Tuesday 14 July 2015

Surat Buat Anakku (1)

Akhir Maret 2014

Nak, pekan itu Ayah membuat sebuah keputusan penting. Ayah akan melamar anak orang. Di awal bulan Mei 2014, bertepatan dengan libur nasional, sekeluarga besar berangkat pukul 21.00 WIB dari Mojokerto menuju Bantul. Semuanya senang, semuanya antusias sebab di Bantul bertebaran objek wisata pantai yang jarang-jarang dijumpai orang Mojokerto. Cuma satu orang saja Nak yang cemas sekaligus risau dalam rombongan itu, Ayahmu. Tak lain karena ia akan membuat keputusan besar esok harinya, “mengambil tanggung jawab seorang wanita dari ayahnya”. Ya tanggung jawab ekonominya, sosialnya, psikologisnya, dan yang terberat adalah tanggung jawab agamanya.

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya….” (Q.S. 4: 34)

Penghujung Desember 2014

Tahukah kau Nak, jarak waktu 7-8 bulan sampai dengan tanggal akad nikah adalah masa yang sangat berat bagi Ayahmu? Pun dengan Ibumu. Kelak kalau kau sudah dewasa, tanyalah Ayah dan Ibumu alasannya.
Pertengahan Maret 2015

Ayah dan Ibu menghabiskan akhir pekan dengan jogging di sekitar kampus Jurangmangu (sebenarnya yang jogging Ayahmu saja, Ibumu hanya naik sepeda dan sibuk memotret-motret Ayahmu yang lagi lari. Tiba-tiba sepulangnya, Ibumu mengeluh mual dan pusing sampai malam hari. Ayahmu yang logis ini langsung memvonis Ibumu pasti masuk angin, sebab sore hari di kampus sungguh berangin kencang. Kalau tak percaya, kesanalah sore hari. Pasti kau akan senang layaknya layang-layang yang siap terbang.

Alih-alih menyuruh Ayah membeli obat masuk angin, Ibumu malah memaksa Ayah membelikan test pack. Itu lhoh, alat yang digunakan untuk mengecek, apakah Engkau sudah nyenyak tidur di perut Ibumu atau belum…

Keesokan harinya, pukul 3 pagi, Ayah dibangunkan Ibu yang matanya sembab. Ia memperlihatkan test pack yang kemarin Ayah belikan. Setengah mengantuk, Ayah melihat segaris warna merah muda di alat tersebut.

Kata Ibumu, Ayah tak berekspresi sedikitpun saat itu. Sst, kuberi tahu kau satu rahasia, meskipun selalu terlihat tenang dan kalem, emosi Ayahmu lebih sering meluap-luap ketika bahagia. Kenyataanya, setelah bilang “Oh, iya Dinda (panggilan Ayahmu buat Ibumu sebelum ada Engkau), masih jam 3 pagi, tidur lagi saja”, sambil menyembunyikan wajah gugup di balik bantal, jantung ayahmu langsung berdegup tak karuan, tiada henti Ayah mengucap hamdalah atas anugerah yang tiada terkira. Alhamdulillah ya Rabb.


Ngomong-ngomong, sejak kapan kau anakku pandai mewarnai? Test pack selanjutnya bahkan kau warnai dengan lebih tebal. 

28 Desember 2014
...adalah musim dimana tanah baunya harum karena jutaan tetes hujan yang mencumbuinya dengan mesra.
Itu yang kurus, memang benar Ayah Ibumu Nak. Pangling kan?   


2 comments: