Friday 6 December 2013

Petungkriyono, Dieng yang Masih Alami


Merupakan daerah pegunungan dimana sebagian wilayah merupakan dataran tinggi Dieng. Luas wilayahnya 7359 Ha yang sebagian besar adalah hutan Negara seluas 5190 Ha, Hutan rakyat 341 Ha dan luas pemukiman hanyalah 120 Ha (16%) dari luas wilayah. (Wikipedia Indonesia)

Alam Petungkriyono
Pertama kali mendengar nama Petungkriyono adalah saat saya googling 2 bulan lalu sebelum ber solo travelling ke Kota Pekalongan. Saat itu saya tidak terlalu tertarik mendatanginya karena lokasinya yang terlampau jauh dari ibukota kabupaten (34 km) ditambah informasi yang belum terlalu banyak di internet.
*** 
Siapa sangka ternyata Petungkriyono yang tidak terlalu terkenal di internet itu (coba googling dengan keyword “petungkriyono”, hasilnya akan muncul sedikit sekali informasi tentang itu, in case bila dibandingkan dengan tetangganya, Dieng yang sudah go international), ternyata merupakan tempat yang luar biasa indah. Tak salah bila ada yang berpendapat bahwa Petungkriyono adalah Dieng yang masih alami. Tak ada bukit kentang di sana, yang ada hanyalah hutan lebat dan aliran sungai deras berbatu.

Yang membuat saya kagum adalah, ada sekelompok pemuda yang (nampaknya) cinta betul dengan Petungkriyono dan mereka berusaha untuk memperkenalkan daerah tersebut ke wisatawan. Salah satu caranya adalah dengan membuat trip ke Gunung Prau yang saya ikuti kemarin. Lho, Gunung Prau kan ada di Dieng Kab Banjarnegara? Memang, tapi untuk menuju ke sana kami dipilihkan rute yang membelah hutan Petungkriyono sambil diceritakan kisah, sejarah, mitos, dan kondisi hutan Petung yang kami lewati.
Pemandangan dari atas pick up
Untuk menuju kesana dari Kota Pekalongan, bisa naik angkutan umum/ bis mini ke Pasar Kecamatan Doro sekitar 30 km. Dari Pasar Doro, disambung dengan mobil pick up yang telah dimodifikasi. Persis seperti yang ada di Cisurupan sebelum mendaki Gunung Papandayan. Bedanya, kalau di cisurupan jalannya jelek berbatu, kalau di sini jalannya aspal yang mulus. 15 menit pertama, masih ada satu dua rumah penduduk. Baru setelah gerbang selamat datang bertuliskan “hutan ekowisata Petungkriyono”, mulailah atraksi-atraksi alam mengundang decak kagum di sepanjang perjalanan.
Hutan Bambu, asal muasal nama Petungkriyono
Pertama, Anda akan melewati hutan bambu. Kalau tidak salah, memang Petung artinya bambu, dan Kriyono artinya hutan. Di antara sekian banyak hutan bambu di sana, ada mitos di masyarakat yang mengatakan bahwa terdapat suatu tempat hutan bambu yang apabila daunnya gugur, ia akan menancap vertical di atas tanah. Bila ada suara gaduh sedikit saja, daun-daun yang tertancap tadi seluruhnya akan pecah. Beberapa penduduk mengaku pernah melihatnya. Wallohualam kebenarannya.

Menurut Sejarah, Petung juga merupakan pusat pemerintahan masyarakat prasejarah dengan bukti banyak ditemukannya peninggalan sejarah berupa situs-situs:
  1.           Lingga / Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono
  2.           Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Tlogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono
  3.           Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo Kecamatan Petungkriyono
  4.           Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
  5.           Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya   (sumber: http://www.pekalongankab.go.id/)

Setelah hutan bambu, suasana mendadak gelap karena tertutup tanaman pakis. Pakis? Ya, pakis kecil yang biasa ada di pinggir sungai di sini ukurannya raksasa sampai menutupi jalan. Seperti payung hijau besar yang tumbuh di tebing pinggir jalan.

Fauna khas Petung adalah Owa Jawa, Harimau Jawa, dan Burung Rangkong. Ketiganya masuk dalam daftar hewan yang terancam punah. Di beberapa tempat di hutan Petung terdapat warung yang menawarkan kopi owa. Sayang saat kami melintas, warung tersebut sedang tutup.

Air terjun apa ya namanya...
saking banyaknya sampai lupa 
Tak lama setelah ekosistem pakis, vegetasi ganti didominasi oleh pohon besar. Di salah satu titik terdapat pohon tumbang yang menggantung di atas jalan karena tertahan pohon lainnya. Agak ngeri juga membayangkan pohon tersebut jatuh menimpa pengguna jalan. Dari sini terlihat perbukitan yang sangat lebat vegetasinya berwarna hijau tua. Sesekali sungai jernih berarus deras dengan batuan di sana-sini, nampaknya cocok sekali untuk rafting. Hmmmft, tahan napas, di tiap aliran sungai yang kita lewati, nampak air terjun dari pinggir jalan. Menurut hitungan saya, setidaknya ada 7 air terjun yang nampak dari jalanan. Belum termasuk curug muncar yang telah terkenal itu.
Kabut di belakang bikin merinding

Ubud nya Jawa


Semakin jauh, jalan berkelok-kelok melewati hamparan sawah yang berundak-undak. Tak kalah cantik dengan Subak di Ubud atau Tabanan (sawah-sawah di sepanjang perjalanan menuju tanah Lot) di Bali deh.
Puncak Gunung Kukusan
Salah satu sungai di Petung
Makin dekat dengan Dieng, vegetasi berubah dengan hutan Pinus (berbatang) merah. Nampak di kejauhan Puncak Gunung Rogojembangan dan Kendalisodho yang kata pemandu kami bisa ditempuh hanya dengan tracking 2 jam saja. Pemandangan di atas pun spektakuler dengan kesempatan yang sama besar untuk mendapatkan baik sunrise maupun sunset. Apalagi belum banyak pendaki yang tahu dan pernah naik ke Puncak Rogojembangan dan Kendalisodho membuatnya lebih eksklusif. Saya pribadi sih ingin betul suatu hari nanti bisa mengunjunginya. Berdiri di puncak Rogojembangan sambil memandangi hutan lebat Petungkriyono yang tertutup awan tipis. Sungguh mistis.

Sunset di Kendalisodo
(foto milik: Mas Purwo di FB)
Regojembangan
(foto milik: Mas Purwo di FB)
Udara di sini sama dinginnya dengan Dieng. Siapkan jas hujan juga sebab hujan/embun lokal kerap kali turun membasahi.
Vegetasi Pinus
Meninggalkan Petungkriyono, vegetasi hutan berangsur-angsur berubah dengan kebun kentang/ sayuran penduduk. Rumah lebih rapat dan lebih banyak pula penduduk yang dijumpai di sepanjang jalan. Selamat datang di dunia nyata, Dieng yang sesungguhnya. Yang tadi, adalah tetangga Dieng yang masih alami.
*** 
Ada banyak tempat wisata lainnya di Petungkriyono yang belum bisa saya ceritakan karena memang belum saya kunjungi. Ada gardu pandang, penangkaran rusa, rumah pengamatan di tengah hutan, dsb. Anda bisa langsung menghubungi kawan-kawan PPGP (Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono) untuk bertanya lebih lanjut. Datangi kantor kecamatan dan dapatkan sambutan ramah mereka. Local behavior orang-orang di Petung juga baik. Hipotesa saya, tinggal di alam yang indah dan kegiatan sehari-hari bercocok tanam membuat mereka lebih murah senyum pada orang asing. Khas ciri-ciri orang yang tinggal di pegunungan.
*** 
Petungkriyono dan awan,
Dua asimilasi yang akrab
(foto milik: Mas Purwo di FB)
Teman saya, Dedi Sinaga, yang tinggal di Parapat, tepi Danau Toba pernah bilang “aku tinggal di desa, tapi desaku indah bagai Swedia”. Saat itu saya mencibirnya, mana ada desa yang seperti itu. Sekarang, tak perlu saya mendatangi kampung si Sinaga itu di Sumatera Utara untuk membuktikannya, sebab desa seperti itu dekat adanya, di jantung pulau jawa, Petungkriyono.

