Thursday, 30 April 2015

Bandar Lampung, Gerbang Sumatera Yang Elok

Sudah lama saya ingin menginjakkan kaki di Sumatera dan tempat-tempat lain di Nusantara yang belum saya kunjungi. Rasanya menyenangkan membayangkan berjumpa tempat baru, terpisah lautan, dengan penduduk dan kultur baru.

Singkat cerita, akhir tahun 2014 kemarin saya ditugaskan oleh kantor ke Bandar Lampung. Girang hati ini menyambut tanggal keberangkatan. Tiap ada kesempatan, saya buka internet mencoba mengumpulkan keterangan tentang tempat-tempat menarik yang harus dikunjungi di sana. Menara Siger, Patung Gajah, Way Kambas, Pantai Kelumbayan, Teluk Kiluan, dan Pahawang ada dalam dream destination saya saat itu. Yakali perginya sebulan... Padahal cuma 2 hari.

Menjelang keberangkatan, saya putuskan untuk naik pesawat ketika berangkat, dan pulang naik Royal Damri agar pengalaman darat, laut, udara bisa didapatkan sekali perjalanan. Harga tiket Garuda Jakarta - Lampung yang hanya berjarak 165 km ternyata lebih mahal lho saat itu daripada harga tiket di hari yang sama rute Jakarta – Surabaya yang jaraknya mencapai 784 km.

Pesawat kami mendarat di Bandara Internasional Radin Inten II Lampung setelah mengudara tak lebih dari 40 menit. Bagusnya, mendarat di Bandara kecil, kita tak perlu antri masuk landasan pacu seperti di Soetta atau Juanda.

Keluar Bandara, untuk menuju Kota Bandar Lampung, harus berkendara sejauh 14 km ke selatan. Jalanan di sana naik turun dan bergelombang akibat banyaknya truk dan kendaraan berat dari Jawa yang semuanya pasti melewati jalan yang sama apabila hendak ke kota-kota lain di Sumatera. Memasuki kota di siang hari, semilir angin laut yang panas berhembus dari Teluk Lampung ke Utara dan sebaliknya, apabila malam hari angin berhembus dari perbukitan dan gunung kunyit ke selatan. Persis teori di pelajaran IPA kelas 4 SD dulu ya.

Kota Bandar Lampung nampaknya tak kalah padat dengan kota besar di Jawa saat rush hour. Saat itu saya mengunjungi stasiun kereta api Tanjung Karang (eh, ternyata ada kereta penumpang lho yang menghubungkan jalur Bandar Lampung ke Palembang dengan waktu tempuh 8 jam) di saat jam makan siang. Macet, persis seperti Jakarta! Kota ini juga dipenuhi berbagai patung/monumen di setiap perempatan. Ada banyak sekali tempat berfoto di tengah jalan Kota Lampung. Kebanyakan menonjolkan Ornamen Gajah dan Siger.

