Thursday 5 December 2013

Dieng, Masihkah Sama Dengan Di Hyang?

Mendadak melow kalau lihat pemandangan seperti ini

Apakah para dewa masih mau bersemayam di bukit kentang seperti ini?

“Serius nih sudah sampai?” Tanya saya kepada teman sebelah ketika elf kami memasuki parkiran bis di depan Telogo Warna.

*** 
Dieng adalah impian masa kecil saya. Dataran tinggi yang begitu populer di seantero dunia,  tempat Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di tanah Jawa, tempat kompleks candi Arjuna dengan latar belakang bukit-bukit hijau berkabut, tempat golden maupun silver sunrise terbaik yang banyak dipakai sebagai cover kalender, serta teater live atas berbagai atraksi alam lainnya.

Keinginan ke Dieng semakin menggebu setelah saya mulai backpackingan saat kuliah. Berkali-kali rencana backpacking ke Dieng saya susun bersama teman-teman, berkali-kali pula kami gagal berangkat ke sana karena berbagai hal. Hal tersebut tak lantas menyurutkan keinginan saya, tapi malah membuat saya makin semangat mencari kesempatan untuk ke sana. Sekalinya keturutan, dalam seminggu, dua kali saya main ke Dieng. Ahaaay!

***
Jumat, 25 Oktober 2013

Kami berangkat ke Kendal ber-15 untuk nikahan teman baik kami dengan carter sebuah Elf. Saya mati-matian membujuk teman yang lain agar pulangnya nanti mampir ke Dieng mengingat lokasinya (di peta) kan sudah dekat dari Kendal (daripada dari Jakarta kan ya, hihi).

Setelah dua belas jam perjalanan darat yang melelahkan ke Kendal dan kenyang makan di nikahan teman, akhirnya mulailah perjalanan ke Dieng via Weleri > Temanggung > Wonosobo > Dieng Banjarnegara.

Jalanannya berkelok-kelok dan bergelombang di sana sini. Saya sengaja tidak tidur sepanjang perjalanan sebab berdebar-debar (haha, lebay) akan segera bertemu dengan destinasi impian. Bayangan tentang gambar-gambar yang sering diputar di channel National Geographic berkelebat cepat dalam angan saya. Swiss, Selandia Baru, Nepal, aaargh, pasti lebih bagus dari itu. Bukit-bukit yang hijau menemani perjalanan sedari Temanggung sampai Wonosobo membuat saya berpikir bahwa Dieng pasti jauh lebih cantik.

***
Saya terperanjat ketika mendapati banyak tulisan Tieng di berbagai papan nama pinggir jalan. Lho, kok rame dan semrawut begini Diengnya? Mungkin Tieng memang bukan di Dieng. Sampai ketika elf kami merapat ke kanan jalan dan berhenti di Gardu Pandang Tieng, saya terhenyak. Yaampun, apa yang terjadi pada tempat ini?

Alih-alih mendapati bukit teletabis ataupun tebing-tebing yang hijau, gerombolan pohon saja sudah jarang ditemukan. Dari Gardu Pandang Tieng, lembah yang ada di bawah adalah hamparan rumah penduduk dan kebun sayuran dimana-mana. Saya jadi enggan memotretnya, apalagi kabut hampir selalu menyelimuti dataran tinggi tersebut sehingga sulit mendapat gambar berkualitas dari kamera digital biasa. Saya menghibur diri dengan berpikir bahwa selain Gardu Pandang masih ada objek lainnya yang keadaannya jauh lebih baik.



pemandangan dari Gardu Pandang

Peta Wisata Dieng di Pintu masuk Telaga Warna


Destinasi kedua adalah kompleks telaga warna dan telaga pengilon. Harga tiket di pintu masuk adalah Rp 20.000, cukup mahal bagi kantong backpacker. Masuk Telaga Warna masih harus bayar Rp 2.000 lagi. Masuk Candi Rp 10.000 lagi. Duh…



