Hari 1
Ada perbedaan mencolok saat
backpacking kali ini dibanding edisi-edisi sebelumnya. Ya, perubahan status.
Dari yang sebelumnya mahasiswa, sekarang jadi pegawai magang di sebuah instansi
pemerintah. (adakah yang berpikir perubahan status itu maksudnya dari lajang ke
sudah berkeluarga? Hehe, sayang sekali belum).
Karena sudah magang di instansi
pemerintah, saya jadi sangat kesulitan mencari teman perjalanan dan memilih waktu
bepergian. Teman backpacking saat jadi mahasiswa dulu, sudah menyebar ke
berbagai instansi dan daerah. Jadi, selalu sulit membuat janji berkumpul
mengenang masa muda dulu kala (#tsaaah). Kalau waktu, tahu sendiri kan, kalau
PNS itu ya sangat takut dengan satu benda bernama “finger print”? ia harus
selalu di-‘apel’i dua kali sehari tiap pagi dan sore. Kalau tidak, hmm,
siap-siap dia ngambek dan lapor ke ‘empu’ nya di pusat buat motong honor Anda
(#dramatisasi).
Jadilah backpacking kali ini
terjadi tanpa perencanaan matang, tanpa banyak teman, dan tanpa waktu panjang.
Tiba-tiba sabtu pagi saya berangkat ke Jogja dengan kereta pasundan, sekitar
pukul 7 pagi berangkat, pukul 12.10 sampai Lempuyangan. Sedikit banyak,
perjalanan 5 jam di kereta ini mengobati kerinduan saya terhadap kereta.
Tentang bau besinya yang khas, pedagang asongannya, pengamennya (dari yang
sekedar njeplak sampe level idol), dan hal lainnya yang selalu asyik
untuk dikenang.
Sambil menanti dijemput teman
(yang rumahnya Jogja),saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa penjual nasi.
Katanya, Lempuyangan ini agak jauh dari tempat wisata apapun. Jadi, ya mesti ke
Tugu dulu kalau mau jalan.
Sejam kemudian, teman saya
datang. Berbonceng motor kami menyusuri jalanan Jogja yang ramai tapi tertib. Istirahat
sejenak di rumah teman saya di sebuah kampung yang di kanan kirinya dipenuhi
asrama dan sekolah putri Muhammadiyah, Suronatan. Di sinilah, sejatinya
merupakan pusat munculnya gerakan Muhammadiyah di Indonesia sekaligus tempat
berdirinya sekolah-sekolah pertama yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan. Bagi saya,
ini bisa terhitung wisata religi, sebab, sejuk sekali mata ini ketika pukul 3
sore mendapati ratusan santriwati keluar dari sekolah dan ‘bertebaran’ di
sepanjang jalan, hehe.
Lepas ashar, kami bergegas memacu
motor ke arah selatan menuju Gunungkidul. Kami tidak mau kemalaman di jalan.
Kabarnya, jalanan desa di sana masih tidak ada penerangan dan jarak satu
rumah-ke rumah lainnya di beberapa kecamatan masih jauh dan dipisahkan dengan
banyak hutan jati. Seram juga kalau kemalaman.
Teriknya matahari terbenam musim
kemarau tereduksi maksimal oleh taman hutan raya Wanagama yang rimbun (di
internet, Wanagama ini digolongkan taman rekreasi lho). Sampai persimpangan
Playen, kami belok kanan ke arah air terjun Sri Gethuk.
Sampai desa Menggoran, jalanan
dua kilo pertama masih aspal. Selanjutnya sudah kerikil rusak dan 2 kilo
terakhir teksturnya naik turun dengan jalanan dari batu kapur saja. Berasa downhill lah. Tepat magrib kami sampai
di Menggoran dan oleh penduduk sekitar disarankan cepat-cepat kalau mau ke air
terjun karena biasanya sudah mau pergi petugasnya jam segitu. Benar saja, sepanjang
jalan tidak ada lampu sama sekali!