Selamat mencoba, jadilah pengunjung yang bijak dengan tidak membuang sampah sembarangan.              

Gunung Prau, Gardu Pandang 7 Puncak Jawa Tengah


Gunung ini baru saya dengar setengah tahun yang lalu. Lewat sebuah usulan dari teman saya yang hobi naik gunung juga, Ardiyanta. Saat itu, saya tanya lewat sms, “Ta, gunung apa ya di Jawa Tengah yang recommended tapi nggak terlalu lama naiknya?”
 ***
Pos II Jalur Patak Banteng
Setelah mendapat rekomendasi Gunung Prau, saya cari informasi di internet tentang bagaimana sih wujudnya sampai bisa direkomendasikan Yanta. Hasilnya, semua bilang bahwa gunung ini memang cantik sekali. Banyak penulis yang menuliskan hal positif tentangnya. Sunrise dan Sunsetnya luar biasa. Edelweiss nya tak ada tapi bunga daisy dan kantong semar tumbuh subur dimana-mana. Lebih istimewa lagi, dari Puncak 2.565 mdpal nya, bisa dilihat 7 puncak lainnya di Jawa Tengah. Jadilah saya bertekad akan pergi ke sana suatu hari nanti.

Meskipun sepekan yang lalu (Jumat 25 Oktober 2013) saya baru pulang dari Dieng, tapi ketika mendapati ada notifikasi di facebook tentang “fun hiking Gunung Prau” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono (PPGP) dengan biaya relatif murah, segeralah saya pesan tempat untuk 3 orang: Saya, Feri, Danoyo. Danoyo adalah teman seper-Lawu-an kemarin. Sedang Feri, yang belum pernah naik gunung (Nglanggeran nggak dihitung coy, sori, hehe), berkali-kali saya mewanti-wanti sebelum berangkat apakah dia sudah siap ketagihan naik gunung setelah pendakian ini? Menurut hemat saya, orang yang tidak suka naikgunung itu kemungkinannya hanya satu, ia belum pernah  mencoba.
Saya-Feri-Danoyo
Jadilah kami bertiga berangkat selepas isya dari pangkalan bis Kramat Djati di Kebayoran Lama menuju Pekalongan. Lho, kok Pekalongan? Iya, jadi PPGP itu adalah perkumpulan yang berasal dari kecamatan Petungkriyono, Pekalongan. Sebelum menuju Dieng, meeting point kami di Pasar Doro dan perjalanan ke Diengnya lewat kecamatan Petungkriyono. Ssst, (saya sudah tak sabar memberitahukannya!) perjalanan melalui Petungkriyono nya jauuuh lebih indah daripada tujuan utama pendakian Gunung Prau nya lho. Nanti deh, setelah ini saya tuliskan dalam satu postingan tersendiri.

Kami bertiga cuma bawa daypack saja, berisi perlengkapan pribadi dan baju ganti. Semua peralatan pendakian seperti tenda, nesting, sleeping bag, matras, logistik, dsb dibawakan porter dari PPGP. Sudah murah, ada porter dan dapat kaos pula. Ha! You have to try it someday.
Rombongan,
bersama Pak Camat Petungkriyono (jaket ungu depan)
Rombongan kali itu cukup spesial. Kami ditemani camat Petungkriyono beserta pejabat-pejabat di kecamatan tersebut dan seorang camat lain dari Kab. Batang. Senang deh kalau lihat ada pejabat pemerintah yang suka naik gunung. Jadi ingat quote dari seorang tokoh, “suatu negara tidak akan pernah kekurangan pemimpin bila anak mudanya masih gemar berpetualang ke gunung dan hutan”

Jalan berbatu di permulaan Patak Banteng
Jalur pendakian Gunung Prau ada 3. Via Patak Banteng, Kali Lembu, dan Dieng. Patak Banteng lebih pendek jalurnya tapi lebih terjal. Kali Lembu juga pendek, tapi terjal dan merupakan jalur air yang sempit dan licin di musim penghujan. Sebelum pemancar, Jalur Kali Lembu akan bertemu dengan Jalur Dieng. Jalur Dieng sendiri lebih landai tapi panjang. Rombongan kami memilih naik via Patak Banteng dan turunnya nanti via Dieng agar bisa mendapat suasana yang berbeda.


Telaga Warna

Pemandangan via jalur Patak Banteng
pagi yang berkabut
Setelah registrasi di basecamp Patak Banteng (Jalan Dieng KM 24 Desa Patak Banteng, Kec. Kejajar, Kab Wonosobo, CP: 085743440252) kami berjalan melewati gang rumah-rumah penduduk. Saat itu pukul 15.00. Semakin lama, jalanan berubah menjadi tangga semen. Selepas tangga di antara rumah penduduk, jalanan berganti dengan batuan yang disusun mengitari bukit. Setengah jam kemudian kami  mencapai menara pemancar. Oiya, meskipun jalur Gunung Prau relatif mudah dan aman, tetapi terdapat banyak jalan setapak yang dibuat para petani kentang di antara ladangnya seingga menimbulkan banyak cabang yang bisa menyesatkan pendaki.
Garis sinar matahari
Tangga akar
Arrrgh, bayangkan seandainya halaman belakang Anda pemandangannya seperti ini
Dekat Pos II, terdapat jalur yang dipenuhi akar-akar pohon yang mencuat membentuk pilinan anak tangga. Dari bibir jurang nampak di kejauhan kompleks candi Arjuna, Telaga Pengilon, dan Telaga Warna. Sesekali awan mendung tersibak meloloskan beberapa garis sinar matahari yang jingga sempurna. Dramatis! Namun kami harus bergegas sampai puncak sebelum gelap agar bisa menikmati sunset di atas sana.
Bunga Lonte Sore
jalan setapak di antara kepungan bunga lonte sore
Di antara Pos III dan IV, gerimis mulai turun membuat jalur menjadi licin. Pemandangan dari sini makin spektakuler. Kita bisa melihat seluruh Dieng. Selepas Pos IV, bunga daisy bertebaran dimana-mana. Menutup sebagian besar perbukitan di sana dan dengan “teganya” hanya menyisakan jalan setapak yang “bebas” bunga daisy. Beware, Indonesia is dangerously beautiful. Sebenarnya nama bunga tersebut bukan daisy, nama lokalnya adalah bunga lonte sore. Mungkin ini karena efek drama korea yang sering menampilkan setingan tempat yang banyak bunga daisynya yang kebetulan mirip dengan bunga lonte sore.

Couple: Sumbing dan Sindoro
Selepas pos IV, tampak puncak gunung Prau yang membentang luas. Cukup untuk seratusan tenda sepertinya. Saat itu pukul 18.00, dan saya bergegas ke arah barat untuk mengejar sunset yang tersisa. Di ujung barat, saya terperangah dengan Sindoro yang hitam, gelap, dan besar. Di belakang punggung Sindoro ada Sumbing mengawasi.  Agak selatan ada sejoli Merapi dan Merbabu. Lawu tampak minoritas di kejauhan. Ia bukan penguasa di sini, masih kalah pamor dibanding Sindoro. Slamet sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah malah tak terlihat karena ada di sisi barat puncak yang satunya. Sedangkan Gunung Ungaran tak tak bisa saya bedakan di antara beberapa bukit yang mengepung Banjarnegara dan Wonosobo, tempat ribuan lampu penduduk berasal, bagai kunang-kunang yang berasosiasi dengan bintang senja yang mulai bermunculan di atas langit.

