Friday 30 May 2014

Pendakian Gunung Gede (sekaligus) Pangrango Bagian 2: Puncak Pangrango

Puncak Pangrango dari Puncak Gede
been there, alhamdulillah
Setelah menyelesaikan simaksi jalur Cibodas, kami bergegas memulai mengayunkan langkah langkah sampai 7 km ke depan menuju Kandang Badak. Pukul 10.30 kami mulai berjalan. Rombongan ini terdiri atas empat orang. Saya, Zein, Dans, dan Mas Alam. Kesemuanya teman sekantor. Khusus Zein, dia baru pertama kali naik gunung. Mari kita lihat bersama kelak, apakah selanjutnya dia tertular virus “rindu ketinggian” atau tidak.

Pos pertama yang kami jumpai setelah tiga puluh menit perjalanan adalah telaga biru yang saat itu warnanya hijau. Jalannya sedari awal sudah berupa tangga berbatu. Entah kenapa, saya malah kurang suka dengan trek yang rapi seperti ini. Terasa lebih vertikal, kasihan kaki ini pas turun nanti.

Jembatan Rawa Gayonggong
Beberapa saat kemudian, kami sampai di Rawa Gayonggong. Sebuah wilayah becek yang untungnya sudah dibuatkan jembatan beton panjang dan cantik. Saya jadi paham kenapa di papan informasi di Balai Besar tadi disebutkan kalau TNGGP adalah Taman Nasional terbaik di Indonesia. Kalau dari segi fasilitas, saya mengamini. Tapi kalau dari segi lainnya, hmmm, nanti dulu.
team Jomblo-Jomblo-Jomblo-Jomblo #eh
Sejam sudah kita berjalan dan kita sudah sampai di pertigaan air terjun Cibereum. Pengunjung umum hanya boleh mendaki sampai pertigaan ini untuk kemudian berbelok ke kanan menuju air terjun. Asyik, berarti muda-mudi pacaran, dan remaja-remaja haha hihi nggak akan sering-sering ditemui lagi setelah ini.

Setelah pertigaan, jalurnya cukup menanjak selama 140 menit sampai Kandang Batu. Di kandang batu terdapat shelter dan sungai yang deras. Tempat yang cukup ideal untuk istirahat. Kami pun sejenak break untuk sholat Dzuhur dan makan siang nasi bungkus yang dibeli dari Cibodas.

Selepas Kandang Batu, kami mendapati papan peringatan bahwa kami akan melewati air panas. Sandal saya ganti sepatu saking takutnya dengan tulisan-tulisan di blog orang yang katanya airnya benar-benar panas. Nyatanya? Ya memang panas, tapi ngga sampai mendidih kok (Baliknya saya turun pakai sandal). Sejauh ini, rute air panas adalah favorit saya sepanjang pendakian Gede Pangrango. Air terjun dan sungai yang mengepul, batuan yang licin, dan jurang di samping kanan sungguh mendebarkan. Oiya, di sini jalurnya agak macet, karena kami jalannya pelan-pelan. Beberapa ada yang sengaja berhenti di tengah-tengah untuk foto selfie dulu dengan begron air terjun panas.
selfie di air panas
kayak gini nih yang bikin macet
Terjun ke jurang langsung tuh, ngeri-ngeri sedap
Dari air panas ke kandang badak memakan waktu sekitar 60 menit melewati aliran sungai yang agak keputih-putihan karena bercampur belerang. Hati-hati, air di aliran sungai ini tidak bisa diminum ya. Ke atas lagi, kami bertemu dengan air terjun kecil bernama Pancaweleuh. Di sini saya berpapasan dengan banyak pendaki yang turun. Banyak dari mereka mengatakan kalau lahan untuk camp di kandang badak sudah hampir penuh, lebih baik kembali saja ke kandang batu. Haseem. Bukannya berbalik, saya malah mempercepat langkah dan mulai sprint meninggalkan rombongan untuk segera mengecek dan menge-tag tempat untuk mendirikan tenda. Alhamdulillah, dapat juga. Saat itu pukul 16.00.
air terjun Pancaweleuh
Segera setelah tenda berdiri, saya bersama Dans mengemas tas kecil untuk tempat minum, headlamp, kamera, jas hujan, P3K, dan makanan ringan. Kami lanjutkan mendaki Gunung Pangrango.

Kami bertemu dengan seseorang yang juga ingin ‘tektok’ naik Pangrango. Katanya sedari siang ia menunggu barengan untuk naik tapi ngga ketemu juga. Jadilah kami bertiga mulai naik dari Kandang Badak pukul 16.30. Saat itu saya berpesan sambil bercanda sama dua teman yang tinggal di Kandang Badak agar mulai mencari kalau jam 10 malam kami belum kembali.
Puncak Gede, dilihat dari jalur Pangrango
Kami bertiga rupanya punya visi yang sama, “nggak ingin kemalaman di jalan”. Jadilah kami, yang sama-sama belum pernah tahu medan yang akan kami hadapi, dengan semangatnya, sprint di sepanjang jalur. Sepertinya lebih jarang yang naik Pangrango, sebab, jalurnya masih sangat rimbun dan banyak pohon tumbang di tengah jalan. Sejam dua jam terus menanjak tiada habisnya. Gelap tak terhindarkan. Hanya doa dan pita-pita yang dililitkan di pohon yang kami andalkan sebagai penunjuk jalan.

Setelah 2 jam mendaki, barulah kami bertemu beberapa pendaki yang turun. Apa yang kami dapat? Bukannya semangat, tapi mereka malah bilang kalau puncak masih lama, sekitar tiga jam lagi. Dibilangnya, mereka tadi naiknya sampai 5 jam. “Sebaiknya turun saja kalau tidak bawa tenda, daripada kemalaman”. Seketika itu juga kaki kami lemas. 3 jam lagi? Selama ini dan sejauh ini kami melangkah, masih 3 jam lagi? Dalam hati saya mengutuk pendaki-pendaki tersebut. Uasemm, wong di blog-blog dijelaskan kalau ke Pangrango hanya butuh 2,5 jam perjalanan dari Kandang Badak kok. Artinya, kami hanya kurang setengah jam lagi. Padahal sedari tadi speed kami tidak berkurang, kok masih selama itu. Hoax paling, pikir saya.

Kami bertiga sepakat untuk meneruskan mendaki meski dengan ketidakpastian. Sayangnya, sepanjang perjalanan kami bertemu pendaki turun yang sepertinya mereka tidak belajar etika menyemangati sesama pendaki. Bukannya memberi energi, mereka malah seperti melumpuhkan sendi-sendi kami dengan berkata “puncak masih jauuh sekali, turun saja”.

Azam kami yang kuat akhirnya membuahkan hasil. Di tanjakan yang ekstrim menjelang puncak, angin berubah kencang dan udara mendadak sangat dingin. Mungkin ada dementor. Artinya, ruang terbuka sudah dekat dan mungkin itu adalah puncak.

Akhirnya, Puncak tertinggi kedua di Jawa Barat ada di depan mata dengan penanda bangunan dan sebuah tugu bertuliskan 3019 mdpl. Alhamdulillah. Tepat 2,5 jam perjalanan cepat kami tempuh untuk sampai puncak Pangrango. Kami berhenti sejenak untuk menunaikan sholat maghrib.
Pondok di Puncak Pangrango
Selepas sholat, kami kembali turun. Saya tahu ini akan menjadi masalah lebih besar ketimbang perjalanan naik tadi. Udara yang lebih dingin (karena sempat berhenti), malam yang semakin pekat, dan tubuh yang semakin lapar. Bismillah, dengan sesekali merosot dan meluncur kami turun. Rupanya tak banyak waktu yang dapat kami hemat dalam perjalanan turun. Setidaknya 2 jam lebih juga waktu yang kami butuhkan untuk turun.

#teamPangrango
Ketika kami menjumpai rombongan pendaki yang masih naik, kami katakan dengan jelas kalau puncak mesih sekian menit lagi, memberikan kata-kata motivasi, dan saling menyapa santun.

Pukul 10 kami sampai di Kandang Badak dan mendapati 2 tenda kami sudah gelap plus dengkuran dari kedua rekan kami yang sudah tertidur pulas. Ketika kami membuka tenda, ada sebuah kertas yang isinya “kalau mau masak, logistic ada di tendamu semua”. Duh, jadi kami ngga disisain makanan ya? #hiks #suddenly #brokenheart #kram #ngantuk #pengentidur #tapilaper              

---------------------------------------------------------------------------------------to be continued


No comments:

Post a Comment