Sampai tempat parkir, hanya ada 2
orang penjual gorengan yang tengah bersiap mengemasi dagangannya. Ada 2 jalur
menuju air terjun. Jalan kaki lewat pematang sawah sekitar 500 meter
(direkomendasikan bagi para muda yang senang tracking) atau jalan kaki 100 meter ke tempat terminal perahu untuk kemudian menyusuri sungai ke arah air
terjun. Kami memilih yang pertama karena memang sudah tidak ada lagi petugas
perahunya dan selain dua orang yang siap-siap pulang tadi, tidak ada lagi orang
lain di areal wisata tersebut.
Dengan penuh semangat dan pikiran
“keburu malam” langsung saja kami berangkat melalui sawah terasiring yang
terlihat lebih hijau karena di sekelilingnya adalah tanah kapur super tandus,
sudah seperti oase di tengah bukit kapur lah. Usai sawah, ada semak-semak yang
berujung di tangga menurun menuju sungai. Sisa-sisa sunset membuat air terjunnya berpendar lebih terang dibanding
daerah sekeliling yang gelap gulita. Saya tak bisa menggambarkan banyak tentang
bentang alam di situ karena memang gelap sekali. Bahkan, flash kamera Hp saya
tak bisa menangkap gambar apa-apa. Istirahat sejenak, menyeka keringat, dan
sambil makan bekal, kami lihat, sinyal indos*t hanya sebaris (yang kadang ilang
juga). Sebetulnya kami berdua punya pikiran aneh juga, tapi sama-sama tidak mau
menakuti satu sama lain. Sedari tadi menikmati pendar air terjun membuat kami
tak sadar. Jalan balik sudah sama sekali tak terlihat. Astaghfirullah.
kelihatan jalannya nggak? |
Bismillah, pelan-pelan kami
menyusuri tangga. Senter flash Hp tidak banyak membantu. Tangga selesai, lalu
kemana? Di sisi kiri ada tanah lapang (perhatikan, padahal tadi kami tak
melewatinya), di kanan ada semak belukar. Kami ambil kiri. Berputar-putar lama
rasanya di sini. Keringat mulai bercucuran antara capek dan panik. Jujur,
pikiran aneh-aneh seperti makhluk halus, ular, tebing sungai, dan bahaya lainnya
berseliweran di pikiran saya (dalam banyak kasus “tersesat di alam” penyebab
terbesar korban hilang adalah karena panik dan putus asa dari dalam diri
sendiri).
“apa kita nunggu saja sampai pagi
di sini?” (tanda mulai desperate)
Setengah jam kemudian, kami masih
berputar-putar dalam gelap. Cerobohnya, kenapa kami tidak kepikiran minta nomor
Hp penjual gorengan tadi yang bilang “ati-ati
aja ya Mas kalo turun”? Dan bodohnya, kenapa tempat wisata yang sudah
ditutup karena malam, nekat kami masuki juga? Berasa sudah hebat gitu
nantang-nantang maut? >,<
Justru saat berpikir seperti itu,
setitik cahaya dari atas bukit muncul. Sepertinya itu lampu motor, artinya di
atas sana ada jalan! Kami percepat langkah ke arah datangnya cahaya, tapi
semenit kemudian hilang dan kami bingung lagi. Selanjutnya muncul lagi, dan
hilang lagi. Sepatu dan celana saya belepotan tanah sawah. Alhamdulillah,
dengan peluh yang makin deras, makin banyak pula cahaya di atas sana. Rupanya
itu adalah lampu petromaks yang dinyalakan di balai parkir.
Sesampainya di parkiran, ternyata
orang-orang desa sedang berkumpul untuk kenduri (selamatan) di balai.
Beruntungnya kami, kendurinya bertepatan hari ini.
"Alhamdulillah."
Pelajaran: jangan nekat masuk tempat wisata yang sudah ditutup, demi keselamatan Anda.
Mi ayam dan teh hangat desa
menggoran menghangatkan perut kami. Selanjutnya, dengan modal losion anti
nyamuk, kami tidur di teras masjid setempat. Sangat tidak memungkinkan untuk
meneruskan perjalanan karena sepanjang jalan juga gelap lagipula kami masih
penasaran dengan Air Terjun Sri Gethuk yang akan kami sambangi lagi esok pagi.
Hari 2.
Pukul 3 pagi saya bangun, merasa
nggak enak saja dengan penduduk sekitar kalau ketahuan tidur di masjid pas
sholat subuh nanti.
sunrise (?) di pucuk jati |
Menanti subuh saya jalan-jalan di
sekitar masjid. Rupanya tepat depan masjid ini makam desa (lha terus kenapa?).
Usai subuh, kami bergegas menuju
air terjun. Mencari-cari titik/bukit tertinggi untuk melihat sunrise bila
beruntung. Sayangnya kami tidak menemukannya karena sebagian besar tempat
tinggi masih di bawah pucuk-pucuk daun jati.
miniatur green canyon di sungai Oya |
naik perahu drim. tapi akting doang! |
Karena masih pukul 5.30, loket
masih tutup. Kali ini kami mencoba jalur perahu menyusuri sungai Oya. Air
sungainya hijau dengan pinggiran tebing kapur, karst, dan hijau semak-semak.
Ada juga beberapa stalagtit di beberapa titik. Sekilas agak mirip Green Canyon
Ciamis yang sering muncul di TV itu. Rp 5.000 kalau mau naik perahu tapi jam segini
belum buka.
bagai oase di tengah perbukitan kapur |
stalagtit (?) di jalan. |
Kami kembali melalui jalur
setapak kemarin. Sangat indah. Di jalan kami berpapasan dengan petani lokal
yang dengan senang hati menceritakan ihwal Sri Gethuk yang ternyata aliran
airnya berasal dari 3 mata air yaitu Umbul, Ngandong, dan Dung Poh.
Di tempat pertemuan antara jalan
setapak belukar dan tangga, ternyata memang ada tangga ke atas menuju tanah
lapang. Di situlah kemarin kami tersesat. Penasaran, kami naik ke atas dan
menyusuri tebing. Kami berharap menemukan sesuatu dan sesuai dugaan, kami
temukan pagar kawat berduri yang membingkai tebing tempat asal air meluncur
dari atas. Wow, saya baru pertama kali ini bisa melihat air terjun dari atas
aliran sungainya. Keren!
air (mulai) terjun |
narsismi |
Di bawah, kami puas-puaskan main
air dan mengeksplor sebanyak mungkin titik-titik fotogenik (norak, haha!)
the show! |
masih di SriGethuk |
narsis-mi |
narsis-you |
Usai dari Sri Gethuk, kami ke Gua
Rancang Kencono yang jaraknya hanya satu km. Tiket masuknya jadi satu dengan
air terjun. But, where is the cave? Astaga, Guanya ada dekat sekali dengan
pintu masuk. Tengok kanan, sebuah undakan batu yang rapi menurun ke mulut gua.
Uniknya adalah, ada satu pohon (entah apa) besar (dengan daun sangat rimbun)
hidup tepat di tengah mulut gua. Guanya jadi gelap dan tersamar. Stalagtitnya
sudah mati, karena tak ada aliran air. Melalui lubang kecil, kami masuk ke
bagian ruang gua yang lain yang kecil. Di ujungnya ada mulut gua lagi yang
hanya seukuran anak kecil. Awas kepala! (tulisan itu terbaca setelah kepala
teman saya terantuk batu). Ruangannya sangat sempit dan pengap. Yang menarik
dari ruang ini, ada tulisan dinding semacam prasasti di ujung ruangan. Berdasar
keterangan penjual jajanan di luar, ‘Rancang’ artinya ‘Menyusun’, dan ‘Kencono’
artinya ‘Strategi Perang’. Gua ini kabarnya dipakai pasukan Diponegoro untuk
menyusun strategi perang melawan penjajah. Konon, Ujung Gua tadi bisa digunakan
untuk akses menuju Gunung Merapi dengan tulisan di dinding tadi sebagai ‘pintu
masuknya’. Katanya sih, sampai sekarang pintu itu masih bisa dipakai bagi orang-orang
tertentu. Wallohualam.