Hargo Dumilah Lawu, tampak kecil
Saya merinding bukan hanya karena angin dingin yang menusuk tulang, tapi juga merinding karena takjub dengan lukisan agung sang Pencipta. Saya hirup dalam-dalam udaranya memenuhi alveoli, saya lepas jaket agar epidermis kulit meraba dengan leluasa, saya buka lebar-lebar mata, demi retina yang segera mengomando sinap-sinap otak agar segera menyimpannya. Ah, matur nuwun Gusti Alloh.

Rombongan kami membuat api unggun di tengah-tengah 5 tenda yang berdiri. Sejatinya, saya benci dengan konsep menyalakan api unggun di atas Gunung. Apalagi kalau kayunya didapat dengan menebang batang pohon yang masih hidup.
Api Unggun
lebih baik kedinginan daripada merusak kesuburan tanah 
Malam itu kami punya banyak tetangga. Tenda-tenda rombongan lain berdiri dimana-mana. Sayangnya, banyak diantara mereka yang masih belum tahu bahwa naik gunung tak boleh meninggalkan sampah apapun. Harus dibawa turun lagi! Beberapa di antara mereka juga teriak-teriak tak jelas membuat puncak gunung gaduh layaknya pasar. Seharusnya regulasi terhadap tempat wisata gunung seperti itu lebih tegas seperti di TNBTS. Ketika turun wajib lapor beserta sampahnya dilaporkan juga.

sampah yang berserakan di puncak
Selepas makan malam di bawah taburan bintang dan ditemani hangatnya api unggun, kami setenda berempat berlindung di balik sleeping bag yang hangat. “Semoga besok pagi sunrise nya secantik sunset tadi” ucap saya sebagai penutup doa sebelum tidur.

Pagi berkabut di Puncak Prau, 2565 mdpal
Tengah malam saya terbangun karena suara rintik hujan nyaring memukul permukaan tenda. Ternyata sampai pagi menjelang, hujan tak juga berhenti. Tentu saja kami tak mau berbasah-basah di tengah udara dingin seperti ini sehingga kami tak juga beranjak dari sleeping bag sampai hujan agak reda. Setelah reda, kabut yang tebal mengepung jarak pandang dan memupuskan keinginan saya untuk mendapatkan sunrise. Hmm, jadilah foto kami banyakan background nya berwarna putih kabut.

Diantara rumput-rumput Bukit Teletabis
Selepas sarapan, kami turun via jalur Dieng. Pemandangan bukit-bukit teletabis yang tertutupi bunga lonte sore mengobati dengan cepat rasa kecewa kami. Tidak seperti yang diharapkan memang, tapi, indahnya perjalanan melalui Petungkriyono dan sunset puncak Gunung Prau, adalah pengalaman yang tak ternilai.
tulisan kece di raincover nya Mas Aji
Frankly Speaking, I’d like to say thanks to (udah mirip skripsi aja pakai sesi ucapan terimakasih segala, biarin ah, hehe):
  •           Alloh SWT for giving me chance, time, money, and willingness to witness your magnificent scenery.
  •           All of PPGP team, Mas Purwo, Mas Aji, Mas Slamet, and so on. Of course, the honorable head of district of Petungkriyono, Mr. Agus Purwanto.
  •           Danoyo and Feri, for accompanying me to this incredible trip.
  •           Ardiyanta, because idea of hiking this mountain came after his suggestion. 



To move, to breathe, to fly, to float
To gain all while you give
To roam the roads of land remote
To travel is to live

Hans Christian Andersen




Thursday 5 December 2013

Dieng, Masihkah Sama Dengan Di Hyang?

Mendadak melow kalau lihat pemandangan seperti ini

Apakah para dewa masih mau bersemayam di bukit kentang seperti ini?

“Serius nih sudah sampai?” Tanya saya kepada teman sebelah ketika elf kami memasuki parkiran bis di depan Telogo Warna.