Telaga Warna Abu-abu

dari tepian jalan setapak Telaga Warna
Kalau Telaga Warna sih masih luar biasa cantiknya. Gradasi putih, biru, dan hijau adalah akrobat yang tak bosan-bosannya untuk dikagumi. Apalagi letaknya yang berdampingan dengan Telaga Pengilon yang coklat membuatnya nampak sangat kontras saat dipandang dari ketinggian. Angin semilir yang sejuk mempermainkan rerumputan dan menciptakan riak-riak telaga yang seolah menyanyikan sebuah melodi. Saya mengitari kedua telaga tersebut dan pemandangan di beberapa titik mengingatkan saya akan keindahan Ranu Kumbolo di Semeru.
Ilalang Telaga Pengilon yang artinya cermin

Telaga Pengilon, sumber pengairan kebun-kebun kentang

Kedua Telaga tepat bersebelahan

Hijaunya Telaga Warna

Gradasi Abu-abu, Hijau Toska, dan Biru

Bunga ini banyak tumbuh di Dieng

Pesanggrahan Bumi Pertulo di Tepian Telaga

Ranu Kumbolo ya?

-No Comment-


Satu hal yang mengganggu adalah banyaknya pipa paralon putih dan pompa air yang digunakan petani sayuran untuk mengalirkan air dari telaga pengilon ke kebun mereka, tapi masih bisa ditolerir sih karena mereka meletakkan pipa tersebut di tempat yang agak tersembunyi.

Selepas dari kompleks Telogo, saya mencicipi kuliner khas Dieng yaitu mi ongklok dan sate kelinci. Saat makan saya pikir kok mi ini rasanya hambar betul, ternyata harusnya memang dicampur dengan kecap dan cabe dieng biar mantep. Ohhh, namanya juga laper. Hehe


Pine Tree, The Lake, You, and Me
*ngayal*

Sejujurnya saya agak kecewa dengan kenyataan bahwa Dieng tidak sesuai dengan harapan. Dalam angan saya, Dieng adalah perbukitan yang dipenuhi pinus berkabut saking dinginnya, awan biru, dan desa yang tertata rapi seperti di New Zealand tempat shooting Lord of The Ring. Memang sih, di beberapa titik masih ada yang seperti itu, tapi itu tidak banyak, kebanyakan perbukitan telah gundul dengan tanaman kentang. Motif ekonomi telah menjadikan atap pulau Jawa ini dipenuhi dolar yang ditanam dalam tanah. Jika sudah begini, Dieng yang berasal dari kata Di Hyang yang artinya Tempat bersemayamnya para dewa, mungkin sudah kehilangan mistisnya dan ditinggalkan oleh para dewa. Mana mau dewa bersemayam di kebun kentang?

Namun, ada negative, pasti ada banyak positifnya juga. Tidak mungkin jika hanya mengandalkan keindahan alam, Dieng akan seterkenal itu. Banyak faktor yang membuat Dieng jadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara. Pertama, Aksesbilitas Dieng yang sangat mudah. Kita bisa mencapai Dieng dari berbagai kota di sekitarnya meskipun letaknya di tengah-tengah dataran tinggi. Bis Jakarta-Wonosobo rutin setiap hari dan sewa motor ada di banyak tempat. Kedua, banyaknya penginapan dari yang murah sampai mahal, mampu menjangkau dari kelas backpacker sampai eksmud. Ketiga, publikasi dan promosi yang terus gencar di berbagai media (termasuk socmed yang tengah digandrungi para backpacker muda). Keempat, banyaknya perusahaan tur wisata yang membuat berbagai paket sehingga bepergian ke Dieng jadi sangat mudah. Kelima, Dieng punya kultur, budaya, dan souvenir yang khas. Dan hal itu terus dikembangkan melalui koperasi desa, UKM, maupun swasta. Sehingga Dieng tetap memiliki keunikan yang terus berkembang mengikuti pasar.



Di Kompleks Candi Arjuno, usai mendaki Gunung Prau

Komoditi Unggulan Dieng, Carica
Seminggu kemudian Saya berkesempatan mengunjungi (Gunung Prau, Candi Dwarawati, dan Kompleks Candi Arjuna) Dieng lagi. Saat itu saya menurunkan ekspektasi saya yang mungkin berlebihan terhadap Dieng seperti minggu lalu. Dan, sejujurnya, Dieng memang tetap indah, terlepas dari pendapat pribadi saya yang kecewa atas komersialisasi berlebihan terhadap bukit-bukit di sana yang telah disulap menjadi kebun kentang.
Candi Dwarawati

No comments:

Post a Comment