Siger (Lampungsigoʁ, sigokh) adalah mahkota pengantin wanita Lampung yang berbentuk segitiga, berwarna emas dan biasanya memiliki cabang atau lekuk berjumlah sembilan atau tujuh. Siger adalah benda yang sangat umum diLampung dan merupakan simbol khas daerah ini. Siger dibuat dari lempengan tembaga, kuningan, atau logam lain yang dicat dengan warna emas. Siger biasanya digunakan oleh pengantin perempuan suku Lampung pada acara pernikahan ataupun acara adat budaya lainnya.Pada zaman dahulu, siger dibuat dari emas asli dan dipakai oleh wanita Lampung tidak hanya sebagai mahkota pengantin, melainkan sebagai benda perhiasan yang dipakai sehari-hari.
Siger merupakan simbol khas Provinsi Lampung. Siger yang menjadi lambang Lampung saat ini merupakan simbolisasi sifat feminin. Pada umumnya, lambang daerah di Nusantara bersifat maskulin. Seperti di Jawa Barat, lambang yang dipergunakan adalah Kujang, yaitu senjata tradisional masyarakat Sunda. Contoh lain adalah Kalimantan dengan Mandaunya dan Aceh dengan Rencongnya.
Simbol-simbol pada daerah melambangkan sifat-sifat patriotik dan defensif terhadap ketahanan wilayahnya. Saat ini penggunaan lambang siger bukan hanya masalah lambang kejayaan dan kekayaan karena bentuk mahkotanya saja, melainkan juga mengangkat nilai feminisme. Siger mengambil konsep dari agama Islam. Islam sendiri adalah agama yang dianut seluruh Suku Lampung asli. Agama Islammenyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan perempuan sebagai manajer yang mengatur segala sesuatunya dalam rumah tangga. Konsep itulah yang saat ini diterapkan dalam simbolisasi Siger. Bagi Masyarakat Lampung, Perempuan sangat berperan dalam segala kegiatan, khususnya dalam kegiatan rumah tangga. Di balik kelembutan perempuan, ada kerja keras, ada kemandirian, ada kegigihan, dan lain sebagainya. Meskipun masyarakat Lampung sendiri penganut garis ayah atau patrilineal. Figur perempuan merupakan hal penting bagi masyarakat Lampung, yang sekaligus menjadi inspirasi dan pendorong kemajuan pasangan hidupnya. (Wikipedia)
Kota Bandar Lampung memiliki kontur berbukit-bukit, persis seperti Malang dalam banyak hal kecuali udaranya yang relatif panas. Tanjakan atau turunannya bahkan lebih ekstrim. Mungkin hal ini disebabkan karena Bandar Lampung adalah akhir dari Bukit Barisan yang bertemu langsung dengan Selat Sunda, gunung ketemu laut. Akibatnya, semua bangunan di kota ini harus menyesuaikan dengan keadaan tersebut. Ada masjid yang di atas bukit, rumah dinas dan kantor pemerintahan di atas bukit, kafe yang bertingkat-tingkat karena berada di lereng bukit, hotel yang naik turun antara loby dan kamar-kamarnya, dan sebagainya. Efek menakjubkan lainnya, banyak titik tempat kita bisa melihat kumpulan lampu seperti bukit bintang. Kota ini juga sedang gemar memasang lampu warna-warni di atas jalanan dan persimpangan seperti ketika ada perayaan hari kemerdekaan. What a romantic city.
Foodcourt di depan Masjid Agung Lampung
Tempat Wisata
Persis seperti gambaran orang-orang di internet, Bandar Lampung adalah lokasi wisata sekaligus gerbang untuk menuju surga wisata lainnya di selatan sumatera.

Pantai Pasir Putih
Pantai ini banyak menuai kekecewaan dari para traveller yang datang dari Jawa dan melewati pantai ini dari pelabuhan Bakauheni lantas memutuskan turun dari Bis Damri untuk mengunjungi pantai ini.

Ikon dan Ikan di Pantai Pasir Putih. Only for 17+
Pantai ini terkikis abrasi yang parah sehingga harus dibeton di sana-sini. Jadilah definisi “pantai” yang sebenarnya, tidak bisa kita jumpai di sini. Pantai ini telah dibuat seartifisial mungkin dengan warung-warung, patung putri duyung yang telanjang dada, dan arena outbond. Jauh dari kata indah, tetapi saya rasa, tak ada salahnya mengunjungi pantai tua yang pernah berjaya di masa lampau ini. Saya membayangkan pantai ini dulu pantai yang cantik dan ramai oleh pengunjung kota dengan perahu-perahu yang berjajar siap mengantarkan ke banyak pulau di teluk Lampung.   

Pantai yang terletak di Jalan Trans Sumatera, Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan berjarak 20 km dari pusat kota. Yang patut diwaspadai adalah, di sepanjang jalan, Anda harus berbagi jalan dengan bis dan truk-truk besar yang relatif ramai.

Pantai Mutun
Pantai ini terletak di Sukajawa Lempasing, Bandar Lampung dan berjarak sekitar 19 km dari pusat kota. Untuk ke sana dari kota Bandar Lampung, Anda bisa berpatokan pada google maps atau nokia maps. Ketika di sana, sinyal internet lumayan kencang untuk menghidupkan navigasi.
Rute dari Bandar Lampung ke Pantai Mutun

Pekuburan di Bukit
Welcome, Travelers
Melintasi jalanan naik turun dari Kota Bandar Lampung, pantai segera terlihat di penghujung jalan. Namun, bukan itu pantai Mutun yang kita maksud. Setidaknya ada 4 pintu masuk Pantai lainnya sebelum Pantai Mutun di sepanjang jalan RE Martadinata. Jika punya waktu cukup, Anda bisa mencoba masuk satu per satu. FYI, setiap gerbang pantai tersebut selalu ada petugas retribusi (tiket masuk) yang harganya kira-kira Rp 5.000,00.

Sebelum masuk Pantai Mutun, ada gapura “Selamat Datang di Kawasan Wisata Pesawaran” dan tak jauh dari gapura tersebut, terdapat pemakaman China yang bertumpuk-tumpuk di atas bukit. Bagi anak kota macam saya, hal tersebut sudah bisa menjadi objek foto yang menarik.

Pantai Mutun
Heavenly Beverages
Private Boat to Tangkil Island
IDR 50.000
Saat itu saya datang sore hari saat weekday, jadi suasana nya agak sepi. Perahu-perahu tertambat rapi menunggu pelancong yang hendak menyeberang ke Pulau Tangkil. Pasirnya lembut, dan garis pantainya panjang. Di seberang Teluk Lampung ada Pantai Pasir Putih yang ternyata di sekitarnya adalah daerah industri yang lebih ramai dengan cerobong asap. Di Pantai ini berjajar gubuk-gubuk untuk beristirahat lengkap dengan warung dan fasilitas lainnya seperti mushola dan toilet. Biaya parkir di sini Rp 5.000,00.

Pulau Tangkil
Terletak sepelemparan batu dari pantai Mutun, Pulau ini adalah satu paket yang harus dikunjungi. Di pulau yang cukup kecil ini, tersedia fasilitas yang cukup lengkap seperti banana boat, speed boat, parasailing, menyelam, kano, fliying fish, dan slaloom. Terletak di tengah Teluk Lampung, Pulau ini cukup berisik dengan lalu lalang kapal besar yang melakukan bongkar muat ke pabrik-pabrik di Lampung Selatan. Namun pantainya lumayan bersih mengingat jumlah pengunjungnya yang relative banyak. Pasirnya putih bedak dengan tulisan “T A N G K I L” yang cukup besar sebagai ikonnya.
Ready to canoing?
Sisi selatan Tangkil
"T A N G K I L"
Boleh dipilih! Water Sport @ Tangkil
Pecinan Teluk Betung
Terletak di sisi selatan Kota Bandar Lampung, daerah Teluk Betung adalah pusat peradaban Bandar Lampung tempo dulu. Seperti halnya pecinan lainnya di Indonesia, ornament merah menghiasi berbagai sudut kota. Tetapi, alih-alih tertarik dengan Vihara Thay Hin Bio, saya lebih memilih mengunjungi toko china di sampingnya. Sama-sama pecinan khan… Yup toko oleh-oleh Yen Yen yang terkenal se Indonesia. Berbagai olahan pisang adalah oleh-oleh andalan khas toko ini dan akhirnya, khas Lampung juga.
Di sampingnya persis ada Yen Yen :D
Tugu Gajah
Siapa yang tak kenal Way Kambas? Traveler negeri seberang pun bahkan sudah banyak yang mengunjungi pusat rehabilitasi dan penangkaran gajah sumatera yang saat ini statusnya sudah endangered animal. Sisa 1.700 ekor cuy di muka bumi ini. Maka dari itu, ‘sekolah’ gajah ini sangat terkenal di dunia. Karena waktu yang sangat singkat dan lokasi Way Kambas yang cukup jauh dari kota, maka saya tak sempat mengunjunginya. Tetapi kawan sekaligus guide saya menghibur dengan mengajak ke Tugu Gajah di pusat kota yang katanya “Belum ke Lampung kalau belum foto di sini Fren…”. Lumayan lah.

Landmark, "Belum ke Lampung kalau belum foto di sini..."
Pulang dari Lampung, saya memilih Royal Damri yang berangkat pukul 22.00 dan jadwal tiba di Stasiun Gambir pukul 06.00. Tepat tengah malam saya tiba di Pelabuhan Bakauheni. Dari atas kapal, Menara Siger perlahan-lahan mengecil seolah sebuah tangan yang melambaikan tangan tanda ucapan “selamat jalan, sampai jumpa lain kali”