Merupakan daerah pegunungan dimana sebagian wilayah merupakan dataran tinggi Dieng. Luas wilayahnya 7359 Ha yang sebagian besar adalah hutan Negara seluas 5190 Ha, Hutan rakyat 341 Ha dan luas pemukiman hanyalah 120 Ha (16%) dari luas wilayah. (Wikipedia Indonesia)
Alam Petungkriyono |
Pertama
kali mendengar nama Petungkriyono adalah saat saya googling 2 bulan lalu
sebelum ber solo travelling ke Kota Pekalongan. Saat itu saya tidak terlalu
tertarik mendatanginya karena lokasinya yang terlampau jauh dari ibukota
kabupaten (34 km) ditambah informasi yang belum terlalu banyak di internet.
***
Siapa
sangka ternyata Petungkriyono yang tidak terlalu terkenal di internet itu (coba
googling dengan keyword “petungkriyono”, hasilnya akan muncul sedikit sekali
informasi tentang itu, in case bila dibandingkan dengan tetangganya, Dieng yang
sudah go international), ternyata merupakan tempat yang luar biasa indah. Tak
salah bila ada yang berpendapat bahwa Petungkriyono adalah Dieng yang masih
alami. Tak ada bukit kentang di sana, yang ada hanyalah hutan lebat dan aliran
sungai deras berbatu.
Yang
membuat saya kagum adalah, ada sekelompok pemuda yang (nampaknya) cinta betul
dengan Petungkriyono dan mereka berusaha untuk memperkenalkan daerah tersebut
ke wisatawan. Salah satu caranya adalah dengan membuat trip ke Gunung Prau yang
saya ikuti kemarin. Lho, Gunung Prau kan ada di Dieng Kab Banjarnegara? Memang,
tapi untuk menuju ke sana kami dipilihkan rute yang membelah hutan
Petungkriyono sambil diceritakan kisah, sejarah, mitos, dan kondisi hutan
Petung yang kami lewati.
Pemandangan dari atas pick up |
Untuk
menuju kesana dari Kota Pekalongan, bisa naik angkutan umum/ bis mini ke Pasar
Kecamatan Doro sekitar 30 km. Dari Pasar Doro, disambung dengan mobil pick up
yang telah dimodifikasi. Persis seperti yang ada di Cisurupan sebelum mendaki
Gunung Papandayan. Bedanya, kalau di cisurupan jalannya jelek berbatu, kalau di
sini jalannya aspal yang mulus. 15 menit pertama, masih ada satu dua rumah
penduduk. Baru setelah gerbang selamat datang bertuliskan “hutan ekowisata
Petungkriyono”, mulailah atraksi-atraksi alam mengundang decak kagum di
sepanjang perjalanan.
Hutan Bambu, asal muasal nama Petungkriyono |
Pertama,
Anda akan melewati hutan bambu. Kalau tidak salah, memang Petung artinya bambu,
dan Kriyono artinya hutan. Di antara sekian banyak hutan bambu di sana, ada
mitos di masyarakat yang mengatakan bahwa terdapat suatu tempat hutan bambu
yang apabila daunnya gugur, ia akan menancap vertical di atas tanah. Bila ada
suara gaduh sedikit saja, daun-daun yang tertancap tadi seluruhnya akan pecah.
Beberapa penduduk mengaku pernah melihatnya. Wallohualam kebenarannya.
Menurut
Sejarah, Petung juga merupakan pusat pemerintahan masyarakat prasejarah dengan
bukti banyak ditemukannya peninggalan sejarah berupa situs-situs:
- Lingga / Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono
- Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Tlogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono
- Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo Kecamatan Petungkriyono
- Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
- Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya (sumber: http://www.pekalongankab.go.id/)
Setelah
hutan bambu, suasana mendadak gelap karena tertutup tanaman pakis. Pakis? Ya,
pakis kecil yang biasa ada di pinggir sungai di sini ukurannya raksasa sampai
menutupi jalan. Seperti payung hijau besar yang tumbuh di tebing pinggir jalan.
