Friday 2 October 2015

Surat Buat Anakku (2) - Shaum Ramadhan Sebulan Penuh

Pertengahan April 2015, Usiamu 5 minggu di perut Ibu

Ibumu berhasil membujuk Ayah untuk periksa ke dokter kandungan. Bukannya enggan, tetapi Ayah masih sangat tidak berpengalaman berurusan dengan dokter. Jadi, mendengar kata “yuk periksa ke dokter” terdengar aneh sekaligus menakutkan di telinga Ayah.

Kami memilih dokter kandungan yang banyak direkomendasikan teman-teman Ayah Ibumu. Kata mereka, dokter nya sok kenal sok dekat gitu deh, cocok sama pasien-pasien pemalu seperti kami dan pasangan muda lainnya. Jadi, bukan pasiennya yang banyak bicara, tapi dokternya yang mancing nanya-nanya, katanya.

Kenyataannya, saat itu Jakarta sedang musim penghujan Nak. Malam hari, di tengah hujan rintik-rintik dan macetnya Jalan Raya Ciputat, kami bertemu dokter tersebut.
“Assalamualaikum Bunda, apa kabar, alumni STAN ya?”
(hmmm, ternyata benar sekali apa yang dibilang teman-teman Ayah, dokternya sok akrab Nak)

Di tempat ini, perut Ibumu selalu di USG untuk melihat tumbuh kembangmu. Selanjutnya dokter mencatat di Buku Perkembangan Ibu dan Anak. Isi catatannya? Maaf Nak, tulisannya terlampau sulit dibaca. Yang jelas, panjang tubuhmu baru  0,46 cm kala itu. Kira-kira itu sama dengan panjang kukumu saat ini. Kecil ya? Saat kau membaca ini, tinggi badanmu sudah berapa Nak?

Pertengahan Mei 2015, Usiamu 10 minggu di perut Ibu

Ayah tidak takut lagi ke dokter. Jadi Ayah bergegas mengiyakan ketika Ibumu mengingatkan, “Kanda, sudah sebulan nih, nengok dedek yuk…”

Kali ini Jakarta sudah mulai masuk kemarau tapi tak ada bedanya di jalanan, macet dimana-mana Nak. Saat mengantri, Ibumu berujar, “Kanda, nanti kalau besar dedeknya profesinya apa ya?”, “jadi dokter kandungan aja ya?”, “eh tapi kalau cowok, jangan sampai jadi dokter kandungan, serem ah”, “eh tapi kan kita nggak boleh menyetir keinginan anak ya…, kalau nggak cocok lalu dia stress gimana, belum tentu itu yang terbaik kan Kanda”, “berdoa saja kita, semoga jadi apapun, dedek nanti jadi anak yang soleh/solehah, yang mendoakan orang tuanya baik ketika masih hidup apalagi kalau sudah tiada”, “oiya kanda, jangan dipanggil dedek deh nanti kalau udah lahir, dipanggilnya kakak saja. Kita persiapkan sedari dini untuk melatih tanggung jawab, dan biar lebih cepat dewasa nanti dibanding adik-adiknya kelak”

Nak, tadi semua itu perkataan ibumu lho. Ayah belum sempat berkomentar, sudah disambung dengan kalimat selanjutnya. Begitulah Nak, konon kata orang, kalau wanita sedang banyak bicara itu berarti suasana hatinya sedang baik. Tidak perlu mengomentari berlebihan, Ayah cukup angguk-angguk, ber “hmmm”, “yup”, “haha”, “waaah” dan sejenisnya sudah mampu membuat dunia aman.

Hasil USG yang kedua, panjang tubuhmu sudah 5,4 cm. Cepat sekali Nak Engkau tumbuh besar.

Pertengahan Juni 2015, Usiamu 14 minggu di perut Ibu

Dokter Kartika sangat modern Nak, setidaknya beliau menepiskan sebagian besar pantangan bagi Ibu hamil yang kerap diwanti-wanti sama budhe-budhe di kampung Ayah maupun Ibu. Kata Dokter Kartika, tak perlu khawatir jika kita bertiga bepergian jauh naik motor (dengan kondisi Jakarta yang lebih banyak polisi tidurnya daripada jalan datarnya), Ibumu tak perlu makan berlebih untuk dua porsi sebagaimana kata Mbah Putri di desa yang berkali-kali bilang “makannya harus banyak lho, kan buat dua orang sekarang”, tak ada pantangan makanan seperti daging mentah, durian, dsb dan terpenting Ibu boleh juga shaum lho meski usiamu baru 14 minggu di perut Ibu.


Akhir Juni adalah bulan Ramadhan Nak, dan sebelumnya Ibu juga punya beberapa hutang puasa. Alhasil, kami sempat kebingungan sebelum diyakinkan oleh Dokter Kartika bahwa berpuasa saat hamil muda itu tak jadi masalah. Wong ngendikane Rosul, puasa itu bikin sehat kok ya… Jadilah dedek ikut puasa sama Ibu selama sebulan penuh. Alhamdulillah, dedek luar biasa. Wah, besok mulai puasa lagi umur berapa ya Nak? Masak kalah sama dedek bayi dulu yang baru 14 minggu sudah shaum?

besok-besok kita foto bertiga ya dedek ya...

