Wednesday 11 January 2012

Hari 2: Ubud-Kintamani-Toya Bungkah

Karena kami rombongan besar, maka kata mufakat sukar sekali didapatkan. Susah untuk bisa berangkat pagi-pagi mengejar sunrise (selalu ada yang masih tergeletak di kasur), memilih tempat wisata mana yang harus didahulukan, dsb. Perlu usaha ekstra untuk mempersuasi banyak orang. Akan tetapi, ya itu doang sih susahnya kalau rombongan besar, sisanya, amat sangat mengasyikkan (dan murah!!).

Seperti hari itu, pagi jam 5 masih pada belum bangun, jadilah cuma berdua jogging sama Ahmad di pantai (cerita sebelumnya). Kalau hari 2, kami sudah rencanakan akan mengujungi pegunungan di Bali tengah. Jadi, kami berangkat ke Ubud langsung. Berbekal peta yang dihafal semalam, sampailah di Ubud yang berjarak sekitar sejam perjalanan motor (pake bingung dan nyasar dikit). Dsinggggggg, dimana objek wisatanya? Emang ada objek wisata apa di sana? Zzzzz, bahkan kami pun belum tahu. Mau tanya orang bingung nanya apa, mau nyari sendiri, tak tahu nyari dimana. Finally, kami beberapa nanya ke penduduk,

Kami: “permisi pak, Ubud yang terkenal itu, dimana sih pak?”
Pak Made1: “ya ini dek, daerah Ubud”
Kami: “lho, kok gak ada apa-apanya, katanya bagus bgt…”
Pak Made2: “memangnya adek mau cari daerah mana?”
Kami: “dengar-dengar, yang ada sawah bagus-bagus (baca: subak) itu di daerah Ubud pak.. (mulai frustasi)”
Pak Made1: (bercakap-cakap sebentar dengan pak Made2), “Oh, lurus saja”
Kami: “baiklah pak, terima kasih”

Kami pun tak yakin, yang dimaksud lurus itu arah yang sebenarnya menuju sawah (yang sering jadi cover majalah itu) atau hanya cara supaya kami (yang lagi bingung dengan pertanyaan sendiri) segera pergi dari hadapan Pak Made1&2.

Akhirya, mondar-mandir kami di jalanan Ubud menghabiskan bensin. Saat melihat papan penunjuk jalan yang berisi tulisan Gianyar, saya ingat punya teman rumahnya Gianyar, (hey, ini Gianyar bukan? LoL pikir saya) Pande. Sudah pukul 10.30, hampir masuk waktu jumatan WIB, pasti ia mau berbaik hati mengantar kami ke masjid terdekat. TERDEKAT.

Sambil menunggu Pande, kami ke Monkey Forest Ubud. Tiket masuk Rp20.000,00. Tentu kami nggak masuk dong. Hey, masa’ mau lihat monyet doang harus bayar semahal itu? (belakangan saya tahu dari Lonely Planet kalau ada pura nya yang bagus serta pemandangan di dalam cukup aduhai). Foto-foto doang lah kami di sana (baca: pintu gerbangnya saja).

Singkat cerita, ketemu Pande juga akhirnya dan kami diantar ke Masjid tempat solat Jumat. Ternyata, masjidnya berkilo-kilo jauhnya. Hanya ada satu di Kabupaten Gianyar, Masjid Agung Al-A’la. Sampai di sana, 11.45. Makan dulu lah di dekat masjid, sambil nunggu adzan. Selesai makan belum juga ada tanda-tanda akan ada solat Jumat. Oh, ternyata Jumatannya baru pukul 13.30 WITA toh. Tahu gini kami tadi jalan-jalan dulu -.-“. Terkantuk-kantuk di masjid lah akhirnya.
masjid "terdekat". Model: Pande dan saya (tampak punggung)

***********************************khotbahjumat**************************************

Usai jumatan, saya minta Pande untuk menjadi guide kami di sisa hari ini. Oke dia mau. Tapi, anehnya, sebagai orang asli Bali, kenapa dia kurang antusias ya memperkenalkan keindahan objek-objek wisata di sekitaran rumahnya? Ini nih contohnya. Waktu bercakap-cakap, kami bertanya:
Kami: “Goa Gajah yang kita lewati barusan, bagus nggak?”
Pande: “Enggak, aku terakhir ke sana pas SD, sekarang nggak mau lagi.”
Kami: “Kalau Gianyar, punya apa yang terkenal?”
Pande: “ada sih, Puri Gianyar, semacam keraton Jogja gitu.”
Kami: “Waw, Yuk, kesana. Bagus nggak?”
Pande: (diam sejenak). “Ya gitu, baagus siih…” (bayangkan intonasi datar mengekspresikan keengganan).

>>Dalam dialog lain:
Kami: “eh, ke Besakih aja.”
Pande: “mau ngapain?”
Kami: *zzzzzzzzzzzz

>>Atau yang lainnya:
Kami: “kalau istana tampaksiring?”
Pande: “itu tadi jalannya, kalau ke sana ya pasti tutup, orang gak untuk umum kok.”

>>Atau yang lainnya lagi:
Kami: “kalau Bedugul Bli?”
Pande: “itu jauuh, kalau kalian mau ke sana, aku nggak ikut ya.”
Kami: *hiks, gigit peta

>>Atau yang lainnya (janji ini yang terakhir):
Kami: “kata temanku, taman ujung itu bagus loh Bli. Pernah ke sana nggak?
Pande: pernah, tapi ya kayak taman biasa, nggak terlalu menarik menurutku. Rame, ada tempat kumpul keluarga2 gitu.”
Kami: “oh, kalau pura yang bisa buat mandi/cuci muka pakai air suci itu, ada nggak sih, ntu dimana? Pengen nih kami ke sana.”
Pande: “ada sih, di bawah istana tampaksiring itu ada. Tapi nggak tahu kalian boleh masuk apa enggak.”
Kami: *emaaaaak, kami mau pulang saja. TT

Akhirnya, hasil lobi menghasilkan, “Pande mau mengantar kami, ke Danau Batur”.

danau batur dan gunung batur

view from kintamani
Jauh, berkelok-kelok, jalannya ekstrim, dan dingin. Sampai kram ini (maaf) pantat duduk di atas motor. Namun, panoramanya “subhanalloh” sekali. Daebak (kalau kata Iza). Pantas, Indonesia mendaftarkan kawasan kaki gunung Batur, gunung Agung, dan Danau Batur sebagai Taman Geopologi dunia ke Unesco. Batu-batuan purbanya, mirip sama yang di filmnya Julia Roberts itu (emang iya!).
Sampai Danau Batur, kami ditawari naik perahu ke seberang desa untuk melihat mayat yang diikat di pohon-pohon di Trunyan (yang konon, gak berbau apa-apa), Rp50.000 per orang. Alamak, dipikirnya kami punya uang... Haha.

Senja, kami makan sore ditemani anjing local yang unyu (sebelum ini, saya sangat tidak suka anjing, setelah saat itu, saya mulai terbiasa dan tidak tidak suka berlebihan dengan anjing).
Pulang, berpisah dengan Pande di Ubud. Suksma Pande.

Dari Ubud, kami ke Denpasar mencari hiburan malam (alamak bahasanya! Haha, hanya cari toko souvenir di Erlangga kok), hasil kebiasaan saat berangkat ke Kintamani yang jalannya sepi, membuat kami memacu motor berlebihan (baca: kebut-kebutan). Padahal itu di jalanan ibukota lho. Ngeri sekali saya. Sampai banyak istighfar saya dibuatnya.

Demi apaaa, anak baik-baik macam saya ikut kebut-kebutan di jalanan Denpasar malam-malam gini.” (facebook post)

Sampai kosan pukul 21 lewat. Jumat malam, di jalanan Legian lebih banyak turis yang berkeliaran dibanding hari lainnya (mungkin karena sudah mulai weekend). Musik ajeb ajeb dan laser warna-warni pun makin semarak dimana-mana. Tak mau tidur awal, kami beramai-ramai menuju pantai Kuta (yang gelap gulita-tapi berisik ombaknya). Ngobrol ngalur ngidul sampai tengah malam. Hingga satu persatu terlelap di atas pasir, menguraikan kelelahannya..

2 comments:

  1. kebut-kebutan yang paling memorable. sampe abis bensin gak sadar. haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha, iya. mandeg jleg di tengah perempatan.

      Delete