Akhir Maret 2014
Nak, pekan itu Ayah membuat
sebuah keputusan penting. Ayah akan melamar anak orang. Di awal bulan Mei 2014,
bertepatan dengan libur nasional, sekeluarga besar berangkat pukul 21.00 WIB
dari Mojokerto menuju Bantul. Semuanya senang, semuanya antusias sebab di
Bantul bertebaran objek wisata pantai yang jarang-jarang dijumpai orang
Mojokerto. Cuma satu orang saja Nak yang cemas sekaligus risau dalam rombongan
itu, Ayahmu. Tak lain karena ia akan membuat keputusan besar esok harinya,
“mengambil tanggung jawab seorang wanita dari ayahnya”. Ya tanggung jawab
ekonominya, sosialnya, psikologisnya, dan yang terberat adalah tanggung jawab
agamanya.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya….” (Q.S. 4: 34)
Penghujung Desember 2014
Tahukah kau Nak, jarak waktu 7-8
bulan sampai dengan tanggal akad nikah adalah masa yang sangat berat bagi
Ayahmu? Pun dengan Ibumu. Kelak kalau kau sudah dewasa, tanyalah Ayah dan Ibumu
alasannya.
Pertengahan Maret 2015
Ayah dan Ibu menghabiskan akhir
pekan dengan jogging di sekitar
kampus Jurangmangu (sebenarnya yang jogging
Ayahmu saja, Ibumu hanya naik sepeda dan sibuk memotret-motret Ayahmu yang lagi
lari. Tiba-tiba sepulangnya, Ibumu mengeluh mual dan pusing sampai malam hari.
Ayahmu yang logis ini langsung memvonis Ibumu pasti masuk angin, sebab sore
hari di kampus sungguh berangin kencang. Kalau tak percaya, kesanalah sore
hari. Pasti kau akan senang layaknya layang-layang yang siap terbang.
Alih-alih menyuruh Ayah membeli
obat masuk angin, Ibumu malah memaksa Ayah membelikan test pack. Itu lhoh, alat
yang digunakan untuk mengecek, apakah Engkau sudah nyenyak tidur di perut Ibumu
atau belum…
Keesokan harinya, pukul 3 pagi,
Ayah dibangunkan Ibu yang matanya sembab. Ia memperlihatkan test pack yang
kemarin Ayah belikan. Setengah mengantuk, Ayah melihat segaris warna merah muda
di alat tersebut.
Kata Ibumu, Ayah tak berekspresi
sedikitpun saat itu. Sst, kuberi tahu kau satu rahasia, meskipun selalu
terlihat tenang dan kalem, emosi Ayahmu lebih sering meluap-luap ketika
bahagia. Kenyataanya, setelah bilang “Oh, iya Dinda (panggilan Ayahmu buat
Ibumu sebelum ada Engkau), masih jam 3 pagi, tidur lagi saja”, sambil
menyembunyikan wajah gugup di balik bantal, jantung ayahmu langsung berdegup
tak karuan, tiada henti Ayah mengucap hamdalah atas anugerah yang tiada terkira.
Alhamdulillah ya Rabb.
Ngomong-ngomong, sejak kapan kau
anakku pandai mewarnai? Test pack
selanjutnya bahkan kau warnai dengan lebih tebal.
28 Desember 2014 ...adalah musim dimana tanah baunya harum karena jutaan tetes hujan yang mencumbuinya dengan mesra. Itu yang kurus, memang benar Ayah Ibumu Nak. Pangling kan? |
keren san
ReplyDeletekeren san
ReplyDelete