*** 
Dieng adalah impian masa kecil saya. Dataran tinggi yang begitu populer di seantero dunia,  tempat Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di tanah Jawa, tempat kompleks candi Arjuna dengan latar belakang bukit-bukit hijau berkabut, tempat golden maupun silver sunrise terbaik yang banyak dipakai sebagai cover kalender, serta teater live atas berbagai atraksi alam lainnya.

Keinginan ke Dieng semakin menggebu setelah saya mulai backpackingan saat kuliah. Berkali-kali rencana backpacking ke Dieng saya susun bersama teman-teman, berkali-kali pula kami gagal berangkat ke sana karena berbagai hal. Hal tersebut tak lantas menyurutkan keinginan saya, tapi malah membuat saya makin semangat mencari kesempatan untuk ke sana. Sekalinya keturutan, dalam seminggu, dua kali saya main ke Dieng. Ahaaay!

***
Jumat, 25 Oktober 2013

Kami berangkat ke Kendal ber-15 untuk nikahan teman baik kami dengan carter sebuah Elf. Saya mati-matian membujuk teman yang lain agar pulangnya nanti mampir ke Dieng mengingat lokasinya (di peta) kan sudah dekat dari Kendal (daripada dari Jakarta kan ya, hihi).

Setelah dua belas jam perjalanan darat yang melelahkan ke Kendal dan kenyang makan di nikahan teman, akhirnya mulailah perjalanan ke Dieng via Weleri > Temanggung > Wonosobo > Dieng Banjarnegara.

Jalanannya berkelok-kelok dan bergelombang di sana sini. Saya sengaja tidak tidur sepanjang perjalanan sebab berdebar-debar (haha, lebay) akan segera bertemu dengan destinasi impian. Bayangan tentang gambar-gambar yang sering diputar di channel National Geographic berkelebat cepat dalam angan saya. Swiss, Selandia Baru, Nepal, aaargh, pasti lebih bagus dari itu. Bukit-bukit yang hijau menemani perjalanan sedari Temanggung sampai Wonosobo membuat saya berpikir bahwa Dieng pasti jauh lebih cantik.

***
Saya terperanjat ketika mendapati banyak tulisan Tieng di berbagai papan nama pinggir jalan. Lho, kok rame dan semrawut begini Diengnya? Mungkin Tieng memang bukan di Dieng. Sampai ketika elf kami merapat ke kanan jalan dan berhenti di Gardu Pandang Tieng, saya terhenyak. Yaampun, apa yang terjadi pada tempat ini?

Alih-alih mendapati bukit teletabis ataupun tebing-tebing yang hijau, gerombolan pohon saja sudah jarang ditemukan. Dari Gardu Pandang Tieng, lembah yang ada di bawah adalah hamparan rumah penduduk dan kebun sayuran dimana-mana. Saya jadi enggan memotretnya, apalagi kabut hampir selalu menyelimuti dataran tinggi tersebut sehingga sulit mendapat gambar berkualitas dari kamera digital biasa. Saya menghibur diri dengan berpikir bahwa selain Gardu Pandang masih ada objek lainnya yang keadaannya jauh lebih baik.



pemandangan dari Gardu Pandang

Peta Wisata Dieng di Pintu masuk Telaga Warna


Destinasi kedua adalah kompleks telaga warna dan telaga pengilon. Harga tiket di pintu masuk adalah Rp 20.000, cukup mahal bagi kantong backpacker. Masuk Telaga Warna masih harus bayar Rp 2.000 lagi. Masuk Candi Rp 10.000 lagi. Duh…



Telaga Warna Abu-abu

dari tepian jalan setapak Telaga Warna
Kalau Telaga Warna sih masih luar biasa cantiknya. Gradasi putih, biru, dan hijau adalah akrobat yang tak bosan-bosannya untuk dikagumi. Apalagi letaknya yang berdampingan dengan Telaga Pengilon yang coklat membuatnya nampak sangat kontras saat dipandang dari ketinggian. Angin semilir yang sejuk mempermainkan rerumputan dan menciptakan riak-riak telaga yang seolah menyanyikan sebuah melodi. Saya mengitari kedua telaga tersebut dan pemandangan di beberapa titik mengingatkan saya akan keindahan Ranu Kumbolo di Semeru.
Ilalang Telaga Pengilon yang artinya cermin

Telaga Pengilon, sumber pengairan kebun-kebun kentang

Kedua Telaga tepat bersebelahan

Hijaunya Telaga Warna

Gradasi Abu-abu, Hijau Toska, dan Biru

Bunga ini banyak tumbuh di Dieng

Pesanggrahan Bumi Pertulo di Tepian Telaga

Ranu Kumbolo ya?

-No Comment-


Satu hal yang mengganggu adalah banyaknya pipa paralon putih dan pompa air yang digunakan petani sayuran untuk mengalirkan air dari telaga pengilon ke kebun mereka, tapi masih bisa ditolerir sih karena mereka meletakkan pipa tersebut di tempat yang agak tersembunyi.

Selepas dari kompleks Telogo, saya mencicipi kuliner khas Dieng yaitu mi ongklok dan sate kelinci. Saat makan saya pikir kok mi ini rasanya hambar betul, ternyata harusnya memang dicampur dengan kecap dan cabe dieng biar mantep. Ohhh, namanya juga laper. Hehe


Pine Tree, The Lake, You, and Me
*ngayal*

Sejujurnya saya agak kecewa dengan kenyataan bahwa Dieng tidak sesuai dengan harapan. Dalam angan saya, Dieng adalah perbukitan yang dipenuhi pinus berkabut saking dinginnya, awan biru, dan desa yang tertata rapi seperti di New Zealand tempat shooting Lord of The Ring. Memang sih, di beberapa titik masih ada yang seperti itu, tapi itu tidak banyak, kebanyakan perbukitan telah gundul dengan tanaman kentang. Motif ekonomi telah menjadikan atap pulau Jawa ini dipenuhi dolar yang ditanam dalam tanah. Jika sudah begini, Dieng yang berasal dari kata Di Hyang yang artinya Tempat bersemayamnya para dewa, mungkin sudah kehilangan mistisnya dan ditinggalkan oleh para dewa. Mana mau dewa bersemayam di kebun kentang?

Namun, ada negative, pasti ada banyak positifnya juga. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan keindahan alam, Dieng akan seterkenal itu. Banyak faktor yang membuat Dieng jadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara. Pertama, Aksesbilitas Dieng yang sangat mudah. Kita bisa mencapai Dieng dari berbagai kota di sekitarnya meskipun letaknya di tengah-tengah dataran tinggi. Bis Jakarta-Wonosobo rutin setiap hari dan sewa motor ada di banyak tempat. Kedua, banyaknya penginapan dari yang murah sampai mahal, mampu menjangkau dari kelas backpacker sampai eksmud. Ketiga, publikasi dan promosi yang terus gencar di berbagai media (termasuk socmed yang tengah digandrungi para backpacker muda). Keempat, banyaknya perusahaan tur wisata yang membuat berbagai paket sehingga bepergian ke Dieng jadi sangat mudah. Kelima, Dieng punya kultur, budaya, dan souvenir yang khas. Dan hal itu terus dikembangkan melalui koperasi desa, UKM, maupun swasta. Sehingga Dieng tetap memiliki keunikan yang terus berkembang mengikuti pasar.



Di Kompleks Candi Arjuno, usai mendaki Gunung Prau

Komoditi Unggulan Dieng, Carica
Seminggu kemudian Saya berkesempatan mengunjungi (Gunung Prau, Candi Dwarawati, dan Kompleks Candi Arjuna) Dieng lagi. Saat itu saya menurunkan ekspektasi saya yang mungkin berlebihan terhadap Dieng seperti minggu lalu. Dan, sejujurnya, Dieng memang tetap indah, terlepas dari pendapat pribadi saya yang kecewa atas komersialisasi berlebihan terhadap bukit-bukit di sana yang telah disulap menjadi kebun kentang.
Candi Dwarawati