Monday 24 September 2012

Sri Gethuk, Rancang Kencono, Nglanggeran



Hari 1
Ada perbedaan mencolok saat backpacking kali ini dibanding edisi-edisi sebelumnya. Ya, perubahan status. Dari yang sebelumnya mahasiswa, sekarang jadi pegawai magang di sebuah instansi pemerintah. (adakah yang berpikir perubahan status itu maksudnya dari lajang ke sudah berkeluarga? Hehe, sayang sekali belum).

Karena sudah magang di instansi pemerintah, saya jadi sangat kesulitan mencari teman perjalanan dan memilih waktu bepergian. Teman backpacking saat jadi mahasiswa dulu, sudah menyebar ke berbagai instansi dan daerah. Jadi, selalu sulit membuat janji berkumpul mengenang masa muda dulu kala (#tsaaah). Kalau waktu, tahu sendiri kan, kalau PNS itu ya sangat takut dengan satu benda bernama “finger print”? ia harus selalu di-‘apel’i dua kali sehari tiap pagi dan sore. Kalau tidak, hmm, siap-siap dia ngambek dan lapor ke ‘empu’ nya di pusat buat motong honor Anda (#dramatisasi).

Jadilah backpacking kali ini terjadi tanpa perencanaan matang, tanpa banyak teman, dan tanpa waktu panjang. Tiba-tiba sabtu pagi saya berangkat ke Jogja dengan kereta pasundan, sekitar pukul 7 pagi berangkat, pukul 12.10 sampai Lempuyangan. Sedikit banyak, perjalanan 5 jam di kereta ini mengobati kerinduan saya terhadap kereta. Tentang bau besinya yang khas, pedagang asongannya, pengamennya (dari yang sekedar njeplak sampe level idol), dan hal lainnya yang selalu asyik untuk dikenang.

Sambil menanti dijemput teman (yang rumahnya Jogja),saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa penjual nasi. Katanya, Lempuyangan ini agak jauh dari tempat wisata apapun. Jadi, ya mesti ke Tugu dulu kalau mau jalan.

Sejam kemudian, teman saya datang. Berbonceng motor kami menyusuri jalanan Jogja yang ramai tapi tertib. Istirahat sejenak di rumah teman saya di sebuah kampung yang di kanan kirinya dipenuhi asrama dan sekolah putri Muhammadiyah, Suronatan. Di sinilah, sejatinya merupakan pusat munculnya gerakan Muhammadiyah di Indonesia sekaligus tempat berdirinya sekolah-sekolah pertama yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan. Bagi saya, ini bisa terhitung wisata religi, sebab, sejuk sekali mata ini ketika pukul 3 sore mendapati ratusan santriwati keluar dari sekolah dan ‘bertebaran’ di sepanjang jalan, hehe.

Lepas ashar, kami bergegas memacu motor ke arah selatan menuju Gunungkidul. Kami tidak mau kemalaman di jalan. Kabarnya, jalanan desa di sana masih tidak ada penerangan dan jarak satu rumah-ke rumah lainnya di beberapa kecamatan masih jauh dan dipisahkan dengan banyak hutan jati. Seram juga kalau kemalaman.

Teriknya matahari terbenam musim kemarau tereduksi maksimal oleh taman hutan raya Wanagama yang rimbun (di internet, Wanagama ini digolongkan taman rekreasi lho). Sampai persimpangan Playen, kami belok kanan ke arah air terjun Sri Gethuk.

Sampai desa Menggoran, jalanan dua kilo pertama masih aspal. Selanjutnya sudah kerikil rusak dan 2 kilo terakhir teksturnya naik turun dengan jalanan dari batu kapur saja. Berasa downhill lah. Tepat magrib kami sampai di Menggoran dan oleh penduduk sekitar disarankan cepat-cepat kalau mau ke air terjun karena biasanya sudah mau pergi petugasnya jam segitu. Benar saja, sepanjang jalan tidak ada lampu sama sekali!