Thursday 1 October 2015

Pulau Semak Daun, Pelarian Penatnya Jakarta


dermaga Pulau Semak Daun
Berlari ku ke pantai, kemudian teriak ku...


Salah satu puisi dalam drama laris Ada Apa Dengan Cinta (2004) tersebut saya pilih karena layak menggambarkan kebutuhan warga ibukota yang setiap hari harus berkutat, hampir dua puluh empat jam, dengan macet, polusi, banjir (atau kekeringan seperti saat ini), dan berbagai problematika hidup di kota yang waktunya berjalan sangat cepat ini. Stress begitu mudah menghinggapi penduduk kota ini.

Tak heran, ketika akhir pekan, ribuan orang Jakarta berbondong-bondong mencari hiburan baik itu di dalam maupun luar kota. Stasiun, Terminal, dan Bandara tak pernah sepi ketika akhir pekan. Jika disurvey, kami (warga Jakarta) mungkin memiliki anggaran terbesar yang dialokasikan untuk jalan-jalan mengurai stres selama hari kerja dibanding warga kota lain di Indonesia. Meski demikian, tetap saja, banyak warga Jakarta mengatakan diri mereka "kurang piknik", nah lo.

Berlari ke pantai? dimana ada pantai di Jakarta? Ada.

Salah satu alternatif untuk menemukan pantai yang bisa dipakai teriak adalah di Kab. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (catat, masih provinsi DKI lho). Untuk menuju ke sana ada beberapa cara, salah satu yang biasa dipakai oleh traveler kantong pas-pasan adalah dengan menumpang kapal kayu dari Pelabuhan Muara Angke. 
Di pelabuhan yang ramai ini, Anda bisa berbelanja ikan untuk dibawa ke Pulau guna masak-memasak. Dulu kami serombongan besar membayar Rp 100.000 dan sudah mendapatkan dua kotak sterofoam dengan berkilo-kilo udang, ikan merah, dan cumi. 

welcome to the bridge, bringing you into joy
Dari Pelabuhan Muara Angke, kalau tidak salah, Anda bisa membayar Rp 35.000 untuk menuju Pulau Pramuka (Ibukota administratif Kab. Kepulauan Seribu) dengan menumpang kapal kayu berpenumpang ratusan atau entahlah. Lama perjalanan selama kurang lebih 2 jam ditempuh dengan kekhawatiran akan jumlah jaket pelampung yang jumlahnya kurang dari jumlah penumpang. Ombak yang cukup besar juga cukup menakutkan bagi saya yang tak pandai berenang ini.

Dari pulau Pramuka biasanya perjalanan dilanjutkan dengan menyewa perahu yang kapasitasnya sekitar 20 orang saja ke pulau-pulau yang lebih jauh. Saya lupa persisnya berapa biaya sewa perahu tersebut karena waktu itu perginya bersama rombongan trip yang menawarkan harga paket. Tips: pergilah beramai-ramai agar bisa menghemat sharing cost kalian.
Harga sewa perahu kadang ada yang termasuk sewa alat snorkeling. Sistemnya, mereka akan mengantar ke pulau yang dituju, mengantar ke pulau-pulau sekitar (hoping island), dan mengantar ke spot-spot terbaik untuk menyelam.

Pulau Semak Daun

Entah kenapa pulau ini dinamai demikian, yang jelas memang terdapat beberapa semak pepohonan yang melindungi pengunjung dari teriknya matahari siang di tengah laut. Di tengah pulau ada satu warung yang menjual air bersih dan makanan yang harganya terpapar inflasi hebat. Mahal! Kalau mandi, cukuplah air sumur yang meski asin juga, tetapi lumayan bersih. Kamar mandi ada, tapi airnya mesti nimba sendiri ya...
semak-semak, lalu ada dedaunan
mungkin itu alasan dinamakan semak daun
Jika Anda beruntung, pulau ini relatif sepi dari keramaian. Pengunjung harus membawa tenda sendiri kalau mau menginap di sana. Di tengah semak dedaunan, dirikan tenda dan nyalakan api unggun untuk memanggang cumi dan udang bekal kita. Hmm, stress killer banget ya...

Di salah satu ujung Pulau ini terdapat perairan landai yang bisa digunakan untuk berkano santai. Di ujung lainnya, tanaman bakau yang baru ditanam adalah lokasi foto yang indah.

Oya, sebetulnya trip rombongan biasanya tak banyak menghabiskan waktu di Pulau ini sih. Karena kebanyakan langsung hoping island atau pergi menyelam. Paket trip wisata yang sharing cost bisa dipilih apabila tak mau ribet. Kemarin saya 2 hari 1 malam di harga Rp 250.000 all in. 

Terpenting, jangan lupa bawa kembali sampah Anda. Jaga agar pulau-pulau yang menyenangkan itu tetap menyenangkan esok, lusa, dan seterusnya. 


Salam,


-pnsbackpacker yang sedang tugas belajar- 
-sedang di perpustakaan menunggu istri selesai kuliah-

easy?