karang (eh, ternyata ada kereta penumpang lho yang menghubungkan jalur Bandar Lampung ke Palembang dengan waktu tempuh 8 jam) di saat jam makan siang. Macet, persis seperti Jakarta! Kota ini juga dipenuhi berbagai patung/monumen di setiap perempatan. Ada banyak sekali tempat berfoto di tengah jalan Kota Lampung. Kebanyakan menonjolkan Ornamen Gajah dan Siger.

Siger (Lampungsigoʁ, sigokh) adalah mahkota pengantin wanita Lampung yang berbentuk segitiga, berwarna emas dan biasanya memiliki cabang atau lekuk berjumlah sembilan atau tujuh. Siger adalah benda yang sangat umum diLampung dan merupakan simbol khas daerah ini. Siger dibuat dari lempengan tembaga, kuningan, atau logam lain yang dicat dengan warna emas. Siger biasanya digunakan oleh pengantin perempuan suku Lampung pada acara pernikahan ataupun acara adat budaya lainnya.Pada zaman dahulu, siger dibuat dari emas asli dan dipakai oleh wanita Lampung tidak hanya sebagai mahkota pengantin, melainkan sebagai benda perhiasan yang dipakai sehari-hari.
Siger merupakan simbol khas Provinsi Lampung. Siger yang menjadi lambang Lampung saat ini merupakan simbolisasi sifat feminin. Pada umumnya, lambang daerah di Nusantara bersifat maskulin. Seperti di Jawa Barat, lambang yang dipergunakan adalah Kujang, yaitu senjata tradisional masyarakat Sunda. Contoh lain adalah Kalimantan dengan Mandaunya dan Aceh dengan Rencongnya.
Simbol-simbol pada daerah melambangkan sifat-sifat patriotik dan defensif terhadap ketahanan wilayahnya. Saat ini penggunaan lambang siger bukan hanya masalah lambang kejayaan dan kekayaan karena bentuk mahkotanya saja, melainkan juga mengangkat nilai feminisme. Siger mengambil konsep dari agama Islam. Islam sendiri adalah agama yang dianut seluruh Suku Lampung asli. Agama Islammenyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan perempuan sebagai manajer yang mengatur segala sesuatunya dalam rumah tangga. Konsep itulah yang saat ini diterapkan dalam simbolisasi Siger. Bagi Masyarakat Lampung, Perempuan sangat berperan dalam segala kegiatan, khususnya dalam kegiatan rumah tangga. Di balik kelembutan perempuan, ada kerja keras, ada kemandirian, ada kegigihan, dan lain sebagainya. Meskipun masyarakat Lampung sendiri penganut garis ayah atau patrilineal. Figur perempuan merupakan hal penting bagi masyarakat Lampung, yang sekaligus menjadi inspirasi dan pendorong kemajuan pasangan hidupnya. (Wikipedia)
Kota Bandar Lampung memiliki kontur berbukit-bukit, persis seperti Malang dalam banyak hal kecuali udaranya yang relatif panas. Tanjakan atau turunannya bahkan lebih ekstrim. Mungkin hal ini disebabkan karena Bandar Lampung adalah akhir dari Bukit Barisan yang bertemu langsung dengan Selat Sunda, gunung ketemu laut. Akibatnya, semua bangunan di kota ini harus menyesuaikan dengan keadaan tersebut. Ada masjid yang di atas bukit, rumah dinas dan kantor pemerintahan di atas bukit, kafe yang bertingkat-tingkat karena berada di lereng bukit, hotel yang naik turun antara loby dan kamar-kamarnya, dan sebagainya. Efek menakjubkan lainnya, banyak titik tempat kita bisa melihat kumpulan lampu seperti bukit bintang. Kota ini juga sedang gemar memasang lampu warna-warni di atas jalanan dan persimpangan seperti ketika ada perayaan hari kemerdekaan. What a romantic city.
Foodcourt di depan Masjid Agung Lampung
Tempat Wisata
Persis seperti gambaran orang-orang di internet, Bandar Lampung adalah lokasi wisata sekaligus gerbang untuk menuju surga wisata lainnya di selatan sumatera.

Pantai Pasir Putih
Pantai ini banyak menuai kekecewaan dari para traveller yang datang dari Jawa dan melewati pantai ini dari pelabuhan Bakauheni lantas memutuskan turun dari Bis Damri untuk mengunjungi pantai ini.

Ikon dan Ikan di Pantai Pasir Putih. Only for 17+
Pantai ini terkikis abrasi yang parah sehingga harus dibeton di sana-sini. Jadilah definisi “pantai” yang sebenarnya, tidak bisa kita jumpai di sini. Pantai ini telah dibuat seartifisial mungkin dengan warung-warung, patung putri duyung yang telanjang dada, dan arena outbond. Jauh dari kata indah, tetapi saya rasa, tak ada salahnya mengunjungi pantai tua yang pernah berjaya di masa lampau ini. Saya membayangkan pantai ini dulu pantai yang cantik dan ramai oleh pengunjung kota dengan perahu-perahu yang berjajar siap mengantarkan ke banyak pulau di teluk Lampung.   

Pantai yang terletak di Jalan Trans Sumatera, Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan berjarak 20 km dari pusat kota. Yang patut diwaspadai adalah, di sepanjang jalan, Anda harus berbagi jalan dengan bis dan truk-truk besar yang relatif ramai.

Pantai Mutun
Pantai ini terletak di Sukajawa Lempasing, Bandar Lampung dan berjarak sekitar 19 km dari pusat kota. Untuk ke sana dari kota Bandar Lampung, Anda bisa berpatokan pada google maps atau nokia maps. Ketika di sana, sinyal internet lumayan kencang untuk menghidupkan navigasi.
Rute dari Bandar Lampung ke Pantai Mutun

Pekuburan di Bukit
Welcome, Travelers
Melintasi jalanan naik turun dari Kota Bandar Lampung, pantai segera terlihat di penghujung jalan. Namun, bukan itu pantai Mutun yang kita maksud. Setidaknya ada 4 pintu masuk Pantai lainnya sebelum Pantai Mutun di sepanjang jalan RE Martadinata. Jika punya waktu cukup, Anda bisa mencoba masuk satu per satu. FYI, setiap gerbang pantai tersebut selalu ada petugas retribusi (tiket masuk) yang harganya kira-kira Rp 5.000,00.

Sebelum masuk Pantai Mutun, ada gapura “Selamat Datang di Kawasan Wisata Pesawaran” dan tak jauh dari gapura tersebut, terdapat pemakaman China yang bertumpuk-tumpuk di atas bukit. Bagi anak kota macam saya, hal tersebut sudah bisa menjadi objek foto yang menarik.

Pantai Mutun
Heavenly Beverages
Private Boat to Tangkil Island
IDR 50.000
Saat itu saya datang sore hari saat weekday, jadi suasana nya agak sepi. Perahu-perahu tertambat rapi menunggu pelancong yang hendak menyeberang ke Pulau Tangkil. Pasirnya lembut, dan garis pantainya panjang. Di seberang Teluk Lampung ada Pantai Pasir Putih yang ternyata di sekitarnya adalah daerah industri yang lebih ramai dengan cerobong asap. Di Pantai ini berjajar gubuk-gubuk untuk beristirahat lengkap dengan warung dan fasilitas lainnya seperti mushola dan toilet. Biaya parkir di sini Rp 5.000,00.

Pulau Tangkil
Terletak sepelemparan batu dari pantai Mutun, Pulau ini adalah satu paket yang harus dikunjungi. Di pulau yang cukup kecil ini, tersedia fasilitas yang cukup lengkap seperti banana boat, speed boat, parasailing, menyelam, kano, fliying fish, dan slaloom. Terletak di tengah Teluk Lampung, Pulau ini cukup berisik dengan lalu lalang kapal besar yang melakukan bongkar muat ke pabrik-pabrik di Lampung Selatan. Namun pantainya lumayan bersih mengingat jumlah pengunjungnya yang relative banyak. Pasirnya putih bedak dengan tulisan “T A N G K I L” yang cukup besar sebagai ikonnya.
Ready to canoing?
Sisi selatan Tangkil
"T A N G K I L"
Boleh dipilih! Water Sport @ Tangkil
Pecinan Teluk Betung
Terletak di sisi selatan Kota Bandar Lampung, daerah Teluk Betung adalah pusat peradaban Bandar Lampung tempo dulu. Seperti halnya pecinan lainnya di Indonesia, ornament merah menghiasi berbagai sudut kota. Tetapi, alih-alih tertarik dengan Vihara Thay Hin Bio, saya lebih memilih mengunjungi toko china di sampingnya. Sama-sama pecinan khan… Yup toko oleh-oleh Yen Yen yang terkenal se Indonesia. Berbagai olahan pisang adalah oleh-oleh andalan khas toko ini dan akhirnya, khas Lampung juga.
Di sampingnya persis ada Yen Yen :D
Tugu Gajah
Siapa yang tak kenal Way Kambas? Traveler negeri seberang pun bahkan sudah banyak yang mengunjungi pusat rehabilitasi dan penangkaran gajah sumatera yang saat ini statusnya sudah endangered animal. Sisa 1.700 ekor cuy di muka bumi ini. Maka dari itu, ‘sekolah’ gajah ini sangat terkenal di dunia. Karena waktu yang sangat singkat dan lokasi Way Kambas yang cukup jauh dari kota, maka saya tak sempat mengunjunginya. Tetapi kawan sekaligus guide saya menghibur dengan mengajak ke Tugu Gajah di pusat kota yang katanya “Belum ke Lampung kalau belum foto di sini Fren…”. Lumayan lah.

Landmark, "Belum ke Lampung kalau belum foto di sini..."
Pulang dari Lampung, saya memilih Royal Damri yang berangkat pukul 22.00 dan jadwal tiba di Stasiun Gambir pukul 06.00. Tepat tengah malam saya tiba di Pelabuhan Bakauheni. Dari atas kapal, Menara Siger perlahan-lahan mengecil seolah sebuah tangan yang melambaikan tangan tanda ucapan “selamat jalan, sampai jumpa lain kali”