Sampai tempat parkir, hanya ada 2 orang penjual gorengan yang tengah bersiap mengemasi dagangannya. Ada 2 jalur menuju air terjun. Jalan kaki lewat pematang sawah sekitar 500 meter (direkomendasikan bagi para muda yang senang tracking) atau jalan kaki 100 meter ke tempat terminal perahu  untuk kemudian menyusuri sungai ke arah air terjun. Kami memilih yang pertama karena memang sudah tidak ada lagi petugas perahunya dan selain dua orang yang siap-siap pulang tadi, tidak ada lagi orang lain di areal wisata tersebut.

Dengan penuh semangat dan pikiran “keburu malam” langsung saja kami berangkat melalui sawah terasiring yang terlihat lebih hijau karena di sekelilingnya adalah tanah kapur super tandus, sudah seperti oase di tengah bukit kapur lah. Usai sawah, ada semak-semak yang berujung di tangga menurun menuju sungai. Sisa-sisa sunset membuat air terjunnya berpendar lebih terang dibanding daerah sekeliling yang gelap gulita. Saya tak bisa menggambarkan banyak tentang bentang alam di situ karena memang gelap sekali. Bahkan, flash kamera Hp saya tak bisa menangkap gambar apa-apa. Istirahat sejenak, menyeka keringat, dan sambil makan bekal, kami lihat, sinyal indos*t hanya sebaris (yang kadang ilang juga). Sebetulnya kami berdua punya pikiran aneh juga, tapi sama-sama tidak mau menakuti satu sama lain. Sedari tadi menikmati pendar air terjun membuat kami tak sadar. Jalan balik sudah sama sekali tak terlihat. Astaghfirullah.
kelihatan jalannya nggak?

Bismillah, pelan-pelan kami menyusuri tangga. Senter flash Hp tidak banyak membantu. Tangga selesai, lalu kemana? Di sisi kiri ada tanah lapang (perhatikan, padahal tadi kami tak melewatinya), di kanan ada semak belukar. Kami ambil kiri. Berputar-putar lama rasanya di sini. Keringat mulai bercucuran antara capek dan panik. Jujur, pikiran aneh-aneh seperti makhluk halus, ular, tebing sungai, dan bahaya lainnya berseliweran di pikiran saya (dalam banyak kasus “tersesat di alam” penyebab terbesar korban hilang adalah karena panik dan putus asa dari dalam diri sendiri).
“apa kita nunggu saja sampai pagi di sini?” (tanda mulai desperate)

Setengah jam kemudian, kami masih berputar-putar dalam gelap. Cerobohnya, kenapa kami tidak kepikiran minta nomor Hp penjual gorengan tadi yang bilang “ati-ati aja ya Mas kalo turun”? Dan bodohnya, kenapa tempat wisata yang sudah ditutup karena malam, nekat kami masuki juga? Berasa sudah hebat gitu nantang-nantang maut? >,<

Justru saat berpikir seperti itu, setitik cahaya dari atas bukit muncul. Sepertinya itu lampu motor, artinya di atas sana ada jalan! Kami percepat langkah ke arah datangnya cahaya, tapi semenit kemudian hilang dan kami bingung lagi. Selanjutnya muncul lagi, dan hilang lagi. Sepatu dan celana saya belepotan tanah sawah. Alhamdulillah, dengan peluh yang makin deras, makin banyak pula cahaya di atas sana. Rupanya itu adalah lampu petromaks yang dinyalakan di balai parkir.

Sesampainya di parkiran, ternyata orang-orang desa sedang berkumpul untuk kenduri (selamatan) di balai. Beruntungnya kami, kendurinya bertepatan hari ini.
"Alhamdulillah."

Pelajaran: jangan nekat masuk tempat wisata yang sudah ditutup, demi keselamatan Anda.

Mi ayam dan teh hangat desa menggoran menghangatkan perut kami. Selanjutnya, dengan modal losion anti nyamuk, kami tidur di teras masjid setempat. Sangat tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan karena sepanjang jalan juga gelap lagipula kami masih penasaran dengan Air Terjun Sri Gethuk yang akan kami sambangi lagi esok pagi.

