Friday 6 December 2013

Gunung Prau, Gardu Pandang 7 Puncak Jawa Tengah


Gunung ini baru saya dengar setengah tahun yang lalu. Lewat sebuah usulan dari teman saya yang hobi naik gunung juga, Ardiyanta. Saat itu, saya tanya lewat sms, “Ta, gunung apa ya di Jawa Tengah yang recommended tapi nggak terlalu lama naiknya?”
 ***
Pos II Jalur Patak Banteng
Setelah mendapat rekomendasi Gunung Prau, saya cari informasi di internet tentang bagaimana sih wujudnya sampai bisa direkomendasikan Yanta. Hasilnya, semua bilang bahwa gunung ini memang cantik sekali. Banyak penulis yang menuliskan hal positif tentangnya. Sunrise dan Sunsetnya luar biasa. Edelweiss nya tak ada tapi bunga daisy dan kantong semar tumbuh subur dimana-mana. Lebih istimewa lagi, dari Puncak 2.565 mdpal nya, bisa dilihat 7 puncak lainnya di Jawa Tengah. Jadilah saya bertekad akan pergi ke sana suatu hari nanti.

Meskipun sepekan yang lalu (Jumat 25 Oktober 2013) saya baru pulang dari Dieng, tapi ketika mendapati ada notifikasi di facebook tentang “fun hiking Gunung Prau” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono (PPGP) dengan biaya relatif murah, segeralah saya pesan tempat untuk 3 orang: Saya, Feri, Danoyo. Danoyo adalah teman seper-Lawu-an kemarin. Sedang Feri, yang belum pernah naik gunung (Nglanggeran nggak dihitung coy, sori, hehe), berkali-kali saya mewanti-wanti sebelum berangkat apakah dia sudah siap ketagihan naik gunung setelah pendakian ini? Menurut hemat saya, orang yang tidak suka naikgunung itu kemungkinannya hanya satu, ia belum pernah  mencoba.
Saya-Feri-Danoyo
Jadilah kami bertiga berangkat selepas isya dari pangkalan bis Kramat Djati di Kebayoran Lama menuju Pekalongan. Lho, kok Pekalongan? Iya, jadi PPGP itu adalah perkumpulan yang berasal dari kecamatan Petungkriyono, Pekalongan. Sebelum menuju Dieng, meeting point kami di Pasar Doro dan perjalanan ke Diengnya lewat kecamatan Petungkriyono. Ssst, (saya sudah tak sabar memberitahukannya!) perjalanan melalui Petungkriyono nya jauuuh lebih indah daripada tujuan utama pendakian Gunung Prau nya lho. Nanti deh, setelah ini saya tuliskan dalam satu postingan tersendiri.

Kami bertiga cuma bawa daypack saja, berisi perlengkapan pribadi dan baju ganti. Semua peralatan pendakian seperti tenda, nesting, sleeping bag, matras, logistik, dsb dibawakan porter dari PPGP. Sudah murah, ada porter dan dapat kaos pula. Ha! You have to try it someday.
Rombongan,
bersama Pak Camat Petungkriyono (jaket ungu depan)
Rombongan kali itu cukup spesial. Kami ditemani camat Petungkriyono beserta pejabat-pejabat di kecamatan tersebut dan seorang camat lain dari Kab. Batang. Senang deh kalau lihat ada pejabat pemerintah yang suka naik gunung. Jadi ingat quote dari seorang tokoh, “suatu negara tidak akan pernah kekurangan pemimpin bila anak mudanya masih gemar berpetualang ke gunung dan hutan”

Jalan berbatu di permulaan Patak Banteng
Jalur pendakian Gunung Prau ada 3. Via Patak Banteng, Kali Lembu, dan Dieng. Patak Banteng lebih pendek jalurnya tapi lebih terjal. Kali Lembu juga pendek, tapi terjal dan merupakan jalur air yang sempit dan licin di musim penghujan. Sebelum pemancar, Jalur Kali Lembu akan bertemu dengan Jalur Dieng. Jalur Dieng sendiri lebih landai tapi panjang. Rombongan kami memilih naik via Patak Banteng dan turunnya nanti via Dieng agar bisa mendapat suasana yang berbeda.


Telaga Warna

Pemandangan via jalur Patak Banteng
pagi yang berkabut
Setelah registrasi di basecamp Patak Banteng (Jalan Dieng KM 24 Desa Patak Banteng, Kec. Kejajar, Kab Wonosobo, CP: 085743440252) kami berjalan melewati gang rumah-rumah penduduk. Saat itu pukul 15.00. Semakin lama, jalanan berubah menjadi tangga semen. Selepas tangga di antara rumah penduduk, jalanan berganti dengan batuan yang disusun mengitari bukit. Setengah jam kemudian kami  mencapai menara pemancar. Oiya, meskipun jalur Gunung Prau relatif mudah dan aman, tetapi terdapat banyak jalan setapak yang dibuat para petani kentang di antara ladangnya seingga menimbulkan banyak cabang yang bisa menyesatkan pendaki.
Garis sinar matahari
Tangga akar
Arrrgh, bayangkan seandainya halaman belakang Anda pemandangannya seperti ini
Dekat Pos II, terdapat jalur yang dipenuhi akar-akar pohon yang mencuat membentuk pilinan anak tangga. Dari bibir jurang nampak di kejauhan kompleks candi Arjuna, Telaga Pengilon, dan Telaga Warna. Sesekali awan mendung tersibak meloloskan beberapa garis sinar matahari yang jingga sempurna. Dramatis! Namun kami harus bergegas sampai puncak sebelum gelap agar bisa menikmati sunset di atas sana.
Bunga Lonte Sore
jalan setapak di antara kepungan bunga lonte sore
Di antara Pos III dan IV, gerimis mulai turun membuat jalur menjadi licin. Pemandangan dari sini makin spektakuler. Kita bisa melihat seluruh Dieng. Selepas Pos IV, bunga daisy bertebaran dimana-mana. Menutup sebagian besar perbukitan di sana dan dengan “teganya” hanya menyisakan jalan setapak yang “bebas” bunga daisy. Beware, Indonesia is dangerously beautiful. Sebenarnya nama bunga tersebut bukan daisy, nama lokalnya adalah bunga lonte sore. Mungkin ini karena efek drama korea yang sering menampilkan setingan tempat yang banyak bunga daisynya yang kebetulan mirip dengan bunga lonte sore.

Couple: Sumbing dan Sindoro
Selepas pos IV, tampak puncak gunung Prau yang membentang luas. Cukup untuk seratusan tenda sepertinya. Saat itu pukul 18.00, dan saya bergegas ke arah barat untuk mengejar sunset yang tersisa. Di ujung barat, saya terperangah dengan Sindoro yang hitam, gelap, dan besar. Di belakang punggung Sindoro ada Sumbing mengawasi.  Agak selatan ada sejoli Merapi dan Merbabu. Lawu tampak minoritas di kejauhan. Ia bukan penguasa di sini, masih kalah pamor dibanding Sindoro. Slamet sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah malah tak terlihat karena ada di sisi barat puncak yang satunya. Sedangkan Gunung Ungaran tak tak bisa saya bedakan di antara beberapa bukit yang mengepung Banjarnegara dan Wonosobo, tempat ribuan lampu penduduk berasal, bagai kunang-kunang yang berasosiasi dengan bintang senja yang mulai bermunculan di atas langit.

Hargo Dumilah Lawu, tampak kecil
Saya merinding bukan hanya karena angin dingin yang menusuk tulang, tapi juga merinding karena takjub dengan lukisan agung sang Pencipta. Saya hirup dalam-dalam udaranya memenuhi alveoli, saya lepas jaket agar epidermis kulit meraba dengan leluasa, saya buka lebar-lebar mata, demi retina yang segera mengomando sinap-sinap otak agar segera menyimpannya. Ah, matur nuwun Gusti Alloh.

Rombongan kami membuat api unggun di tengah-tengah 5 tenda yang berdiri. Sejatinya, saya benci dengan konsep menyalakan api unggun di atas Gunung. Apalagi kalau kayunya didapat dengan menebang batang pohon yang masih hidup.
Api Unggun
lebih baik kedinginan daripada merusak kesuburan tanah 
Malam itu kami punya banyak tetangga. Tenda-tenda rombongan lain berdiri dimana-mana. Sayangnya, banyak diantara mereka yang masih belum tahu bahwa naik gunung tak boleh meninggalkan sampah apapun. Harus dibawa turun lagi! Beberapa di antara mereka juga teriak-teriak tak jelas membuat puncak gunung gaduh layaknya pasar. Seharusnya regulasi terhadap tempat wisata gunung seperti itu lebih tegas seperti di TNBTS. Ketika turun wajib lapor beserta sampahnya dilaporkan juga.

sampah yang berserakan di puncak
Selepas makan malam di bawah taburan bintang dan ditemani hangatnya api unggun, kami setenda berempat berlindung di balik sleeping bag yang hangat. “Semoga besok pagi sunrise nya secantik sunset tadi” ucap saya sebagai penutup doa sebelum tidur.

Pagi berkabut di Puncak Prau, 2565 mdpal
Tengah malam saya terbangun karena suara rintik hujan nyaring memukul permukaan tenda. Ternyata sampai pagi menjelang, hujan tak juga berhenti. Tentu saja kami tak mau berbasah-basah di tengah udara dingin seperti ini sehingga kami tak juga beranjak dari sleeping bag sampai hujan agak reda. Setelah reda, kabut yang tebal mengepung jarak pandang dan memupuskan keinginan saya untuk mendapatkan sunrise. Hmm, jadilah foto kami banyakan background nya berwarna putih kabut.

Diantara rumput-rumput Bukit Teletabis
Selepas sarapan, kami turun via jalur Dieng. Pemandangan bukit-bukit teletabis yang tertutupi bunga lonte sore mengobati dengan cepat rasa kecewa kami. Tidak seperti yang diharapkan memang, tapi, indahnya perjalanan melalui Petungkriyono dan sunset puncak Gunung Prau, adalah pengalaman yang tak ternilai.
tulisan kece di raincover nya Mas Aji
Frankly Speaking, I’d like to say thanks to (udah mirip skripsi aja pakai sesi ucapan terimakasih segala, biarin ah, hehe):
  •           Alloh SWT for giving me chance, time, money, and willingness to witness your magnificent scenery.
  •           All of PPGP team, Mas Purwo, Mas Aji, Mas Slamet, and so on. Of course, the honorable head of district of Petungkriyono, Mr. Agus Purwanto.
  •           Danoyo and Feri, for accompanying me to this incredible trip.
  •           Ardiyanta, because idea of hiking this mountain came after his suggestion. 



To move, to breathe, to fly, to float
To gain all while you give
To roam the roads of land remote
To travel is to live

Hans Christian Andersen




2 comments:

  1. asik dimention... haha...

    aku malah baru ntar tgl 25 baru mo kesono mas...

    ceritanya ga dpt sunrise nih? ga nyesel tapi kan...

    eh mas, aku pengen nang gede sekaligus pangrango ki. Ayok yok kapan2 kita rencanakan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. tanggal 25 desember besok? semoga lancar Ta. sy ke rinjani dulu sama Izhar tgl tsb.

      nggak nyesel kok, toh matahari yang kita lihat di gunung adalah matahari yang sama dengan yang kita lihat sehari-hari kan. Masih ada 364 hari lainnya. :) (alesan, asline yo syeedih, haha)

      GePang? ayo, atur saja. :D

      Delete