Gunung
ini baru saya dengar setengah tahun yang lalu. Lewat sebuah usulan dari teman
saya yang hobi naik gunung juga, Ardiyanta. Saat itu, saya tanya lewat sms,
“Ta, gunung apa ya di Jawa Tengah yang recommended tapi nggak terlalu lama
naiknya?”
***
Pos II Jalur Patak Banteng |
Setelah
mendapat rekomendasi Gunung Prau, saya cari informasi di internet tentang
bagaimana sih wujudnya sampai bisa direkomendasikan Yanta. Hasilnya, semua bilang
bahwa gunung ini memang cantik sekali. Banyak penulis yang menuliskan hal
positif tentangnya. Sunrise dan Sunsetnya luar biasa. Edelweiss nya tak ada
tapi bunga daisy dan kantong semar tumbuh subur dimana-mana. Lebih istimewa
lagi, dari Puncak 2.565 mdpal nya, bisa dilihat 7 puncak lainnya di Jawa
Tengah. Jadilah saya bertekad akan pergi ke sana suatu hari nanti.
Meskipun
sepekan yang lalu (Jumat 25 Oktober 2013) saya baru pulang dari Dieng, tapi
ketika mendapati ada notifikasi di facebook tentang “fun hiking Gunung Prau”
yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono (PPGP)
dengan biaya relatif murah, segeralah saya pesan tempat untuk 3 orang: Saya,
Feri, Danoyo. Danoyo adalah teman seper-Lawu-an kemarin. Sedang Feri, yang
belum pernah naik gunung (Nglanggeran nggak dihitung coy, sori, hehe), berkali-kali
saya mewanti-wanti sebelum berangkat apakah dia sudah siap ketagihan naik
gunung setelah pendakian ini? Menurut hemat saya, orang yang tidak suka naikgunung itu kemungkinannya hanya satu, ia belum pernah mencoba.
Saya-Feri-Danoyo |
Jadilah
kami bertiga berangkat selepas isya dari pangkalan bis Kramat Djati di
Kebayoran Lama menuju Pekalongan. Lho, kok Pekalongan? Iya, jadi PPGP itu
adalah perkumpulan yang berasal dari kecamatan Petungkriyono, Pekalongan. Sebelum
menuju Dieng, meeting point kami di Pasar Doro dan perjalanan ke Diengnya lewat
kecamatan Petungkriyono. Ssst, (saya sudah tak sabar memberitahukannya!)
perjalanan melalui Petungkriyono nya jauuuh lebih indah daripada tujuan utama
pendakian Gunung Prau nya lho. Nanti deh, setelah ini saya tuliskan dalam satu
postingan tersendiri.
Kami
bertiga cuma bawa daypack saja,
berisi perlengkapan pribadi dan baju ganti. Semua peralatan pendakian seperti
tenda, nesting, sleeping bag, matras,
logistik, dsb dibawakan porter dari PPGP. Sudah murah, ada porter dan dapat
kaos pula. Ha! You have to try it someday.
Rombongan, bersama Pak Camat Petungkriyono (jaket ungu depan) |
Rombongan
kali itu cukup spesial. Kami ditemani camat Petungkriyono beserta
pejabat-pejabat di kecamatan tersebut dan seorang camat lain dari Kab. Batang. Senang
deh kalau lihat ada pejabat pemerintah yang suka naik gunung. Jadi ingat quote dari seorang tokoh, “suatu
negara tidak akan pernah kekurangan pemimpin bila anak mudanya masih gemar
berpetualang ke gunung dan hutan”
Jalan berbatu di permulaan Patak Banteng |
Jalur
pendakian Gunung Prau ada 3. Via Patak Banteng, Kali Lembu, dan Dieng. Patak
Banteng lebih pendek jalurnya tapi lebih terjal. Kali Lembu juga pendek, tapi terjal
dan merupakan jalur air yang sempit dan licin di musim penghujan. Sebelum
pemancar, Jalur Kali Lembu akan bertemu dengan Jalur Dieng. Jalur Dieng sendiri
lebih landai tapi panjang. Rombongan kami memilih naik via Patak Banteng dan
turunnya nanti via Dieng agar bisa mendapat suasana yang berbeda.
Telaga Warna |
Pemandangan via jalur Patak Banteng |
pagi yang berkabut |
Setelah
registrasi di basecamp Patak Banteng (Jalan Dieng KM 24 Desa Patak Banteng,
Kec. Kejajar, Kab Wonosobo, CP: 085743440252) kami berjalan melewati gang
rumah-rumah penduduk. Saat itu pukul 15.00. Semakin lama, jalanan berubah menjadi
tangga semen. Selepas tangga di antara rumah penduduk, jalanan berganti dengan
batuan yang disusun mengitari bukit. Setengah jam kemudian kami mencapai menara pemancar. Oiya, meskipun jalur
Gunung Prau relatif mudah dan aman, tetapi terdapat banyak jalan setapak yang
dibuat para petani kentang di antara ladangnya seingga menimbulkan banyak
cabang yang bisa menyesatkan pendaki.
Garis sinar matahari |
Tangga akar |
Arrrgh, bayangkan seandainya halaman belakang Anda pemandangannya seperti ini |
Dekat
Pos II, terdapat jalur yang dipenuhi akar-akar pohon yang mencuat membentuk
pilinan anak tangga. Dari bibir jurang nampak di kejauhan kompleks candi
Arjuna, Telaga Pengilon, dan Telaga Warna. Sesekali awan mendung tersibak
meloloskan beberapa garis sinar matahari yang jingga sempurna. Dramatis! Namun
kami harus bergegas sampai puncak sebelum gelap agar bisa menikmati sunset di
atas sana.
Bunga Lonte Sore |
jalan setapak di antara kepungan bunga lonte sore |
Di
antara Pos III dan IV, gerimis mulai turun membuat jalur menjadi licin.
Pemandangan dari sini makin spektakuler. Kita bisa melihat seluruh Dieng.
Selepas Pos IV, bunga daisy bertebaran dimana-mana. Menutup sebagian besar
perbukitan di sana dan dengan “teganya” hanya menyisakan jalan setapak yang
“bebas” bunga daisy. Beware, Indonesia is
dangerously beautiful. Sebenarnya nama bunga tersebut bukan daisy, nama
lokalnya adalah bunga lonte sore. Mungkin ini karena efek drama korea yang
sering menampilkan setingan tempat yang banyak bunga daisynya yang kebetulan
mirip dengan bunga lonte sore.
Couple: Sumbing dan Sindoro |
Selepas
pos IV, tampak puncak gunung Prau yang membentang luas. Cukup untuk seratusan
tenda sepertinya. Saat itu pukul 18.00, dan saya bergegas ke arah barat untuk
mengejar sunset yang tersisa. Di ujung barat, saya terperangah dengan Sindoro
yang hitam, gelap, dan besar. Di belakang punggung Sindoro ada Sumbing
mengawasi. Agak selatan ada sejoli
Merapi dan Merbabu. Lawu tampak minoritas di kejauhan. Ia bukan penguasa di
sini, masih kalah pamor dibanding Sindoro. Slamet sebagai gunung tertinggi di
Jawa Tengah malah tak terlihat karena ada di sisi barat puncak yang satunya.
Sedangkan Gunung Ungaran tak tak bisa saya bedakan di antara beberapa bukit
yang mengepung Banjarnegara dan Wonosobo, tempat ribuan lampu penduduk berasal,
bagai kunang-kunang yang berasosiasi dengan bintang senja yang mulai
bermunculan di atas langit.
Hargo Dumilah Lawu, tampak kecil |
Saya
merinding bukan hanya karena angin dingin yang menusuk tulang, tapi juga
merinding karena takjub dengan lukisan agung sang Pencipta. Saya hirup
dalam-dalam udaranya memenuhi alveoli, saya lepas jaket agar epidermis kulit
meraba dengan leluasa, saya buka lebar-lebar mata, demi retina yang segera
mengomando sinap-sinap otak agar segera menyimpannya. Ah, matur nuwun Gusti
Alloh.
Rombongan
kami membuat api unggun di tengah-tengah 5 tenda yang berdiri. Sejatinya, saya
benci dengan konsep menyalakan api unggun di atas Gunung. Apalagi kalau kayunya
didapat dengan menebang batang pohon yang masih hidup.
Api Unggun lebih baik kedinginan daripada merusak kesuburan tanah |
Malam
itu kami punya banyak tetangga. Tenda-tenda rombongan lain berdiri dimana-mana.
Sayangnya, banyak diantara mereka yang masih belum tahu bahwa naik gunung tak
boleh meninggalkan sampah apapun. Harus dibawa turun lagi! Beberapa di antara
mereka juga teriak-teriak tak jelas membuat puncak gunung gaduh layaknya pasar.
Seharusnya regulasi terhadap tempat wisata gunung seperti itu lebih tegas
seperti di TNBTS. Ketika turun wajib lapor beserta sampahnya dilaporkan juga.
sampah yang berserakan di puncak |
Selepas
makan malam di bawah taburan bintang dan ditemani hangatnya api unggun, kami
setenda berempat berlindung di balik sleeping
bag yang hangat. “Semoga besok pagi sunrise nya secantik sunset tadi” ucap
saya sebagai penutup doa sebelum tidur.
Pagi berkabut di Puncak Prau, 2565 mdpal |
Tengah
malam saya terbangun karena suara rintik hujan nyaring memukul permukaan tenda.
Ternyata sampai pagi menjelang, hujan tak juga berhenti. Tentu saja kami tak
mau berbasah-basah di tengah udara dingin seperti ini sehingga kami tak juga
beranjak dari sleeping bag sampai
hujan agak reda. Setelah reda, kabut yang tebal mengepung jarak pandang dan memupuskan
keinginan saya untuk mendapatkan sunrise.
Hmm, jadilah foto kami banyakan background nya berwarna putih kabut.
Diantara rumput-rumput Bukit Teletabis |
Selepas
sarapan, kami turun via jalur Dieng. Pemandangan bukit-bukit teletabis yang
tertutupi bunga lonte sore mengobati dengan cepat rasa kecewa kami. Tidak
seperti yang diharapkan memang, tapi, indahnya perjalanan melalui Petungkriyono
dan sunset puncak Gunung Prau, adalah pengalaman yang tak ternilai.
tulisan kece di raincover nya Mas Aji |
Frankly
Speaking, I’d like to say thanks to (udah mirip skripsi aja pakai sesi ucapan terimakasih
segala, biarin ah, hehe):
- Alloh SWT for giving me chance, time, money, and willingness to witness your magnificent scenery.
- All of PPGP team, Mas Purwo, Mas Aji, Mas Slamet, and so on. Of course, the honorable head of district of Petungkriyono, Mr. Agus Purwanto.
- Danoyo and Feri, for accompanying me to this incredible trip.
- Ardiyanta, because idea of hiking this mountain came after his suggestion.
To
move, to breathe, to fly, to float
To
gain all while you give
To
roam the roads of land remote
To
travel is to live…
Hans
Christian Andersen
asik dimention... haha...
ReplyDeleteaku malah baru ntar tgl 25 baru mo kesono mas...
ceritanya ga dpt sunrise nih? ga nyesel tapi kan...
eh mas, aku pengen nang gede sekaligus pangrango ki. Ayok yok kapan2 kita rencanakan...
tanggal 25 desember besok? semoga lancar Ta. sy ke rinjani dulu sama Izhar tgl tsb.
Deletenggak nyesel kok, toh matahari yang kita lihat di gunung adalah matahari yang sama dengan yang kita lihat sehari-hari kan. Masih ada 364 hari lainnya. :) (alesan, asline yo syeedih, haha)
GePang? ayo, atur saja. :D