Fauna
khas Petung adalah Owa Jawa, Harimau Jawa, dan Burung Rangkong. Ketiganya masuk
dalam daftar hewan yang terancam punah. Di beberapa tempat di hutan Petung
terdapat warung yang menawarkan kopi owa. Sayang saat kami melintas, warung
tersebut sedang tutup.
Air terjun apa ya namanya... saking banyaknya sampai lupa |
Tak
lama setelah ekosistem pakis, vegetasi ganti didominasi oleh pohon besar. Di
salah satu titik terdapat pohon tumbang yang menggantung di atas jalan karena
tertahan pohon lainnya. Agak ngeri juga membayangkan pohon tersebut jatuh
menimpa pengguna jalan. Dari sini terlihat perbukitan yang sangat lebat
vegetasinya berwarna hijau tua. Sesekali sungai jernih berarus deras dengan
batuan di sana-sini, nampaknya cocok sekali untuk rafting. Hmmmft, tahan napas,
di tiap aliran sungai yang kita lewati, nampak air terjun dari pinggir jalan. Menurut
hitungan saya, setidaknya ada 7 air terjun yang nampak dari jalanan. Belum
termasuk curug muncar yang telah terkenal itu.
Ubud nya Jawa |
Semakin
jauh, jalan berkelok-kelok melewati hamparan sawah yang berundak-undak. Tak
kalah cantik dengan Subak di Ubud atau Tabanan (sawah-sawah di sepanjang
perjalanan menuju tanah Lot) di Bali deh.
Puncak Gunung Kukusan |
Salah satu sungai di Petung |
Makin
dekat dengan Dieng, vegetasi berubah dengan hutan Pinus (berbatang) merah.
Nampak di kejauhan Puncak Gunung Rogojembangan dan Kendalisodho yang kata
pemandu kami bisa ditempuh hanya dengan tracking 2 jam saja. Pemandangan di
atas pun spektakuler dengan kesempatan yang sama besar untuk mendapatkan baik
sunrise maupun sunset. Apalagi belum banyak pendaki yang tahu dan pernah naik
ke Puncak Rogojembangan dan Kendalisodho membuatnya lebih eksklusif. Saya
pribadi sih ingin betul suatu hari nanti bisa mengunjunginya. Berdiri di puncak
Rogojembangan sambil memandangi hutan lebat Petungkriyono yang tertutup awan
tipis. Sungguh mistis.
Sunset di Kendalisodo (foto milik: Mas Purwo di FB) |
Udara
di sini sama dinginnya dengan Dieng. Siapkan jas hujan juga sebab hujan/embun
lokal kerap kali turun membasahi.
Vegetasi Pinus |
Meninggalkan
Petungkriyono, vegetasi hutan berangsur-angsur berubah dengan kebun kentang/
sayuran penduduk. Rumah lebih rapat dan lebih banyak pula penduduk yang
dijumpai di sepanjang jalan. Selamat datang di dunia nyata, Dieng yang
sesungguhnya. Yang tadi, adalah tetangga Dieng yang masih alami.
***
Ada
banyak tempat wisata lainnya di Petungkriyono yang belum bisa saya ceritakan
karena memang belum saya kunjungi. Ada gardu pandang, penangkaran rusa, rumah
pengamatan di tengah hutan, dsb. Anda bisa langsung menghubungi kawan-kawan
PPGP (Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono) untuk bertanya lebih lanjut.
Datangi kantor kecamatan dan dapatkan sambutan ramah mereka. Local behavior
orang-orang di Petung juga baik. Hipotesa saya, tinggal di alam yang indah dan
kegiatan sehari-hari bercocok tanam membuat mereka lebih murah senyum pada
orang asing. Khas ciri-ciri orang yang tinggal di pegunungan.
***
Petungkriyono dan awan, Dua asimilasi yang akrab (foto milik: Mas Purwo di FB) |
Teman
saya, Dedi Sinaga, yang tinggal di Parapat, tepi Danau Toba pernah bilang “aku tinggal
di desa, tapi desaku indah bagai Swedia”. Saat itu saya mencibirnya, mana ada
desa yang seperti itu. Sekarang, tak perlu saya mendatangi kampung si Sinaga
itu di Sumatera Utara untuk membuktikannya, sebab desa seperti itu dekat adanya,
di jantung pulau jawa, Petungkriyono.