Monday 17 February 2014

Ketinggalan Barang di Bandara? Keep Calm…


Maros, 31 Januari 00.30 WITA

Karena lama tidak bertemu kawan lama, maka sekalinya bertemu, kami ngobrol ngalor ngidul sampai lewat tengah malam. Padahal besok paginya, saya harus kembali ke Jakarta dengan penerbangan pagi Air Asia pukul 04.30 WITA.

Alarm saya pasang pukul 03.00 dengan asumsi persiapan packing, mandi, dsb menghabiskan tak lebih dari 30 menit saja. Kata teman saya, jarak antara BTP Maros ke bandara Sultan Hasanuddin bisa ditempuh dalam 15 menit saja pakai motor. Jadi, tak ada firasat apapun bagi saya menjelang tidur. Namun, refleks saya melakukan web check in via Hp biar besok subuh tak perlu antri di counter check in.

Sultan Hasanuddin International Airport, 04.00 WITA

Perjalanan motor ternyata menghabiskan 30 menit, dan saya sampai bandara pukul 04.00 pagi. Saya belum merasa khawatir sampai petugas di gate departure berkata bahwa ia ragu pesawat saya sudah berangkat atau belum. Lhah, baru jam 4!

Antrian X-Ray sebetulnya tak panjang, hanya ada 4 orang tapi semuanya bawa troli dengan setumpuk barang yang tinggi. Setelah antri dan bimbang beberapa menit, saya menerobos antrian sambil menunduk-nunduk minta maaf. Duhh, 04.10! Panik!

Sambil ngos-ngosan saya menuju counter check in, dan bilang bahwa flight saya 04.30 ke Jakarta. Dengan ringannya Mbak petugas itu bilang bahwa pesawatnya sudah mau terbang. Sudah ditutup!

Saya       : %&^%$#@%^&*)@@#$^:((((
Petugas   : Maaf, sudah dari tadi Mas.
Saya       : Lhah Mbak, tolong lah, ini juga baru jam 4 (lewat 12 menit sih sebetulnya). Saya harus di Jakarta pagi ini juga.
Petugas   : Maaf Mas, silakan beli penerbangan lain.
Saya       : Mbak, saya sudah web check in nih, tinggal naik nih (sambil liatin kode scan di Hp)
Petugas   : (ambil telepon sambil bicara serius, mungkin telepon keamanan di gate garbarata). Ok, Sini Mas bayar airport tax nya dulu, nanti Mas nya langsung lari secepat-cepatnya ke gate 6.
Saya       : Alhamdulillah, makasih ya Mbak, ok, aku lari nih. Eh, gate 6 dimana ya?
Petugas   : di atas, aduh, lari Mas, cepat, udah mau ditutup pintu pesawatnya. (sambil telepon menjelaskan ciri-ciri fisik saya, jaket kuning, bla bla bla)
Bagai adegan film-film India saya menaiki escalator sambil berlari melewati ruang tunggu keberangkatan yang sepi banget. Duh, gate 6 di ujung pula! Di ujung sana, petugas garbarata melambai-lambaikan tangan menyuruh agar lebih cepat. Fiuh, dramatis sekali.

Di tengah lari pagi itu saya ingat bahwa saya tadi masuk bandara dengan 2 tas jinjing, kok sekarang cuma satu? Kok cuma satu? Cuma satu? Satu? Tu? Hahhhh! *&^%%$##@@^><(((((( ketinggalan di mesin X-ray!

Saya       : Pak, tolong Pak, barang saya ketinggalan di pintu pemeriksaan bawah, saya ambil boleh?
Petugas   : Ngga bisa Mas. Ayo cepat masuk.
Saya       : Please Pak. Saya janji lari lebih kencang deh.
Petugas   : Mas nya mau pilih barangnya atau ketinggalan pesawat?
Saya       : (hiks, lemes dah)

Dengan gontai saya masuki pintu pesawat meskipun semua pramugarinya tersenyum ramah. Yang kutahu pasti mereka semua sebal juga dalam hati melihat anak muda berjaket kuning membuat mereka harus menunggu batal terbang beberapa menit. FYI, kabarnya 31 Januari ini adalah flight terakhir Air Asia untuk rute Makassar-Jakarta sebelum ditutup. Memang sih, banyak kursi kosong di sana-sini, mungkin peminat rute ini kurang.

Belum duduk sempurna, pesawatnya sudah mundur, dan persiapan take off. Hihi, bahkan saya belum sempat mematikan Hp. Ternyata memang ada yang salah dengan jam tangan saya, saat itu baru 04.20 tapi pesawatnya sudah terbang. Meratapi nasib sungguh percuma, mending saya tidur saja, lumayan sambil mendinginkan kepala 2 jam.

Pemandangan favorit saya kalau naik flight
rute DPS-SUB, kawah Gunung Raung!
morning flew with AirAsia
Rupanya trend delay tak berlaku bagi maskapai ini. Justru kami landingnya kecepetan 30 menit dari jadwal. Sebelum turun, saya tanyakan ke pramugari, saya jelaskan bahwa barang saya ketinggalan di Bandara sebelum naik. Dengan ramahnya (tetep) pramugarinya menjelaskan bahwa saya bisa mengurusnya di counter Lost & Found nya Air Asia di samping bagian klaim bagasi Terminal 3 Soetta.

Di depan counter, saya besarkan hati bahwa saya akan usaha dulu, kalau tak ketemu ya ikhlas saja, berarti memang itu adalah balasan atas kecerobohan saya.

Saya jelaskan kronologisnya dan petugas counternya yang ramah menerangkan bahwa masih memungkinkan untuk ditemukan jika barangnya tertinggal di dalam bandara. Beliau menelepon dan menanyakan keadaan barang saya di Sultan Hasanuddin ke petugas di Makassar. Alhamdulillah, masih ada. Lalu, ia membuatkan surat klaim agar saya bisa mengambilnya lagi esok hari di Lost & Found Soetta yang dititipkan dari Makassar melalui flight berikutnya ke Jakarta.

Nah, kebetulan saya akan ke Surabaya siang hari itu juga, sehingga saya mengajukan opsi, mungkinkah bila diambilnya di Lost & Found Air Asia Juanda Surabaya. Lagi-lagi, saya mendapatkan kemudahan itu, kertas klaim saya diganti tempat pengambilannya menjadi “SUB”. Aaah, Air Asia baik sekali. Terimakasih.

Esoknya, saya ke Juanda dan menuju Lost & Found Air Asia yang terletak di terminal 1 keberangkatan internasional. Ternyata pesawat dari UPG baru landing, jadi barang saya masih ada di counter ticket domestic Air Asia. Sesampainya di sana, barang saya, terbungkus rapi penuh selotip, sudah ada di depan mata!

Thank you Air Asia for the sincere helps, Sorry for making your employee in Lost & Found dept. busy. Terimakasih juga telah memberikan pemahaman kepada saya bahwa anjuran yang tertera di tiket untuk datang setidaknya sejam lebih awal dari jadwal penerbangan adalah sangat penting.
Terimakasih AirAsia!


Sunday 9 February 2014

Tempat Penyewaan Motor di Bali, Jogja, dan Lombok

Saya bukan jualan ya, tidak juga promosi ataupun dibayar pemilik rental motor tersebut. Saya hanya ingin berbagi informasi tentang tempat-tempat yang paling recommended untuk menyewa motor ketika traveling di Indonesia.

***

Kenapa motor? Beberapa daerah tidak menyediakan transportasi umum yang memadai. Sebut saja Bali. Angkutan antar tempat wisata sangat jarang. Sependek pengetahuan saya, pilihan angkutan umum di Bali hanya ada Bus Trans Sarbagita, angkot kecil di terminal Ubung yang entah rute aslinya kemana, dan taksi. Kelemahan Bus Sarbagita adalah, rutenya tidak mampu menjangkau tempat-tempat terpencil yang justru sangat menarik untuk kita explore. Angkot di Bali pun datang tak dijemput, pulang tak diantar. Angkot di sana sistemnya charter, bisa mahal kalau solo traveling. Taksi? Ah sudahlah. Yang terbaru sih, di sebagian kota-kota besar di Indonesia sudah punya armada ojek online yang harganya relatif terjangkau untuk backpacker kelas premium (hihi), tapi kalau untuk budget backpacker sih, mikir-mikir juga. Tercatat di 2017 ada Jabodetabek, Surabaya, Bali, Yogya, Bandung, Semarang, Medan, Malang, Makassar, Palembang, dan Balikpapan yang sudah memiliki ojek online di jalanannya.
I own this beach!
@ sungkun beach, Ekas, East Lombok

Perjalanan Darat Jakarta Lombok (Backpacking Method)

Membayangkannya saja enggan. Entah pengangguran jenis apa yang mau memilih bepergian dari Jakarta (bahkan sebetulnya bukan Jakarta, tapi Tangerang Selatan yang masuk provinsi Banten) ke Lombok dengan perjalanan darat. Ya kalau Anda pelajar/ mahasiswa yang punya banyak waktu luang sih nggak masalah... Tak kurang dari 1.200 km perjalanan panjang itu harus ditempuh dengan berbagai moda transportasi: bis, taksi, kereta, kapal feri kecil, kapal feri besar, mobil carteran, pick up, dan tentu saja, jalan kaki.
I did. Dan sayangnya saya juga bukan pengangguran, melainkan pegawai yang waktu cutinya terbatas. Saya bela-belain menghabiskan 40 jam perjalanan demi mendapatkan pengalaman perjalanan yang lengkap sekaligus nostalgia backpackingan pas masa-masa muda dulu--tsaah (dulu, saat kuliah, saya juga melakukan perjalanan darat dari Banten ke Bali). Meskipun pada akhirnya saya menyesali keputusan tersebut karena ketika tiba di tempat tujuan (Rinjani), badan terasa pegal semua setelah duduk begitu lama.


***

Perjalanan dimulai sepulang kantor Jumat 20 Desember 2013. Dengan segembol tas keril seberat tak kurang dari 20 kg (isinya: logistik, sedikit baju, sleeping bag, tenda, sepatu, sandal, 4 tabung gas, dll) saya malu masuk lift saat jam pulang kerja. Jadinya saya menunggu sampai gedung kantor sepi dulu. 


***

Jumat sore adalah salah satu waktu terkacau di jalanan ibukota. Ribuan orang pulang kerja, bebarengan dengan ribuan lainnya yang menuju stasiun, bandara, atau terminal untuk pulang kampung. Memilih moda transportasi umum sejuta umat seperti Transjakarta atau Kereta Komuter dengan keril segede gaban jelas akan mengundang umpatan para penumpang lainnya. Sehingga, moda transportasi pertama yang saya pilih menuju  stasiun Pasar Senen adalah taksi dengan biaya Rp 40.000,00.



Di Stasiun, Kereta Progo (Rp 85.000,00) yang akan membawa saya sampai Lempuyangan, Yogya baru ada pukul 22.00 WIB. Saya sarankan untuk makan yang kenyang dulu biar nanti pulas tidurnya di kereta.



8 jam kemudian, kita akan tiba di Stasiun Lempuyangan. Keluarlah dari stasiun ke pasar lempuyangan kalau ingin cari sarapan. Cicipi menu kebanggaan kota ini, gudeg, sebelum melanjutkan perjalanan yang (masih) panjang. Jangan takut terlambat, kereta selanjutnya, Sri Tanjung (Rp 80.000,00), yang menuju Banyuwangi baru akan berangkat pukul 07.45 WIB.



Bagi Anda yang jarang-jarang naik kereta siang hari, Sri Tanjung menawarkan pengalaman dan pemandangan yang luar biasa selama 14 jam perjalanan. Mulai dari hutan jati yang meranggas di Madiun, Lumpur Lapindo Sidoarjo, sampai Hutan lebat Glenmore di Banyuwangi.



Sampai stasiun Banyuwangi Baru sekitar pukul 21.00 WIB. Kemudian kita harus jalan kaki sekitar 100 meter ke Pelabuhan Ketapang. Di depan stasiun ada minimarket yang legendaris di kalangan para backpacker. Selain sebagai tempat untuk mengisi ulang logistik, minimarket tersebut juga penting sebagai tempat menghindar dari calo-calo bus.



Feri ke Lombok di Pelabuhan Padangbai
Di loket pelabuhan, belilah tiket penyeberangan selat Bali seharga Rp 6.500,00. Naik saja langsung ke kapal terdekat. Tak lama kemudian, perjalanan 45 menit mengantarkan Anda ke zona WITA ditemani remang cahaya bulan dan bintang gemintang. Di Pelabuhan Gilimanuk banyak bis yang menawarkan perjalanan ke terminal Ubung, Denpasar. Anda bisa memilih yang itu. Akan tetapi, lebih murah dan nyaman (tanpa gonta-ganti bis) kalau kita naik bus yang langsung ke Pelabuhan Padangbai (melalui tawar menawar, dulu saya dapatnya Rp 40.000,00/ orang) yang adanya di Terminal Gilimanuk. Jadi, kita harus berjalan ke Terminal Gilimanuk dan menunggu bis yang berangkat ke Padangbai. Bis tersebut berangkat tepat tengah malam WITA.


Aren't We?
Feri mulai merapat di Lembar

Dibutuhkan lima jam perjalanan melintasi Pulau Bali dari ujung barat ke ujung timur. Sesampainya di Pelabuhan Padangbai, kita sudah ditunggu feri pertama yang menyeberangi selat Lombok. Bayar dulu di loket seharga Rp 40.000,00 untuk perjalanan laut yang cukup lama, 5 jam. Kapal di sini lebih besar daripada yang ada di selat Bali. Terdapat persewaan kasur dan ruangan yang nyaman untuk tidur serta kamar mandi yang lancar airnya bagi Anda yang belum mandi sejak kemarin lusa.



***

Pukul 11 WITA, Pelabuhan Lembar tampak di depan mata. Woila! Selamat datang di Pulau Lombok, surga kecil nusantara.



***

Dari Pelabuhan Lembar, moda transportasi yang dipilih tergantung destinasi Anda selanjutnya. Jika ingin tracking ke Rinjani (melalui Sembalun), Anda harus menuju Aikmel. Untuk kesana, Anda terlebih dulu harus naik angkutan ke Terminal Bus Sweta di Mataram, lalu sambung Elf ke Pasar Aikmel. Kalau ke Pantai ya tinggal cari bis jurusan Senggigi dari Terminal Sweta. Paling mudah dan murah sih dengan sewa motor. Dengan tarif sehari Rp 50.000,00 Anda bisa menjelajah sepuasnya ke seluruh penjuru Lombok.  



Karena kemarin saya ketemu rombongan pendaki lain (total 7 orang), jatuhnya lebih murah kalau carter mobil langsung dari Lembar ke Aikmel. Sebuah Avanza dengan ongkos Rp 300.000,00 dibagi untuk 7 orang. Sesampainya di Pasar Aikmel, Anda masih harus naik mobil pick up dengan ongkos Rp 20.000,00 menuju Pos Lapor Desa Sembalun Lawang di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani.