Mendadak melow kalau lihat pemandangan seperti ini |
Apakah para dewa masih
mau bersemayam di bukit kentang seperti ini?
“Serius nih sudah
sampai?” Tanya saya kepada teman sebelah ketika elf kami memasuki parkiran bis
di depan Telogo Warna.
***
Dieng adalah impian
masa kecil saya. Dataran tinggi yang begitu populer di seantero dunia, tempat Desa Sembungan yang merupakan desa
tertinggi di tanah Jawa, tempat kompleks candi Arjuna dengan latar belakang
bukit-bukit hijau berkabut, tempat golden maupun silver sunrise terbaik yang
banyak dipakai sebagai cover kalender, serta teater live atas berbagai atraksi
alam lainnya.
Keinginan ke Dieng
semakin menggebu setelah saya mulai backpackingan saat kuliah. Berkali-kali
rencana backpacking ke Dieng saya susun bersama teman-teman, berkali-kali pula
kami gagal berangkat ke sana karena berbagai hal. Hal tersebut tak lantas
menyurutkan keinginan saya, tapi malah membuat saya makin semangat mencari
kesempatan untuk ke sana. Sekalinya keturutan, dalam seminggu, dua kali saya
main ke Dieng. Ahaaay!
***
Jumat, 25 Oktober 2013
Kami berangkat ke
Kendal ber-15 untuk nikahan teman baik kami dengan carter sebuah Elf. Saya
mati-matian membujuk teman yang lain agar pulangnya nanti mampir ke Dieng
mengingat lokasinya (di peta) kan sudah dekat dari Kendal (daripada dari
Jakarta kan ya, hihi).
Setelah dua belas jam
perjalanan darat yang melelahkan ke Kendal dan kenyang makan di nikahan teman,
akhirnya mulailah perjalanan ke Dieng via Weleri > Temanggung > Wonosobo
> Dieng Banjarnegara.
Jalanannya
berkelok-kelok dan bergelombang di sana sini. Saya sengaja tidak tidur
sepanjang perjalanan sebab berdebar-debar (haha, lebay) akan segera bertemu
dengan destinasi impian. Bayangan tentang gambar-gambar yang sering diputar di
channel National Geographic berkelebat cepat dalam angan saya. Swiss, Selandia
Baru, Nepal, aaargh, pasti lebih bagus dari itu. Bukit-bukit yang hijau
menemani perjalanan sedari Temanggung sampai Wonosobo membuat saya berpikir
bahwa Dieng pasti jauh lebih cantik.
***
Saya terperanjat ketika
mendapati banyak tulisan Tieng di berbagai papan nama pinggir jalan. Lho, kok
rame dan semrawut begini Diengnya? Mungkin Tieng memang bukan di Dieng. Sampai
ketika elf kami merapat ke kanan jalan dan berhenti di Gardu Pandang Tieng,
saya terhenyak. Yaampun, apa yang terjadi pada tempat ini?
Alih-alih mendapati
bukit teletabis ataupun tebing-tebing yang hijau, gerombolan pohon saja sudah
jarang ditemukan. Dari Gardu Pandang Tieng, lembah yang ada di bawah adalah
hamparan rumah penduduk dan kebun sayuran dimana-mana. Saya jadi enggan
memotretnya, apalagi kabut hampir selalu menyelimuti dataran tinggi tersebut sehingga
sulit mendapat gambar berkualitas dari kamera digital biasa. Saya menghibur
diri dengan berpikir bahwa selain Gardu Pandang masih ada objek lainnya yang
keadaannya jauh lebih baik.
pemandangan dari Gardu Pandang |
Peta Wisata Dieng di Pintu masuk Telaga Warna |
Destinasi kedua adalah
kompleks telaga warna dan telaga pengilon. Harga tiket di pintu masuk adalah Rp
20.000, cukup mahal bagi kantong backpacker. Masuk Telaga Warna masih harus
bayar Rp 2.000 lagi. Masuk Candi Rp 10.000 lagi. Duh…
Telaga Warna Abu-abu |
dari tepian jalan setapak Telaga Warna |
Ilalang Telaga Pengilon yang artinya cermin |
Telaga Pengilon, sumber pengairan kebun-kebun kentang |
Kedua Telaga tepat bersebelahan |
Hijaunya Telaga Warna |
Gradasi Abu-abu, Hijau Toska, dan Biru |
Bunga ini banyak tumbuh di Dieng |
Pesanggrahan Bumi Pertulo di Tepian Telaga |
Ranu Kumbolo ya? |
-No Comment- |
Satu hal yang
mengganggu adalah banyaknya pipa paralon putih dan pompa air yang digunakan
petani sayuran untuk mengalirkan air dari telaga pengilon ke kebun mereka, tapi
masih bisa ditolerir sih karena mereka meletakkan pipa tersebut di tempat yang
agak tersembunyi.
Selepas dari kompleks
Telogo, saya mencicipi kuliner khas Dieng yaitu mi ongklok dan sate kelinci.
Saat makan saya pikir kok mi ini rasanya hambar betul, ternyata harusnya memang
dicampur dengan kecap dan cabe dieng biar mantep. Ohhh, namanya juga laper.
Hehe
Pine Tree, The Lake, You, and Me *ngayal* |
Sejujurnya saya agak
kecewa dengan kenyataan bahwa Dieng tidak sesuai dengan harapan. Dalam angan
saya, Dieng adalah perbukitan yang dipenuhi pinus berkabut saking dinginnya, awan
biru, dan desa yang tertata rapi seperti di New Zealand tempat shooting Lord of
The Ring. Memang sih, di beberapa titik masih ada yang seperti itu, tapi itu
tidak banyak, kebanyakan perbukitan telah gundul dengan tanaman kentang. Motif
ekonomi telah menjadikan atap pulau Jawa ini dipenuhi dolar yang ditanam dalam
tanah. Jika sudah begini, Dieng yang berasal dari kata Di Hyang yang artinya
Tempat bersemayamnya para dewa, mungkin sudah kehilangan mistisnya dan
ditinggalkan oleh para dewa. Mana mau dewa bersemayam di kebun kentang?
Namun, ada negative,
pasti ada banyak positifnya juga. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan
keindahan alam, Dieng akan seterkenal itu. Banyak faktor yang membuat Dieng
jadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara. Pertama, Aksesbilitas Dieng
yang sangat mudah. Kita bisa mencapai Dieng dari berbagai kota di sekitarnya
meskipun letaknya di tengah-tengah dataran tinggi. Bis Jakarta-Wonosobo rutin
setiap hari dan sewa motor ada di banyak tempat. Kedua, banyaknya penginapan
dari yang murah sampai mahal, mampu menjangkau dari kelas backpacker sampai
eksmud. Ketiga, publikasi dan promosi yang terus gencar di berbagai media
(termasuk socmed yang tengah digandrungi para backpacker muda). Keempat,
banyaknya perusahaan tur wisata yang membuat berbagai paket sehingga bepergian
ke Dieng jadi sangat mudah. Kelima, Dieng punya kultur, budaya, dan souvenir
yang khas. Dan hal itu terus dikembangkan melalui koperasi desa, UKM, maupun
swasta. Sehingga Dieng tetap memiliki keunikan yang terus berkembang mengikuti
pasar.
Di Kompleks Candi Arjuno, usai mendaki Gunung Prau |
Komoditi Unggulan Dieng, Carica |
Candi Dwarawati |
No comments:
Post a Comment