Mulut Gua Rancang Kencono |
Bisa Mengerti? Mungkin Anda bisa menghemat tiket bus ke Merapi. |
Di jalan, saya dilema antara
memilih deretan pantai GunKid yang tersohor karena ‘private’ nya itu, atau
Nglanggeran, sang Gunung Api Purba yang berlegenda. Kami putuskan ke
Nglanggeran saja karena lebih dekat ke arah Kota daripada harus meneruskan ke
selatan sekitar sejam lagi.
Nglanggeran, lebih masyhur untuk
didaki malam hari demi melihat sunrise
dan jutaan cahaya Kota dari atas saat malam. Nglanggeran lebih mirip kumpulan
batu besar saja. Tidak mirip dengan Gunung Penanjakan atau Bromo yang pernah
kami daki. Pun suhunya tidak dingin. Agak kurang layak kalau disebut “gunung”.
Jalur yang kami lewati adalah
jalur setapak yang umum untuk pejalan kaki. Mulai dari Pendopo Joglo Kalisong,
Sumber Kalisong (yang mirip kolam ikan biasa), Song Gudel (Batu-batu besar yang
menggantung membentuk cerukan di tanah),Tebing Pendakian, Lorong Sumpitan
(Jalur sempit yang di apit dua tebing/batu besar yang makin sempit makin ke
atas), Sumber Comberan (yang tak berani kami datangi karena jalurnya turun
ekstrim), Gardu Pandang, Gunung Kelir, Puncak Gunung Gedhe (tempat foto jumping
favorit karena bisa memotret dengan begron langit sepenuhnya jadi terlihat
terbang sempurna), Gunung Blencong, Gunung 5 Jari, dan Gunung Buchu (kami tak
tahu Gunung mana yang kami injak, karena bentuk Gunung itu terlihat jelas hanya
kalau dipandang dari kejauhan, kalo diinjak sih, ya mirip batu doang).
Song Gudel (kayaknya) |
Tebing Pendakian (kayaknya) |
Puncak apa? Lupa namanya. |
jalur resmi, mudah ditelusuri |
Lorong Sumpitan |
Moto dari Gardu Pandang II |
Puncak Gunung apa? Lupa. |
Jalanan Turun, semuanya cukup mudah dan aman sebab sudah difasilitasi |
Puncak Gedhe (kayaknya) |
Sempat tersesat dan tergores
semak saat mencoba rute lain. Fiuh, jangan coba-coba deh, bahaya. Tebingnya
yang licin sukses membuat saya terpeleset kejedot batu. Mending ikut rute resmi
aja.
Pelajaran: jalur pendakian resmi tentu lebih aman.
Pukul 1 siang kami pulang,
melewati bukit bintang yang pernah kami abadikan dulu saat malam hari sebelum
ke Bali yang ternyata kalau siang, biasa saja.
Cari makan siang dan nemu warung
Padang (etdah, Gudeg dong harusnya!) yang swalayan, ambil sendiri gitu
maksudnya. Kebiasaan orang Indonesia kalau ada prasmanan kayak gini, pasti
maunya ambil sebanyak-banyaknya. Jadilah perut saya mules kekenyangan.
Oleh-oleh bakpia Patuk fresh from
the oven langsung dari kampung
Sanggrahan Pathuk sudah didapat, saatnya foto-foto di kota sebelum
pulang.
Monumen Umum Serangan 11 Maret + KM 0 |
Muter-muter di sekitar monument
11 Maret dan kilometer 0 Jogja. Masuk Bank Indonesia (karena mau foto) yang
ternyata lagi ada pameran Hari Keuangan. Gini-gini, saya pernah masuk BI dengan
sandal japit lho… Ada toiletnya pula. Fiuh, asyik bisa pipis gratisan. Lol
Depan BI Yogyakarta, masuk pameran -> numpang pipis |
8 jam perjalanan pulang naik bis
Sumber Sela*at dengan kondisi perut masih mules dan tepat di samping Mbak-mbak
yang muntah (di kresek) mulu. Duh, andai tiket kereta ekonomi nggak selaris
itu…
Pelajaran: hati-hati memilih makanan sebelum menempuh perjalanan jauh. >,<
Overall, Jogja always a place to
remember and always written in destination list to explore someday.
ciee galau!
ReplyDeletegalau? sudah ditinggal di gua rancang kencono. Ewako Ded!
Delete