Hari 2.
Pukul 3 pagi saya bangun, merasa nggak enak saja dengan penduduk sekitar kalau ketahuan tidur di masjid pas sholat subuh nanti.
sunrise (?) di pucuk jati

Menanti subuh saya jalan-jalan di sekitar masjid. Rupanya tepat depan masjid ini makam desa (lha terus kenapa?).

Usai subuh, kami bergegas menuju air terjun. Mencari-cari titik/bukit tertinggi untuk melihat sunrise bila beruntung. Sayangnya kami tidak menemukannya karena sebagian besar tempat tinggi masih di bawah pucuk-pucuk daun jati.
miniatur green canyon di sungai Oya

naik perahu drim. tapi akting doang!
Karena masih pukul 5.30, loket masih tutup. Kali ini kami mencoba jalur perahu menyusuri sungai Oya. Air sungainya hijau dengan pinggiran tebing kapur, karst, dan hijau semak-semak. Ada juga beberapa stalagtit di beberapa titik. Sekilas agak mirip Green Canyon Ciamis yang sering muncul di TV itu. Rp 5.000 kalau mau naik perahu tapi jam segini belum buka.
bagai oase di tengah perbukitan kapur

stalagtit (?) di jalan.

Kami kembali melalui jalur setapak kemarin. Sangat indah. Di jalan kami berpapasan dengan petani lokal yang dengan senang hati menceritakan ihwal Sri Gethuk yang ternyata aliran airnya berasal dari 3 mata air yaitu Umbul, Ngandong, dan Dung Poh.

Di tempat pertemuan antara jalan setapak belukar dan tangga, ternyata memang ada tangga ke atas menuju tanah lapang. Di situlah kemarin kami tersesat. Penasaran, kami naik ke atas dan menyusuri tebing. Kami berharap menemukan sesuatu dan sesuai dugaan, kami temukan pagar kawat berduri yang membingkai tebing tempat asal air meluncur dari atas. Wow, saya baru pertama kali ini bisa melihat air terjun dari atas aliran sungainya. Keren!
air (mulai) terjun

narsismi
 Di bawah, kami puas-puaskan main air dan mengeksplor sebanyak mungkin titik-titik fotogenik (norak, haha!)
the show!
masih di SriGethuk
narsis-mi
narsis-you

Usai dari Sri Gethuk, kami ke Gua Rancang Kencono yang jaraknya hanya satu km. Tiket masuknya jadi satu dengan air terjun. But, where is the cave? Astaga, Guanya ada dekat sekali dengan pintu masuk. Tengok kanan, sebuah undakan batu yang rapi menurun ke mulut gua. Uniknya adalah, ada satu pohon (entah apa) besar (dengan daun sangat rimbun) hidup tepat di tengah mulut gua. Guanya jadi gelap dan tersamar. Stalagtitnya sudah mati, karena tak ada aliran air. Melalui lubang kecil, kami masuk ke bagian ruang gua yang lain yang kecil. Di ujungnya ada mulut gua lagi yang hanya seukuran anak kecil. Awas kepala! (tulisan itu terbaca setelah kepala teman saya terantuk batu). Ruangannya sangat sempit dan pengap. Yang menarik dari ruang ini, ada tulisan dinding semacam prasasti di ujung ruangan. Berdasar keterangan penjual jajanan di luar, ‘Rancang’ artinya ‘Menyusun’, dan ‘Kencono’ artinya ‘Strategi Perang’. Gua ini kabarnya dipakai pasukan Diponegoro untuk menyusun strategi perang melawan penjajah. Konon, Ujung Gua tadi bisa digunakan untuk akses menuju Gunung Merapi dengan tulisan di dinding tadi sebagai ‘pintu masuknya’. Katanya sih, sampai sekarang pintu itu masih bisa dipakai bagi orang-orang tertentu. Wallohualam.
Mulut Gua Rancang Kencono
Bisa Mengerti? Mungkin Anda bisa menghemat tiket bus ke Merapi.

Di jalan, saya dilema antara memilih deretan pantai GunKid yang tersohor karena ‘private’ nya itu, atau Nglanggeran, sang Gunung Api Purba yang berlegenda. Kami putuskan ke Nglanggeran saja karena lebih dekat ke arah Kota daripada harus meneruskan ke selatan sekitar sejam lagi.

Nglanggeran, lebih masyhur untuk didaki malam hari demi melihat sunrise dan jutaan cahaya Kota dari atas saat malam. Nglanggeran lebih mirip kumpulan batu besar saja. Tidak mirip dengan Gunung Penanjakan atau Bromo yang pernah kami daki. Pun suhunya tidak dingin. Agak kurang layak kalau disebut “gunung”.

Jalur yang kami lewati adalah jalur setapak yang umum untuk pejalan kaki. Mulai dari Pendopo Joglo Kalisong, Sumber Kalisong (yang mirip kolam ikan biasa), Song Gudel (Batu-batu besar yang menggantung membentuk cerukan di tanah),Tebing Pendakian, Lorong Sumpitan (Jalur sempit yang di apit dua tebing/batu besar yang makin sempit makin ke atas), Sumber Comberan (yang tak berani kami datangi karena jalurnya turun ekstrim), Gardu Pandang, Gunung Kelir, Puncak Gunung Gedhe (tempat foto jumping favorit karena bisa memotret dengan begron langit sepenuhnya jadi terlihat terbang sempurna), Gunung Blencong, Gunung 5 Jari, dan Gunung Buchu (kami tak tahu Gunung mana yang kami injak, karena bentuk Gunung itu terlihat jelas hanya kalau dipandang dari kejauhan, kalo diinjak sih, ya mirip batu doang).
Song Gudel (kayaknya)
Tebing Pendakian (kayaknya)
Puncak apa? Lupa namanya.
jalur resmi, mudah ditelusuri
Lorong Sumpitan
Moto dari Gardu Pandang II
Puncak Gunung apa? Lupa.
Jalanan Turun, semuanya cukup mudah dan aman sebab sudah difasilitasi
Puncak Gedhe (kayaknya)
Sempat tersesat dan tergores semak saat mencoba rute lain. Fiuh, jangan coba-coba deh, bahaya. Tebingnya yang licin sukses membuat saya terpeleset kejedot batu. Mending ikut rute resmi aja.

Pelajaran: jalur pendakian resmi tentu lebih aman.

Pukul 1 siang kami pulang, melewati bukit bintang yang pernah kami abadikan dulu saat malam hari sebelum ke Bali yang ternyata kalau siang, biasa saja.

Cari makan siang dan nemu warung Padang (etdah, Gudeg dong harusnya!) yang swalayan, ambil sendiri gitu maksudnya. Kebiasaan orang Indonesia kalau ada prasmanan kayak gini, pasti maunya ambil sebanyak-banyaknya. Jadilah perut saya mules kekenyangan.

Oleh-oleh bakpia Patuk fresh from the oven langsung dari kampung  Sanggrahan Pathuk sudah didapat, saatnya foto-foto di kota sebelum pulang.
Monumen Umum Serangan 11 Maret + KM 0
Muter-muter di sekitar monument 11 Maret dan kilometer 0 Jogja. Masuk Bank Indonesia (karena mau foto) yang ternyata lagi ada pameran Hari Keuangan. Gini-gini, saya pernah masuk BI dengan sandal japit lho… Ada toiletnya pula. Fiuh, asyik bisa pipis gratisan. Lol

Depan BI Yogyakarta, masuk pameran -> numpang pipis
8 jam perjalanan pulang naik bis Sumber Sela*at dengan kondisi perut masih mules dan tepat di samping Mbak-mbak yang muntah (di kresek) mulu. Duh, andai tiket kereta ekonomi nggak selaris itu…
Pelajaran: hati-hati memilih makanan sebelum menempuh perjalanan jauh. >,<

Overall, Jogja always a place to remember and always written in destination list to explore someday.          
          


2 comments: