Monday 3 December 2012

Backpacking Gunungkidul (1)

Sst, tanggal merah di depan mata, traffic ke laman detik travel meningkat drastis. Begitupun dengan keyword di mesin pencari google yang kebanyakan tentang tempat/ gambar objek wisata. Benarkah? Entahlah, yang jelas saya biasanya seperti itu. :P

Libur Nasional yang jatuh di hari kamis selalu dinanti karena ia membuat cuti bersama otomatis di hari jumatnya. Seperti Tahun Baru Islam 1434 H kali ini, (Kamis, 15 November 2012), kami berempat sekantor merencanakan bolang Jogja. Meskipun sudah sering ke Jogja, entahlah, provinsi itu selalu menarik untuk dikunjungi lagi.

Tiket kereta Sri Tanjung Mojokerto-Jogja, plus tiket kereta balik Gaya Baru Malam sudah di tangan. FYI, harga tiket kereta ekonomi sekarang, jauh dekat satu tarif, sama saja Mojokerto-Jogja atau Surabaya-Jakarta tetap Rp 33.500,-.

Pukul 20.30 hari Kamis kami tiba di Lempuyangan. Telat sejam lebih dari jadwal. Sampai sana, kami berjumpa pengantar dua tenda dome yang kami sewa. Cantigi Tent di +622747888242. Recommended buat yang mau nginap di alam bebas. Tambah sepuluh ribu saja buat antar ke stasiun Lempuyangan.  Dua motor bebek sewaan pun datang diantar dari Resmile Rental di +6285643107277. Ini Recommended juga, apalagi dengan fasilitas diantar gratis selama penyewa ada di dalam area Ring Road.

Memang, melancong pakai motor itu tiada duanya. Rasanya “you can feel everything what nature present”. Panas, hujan, angin, debu, badai salju (oke, yang ini berlebihan), semuanya ada.

Menunggu air mendidih
Di angkringan kopi Jos kami berjumpa kawan yang datang dari diklat di Jakarta plus satu penduduk asli gang Suronatan. Ngobrol kemana-mana sampai kami berempat memisahkan diri memutuskan untuk nge-camp di Nglanggeran saja malam ini. Pukul sebelas kami melaju di jalan raya Wonosari. Melewati bukit bintang yang tidak se-eksotis pertama kali saya melihatnya setahun lalu. Sampai sana (Nglanggeran) tengah malam lewat sedikit. Dengan senter yang terbatas, kami tidak mengincar puncak yang terlalu tinggi. Yang penting ada tempat buat mendirikan tenda dan rebahan.

lampu Jogja dalam background
Dari gardu pandang

Sebelum dipacking, arigato Nglanggeran

Pukul setengah dua tenda berdiri, kami nyalakan paraffin (sialnya) yang agak basah. Cukup lama kami berjuang demi segelas kopi panas. Ngobrol sebentar, eh sudah setengah tiga. Saya tidur, setelah beberapa jepretan foto kota Jogja malam hari yang menyejukkan mata.

Setengah lima alarm Hp berbunyi, lalu sholat subuh dan kemudian menanti matahari terbit. Haha, kurang beruntungnya kami karena ternyata gardu pandang ini membelakangi letak matahari terbit.
Setengah tujuh kami turun dan bergegas ke Gua Pindul di Bejiharjo. Sampai di simpang lima Kota Wonosari, kami bertanya ke kumpulan tukang ojek yang mangkal di sana. Mereka memang merupakan “agen” yang bakal menjadi guide para calon pelancong Gua Pindul ke lokasi tujuan. Tidak perlu membayar, sebab mereka sudah dibayar Rp 5.000,- per orang yang akan membeli tiket Cave Tubing tersebut.

Baru Jalan nih. Airnya bening dan adem.
Untung masih pagi, jadi agak sepi. Setelah membayar tiket masuk dan berganti pakaian, kami berjalan sekitar seratus meter menuju mulut gua. Oiya, ban dan pelampung, serta sepatu karet (kalau mau), juga perlu dipakai. Sistemnya, kita naik ban yang dibuat bersambung satu sama lain dengan tangan masing-masing  saling bertautan (bingung ya? Lihat ilustrasi gambar saja. :P). Pemandunya ada di posisi paling depan berenang dan menarik perlahan-lahan sambil menjelaskan setiap detail yang ada di dalam Gua. Kurang lebih kayak gini penjelasannya:

Full Kostum

Pintu Masuk
Iconic Photo Spot
ilustrasi sambung menyambung
Watch out your head, Kids!
Istirahat sejenak di pintu keluar
“Jadi, Gua ini terbagi ke dalam tiga zona. Zona Terang, Remang, dan Gelap abadi. Aliran sungai bawah tanah ini adalah bagian dari Sungai Oya yang juga ada di aliran Air Terjun Sri Gethuk, Playen. Sungai ini belum pernah kering. Nah, sekarang kita masuk ke Zona Gelap abadi (etdah, namanya cetar membahana  sekali). Mohon matikan sejenak blitz kamera Anda untuk membuktikan apakah daerah ini benar-benar gelap atau tidak. Selanjutya, di atas saudara adalah stalagtit yang sampai saat ini masih aktif proses pembentukan kapurnya. Mitosnya, bagi pengunjung yang bisa mendapat tetesan airnya, bisa awet muda (ceile). Nah, mohon sejenak melipat kaki karena kita akan memasuki lorong yang diapit soko guru dari Gua pindul ini. Lorongnya sempit, hati-hati kepalanya (dan jedug, terdengar suara kepala terantuk dinding gua, dan itu kepala gue! >.<). Selanjutnya kita memasuki zona tempat tinggal ratusan kelelawar pemakan serangga, bentuknya relative kecil. Kalau di pintu keluar sana, kelelawarnya lebih besar, sebab mereka adalah pemakan buah, dan bla bla bla (prememori)”

Sayang sekali ya, di atas Gua Pindul ini bukan daerah konservasi alam, bahkan vegetasinya sudah sangat kurang karena banyak pemukiman penduduk. Apalagi, saya bisa melihat genteng rumah dari celah gua yang dibangun sengaja untuk pembudidayaan sarang burung walet. Coba masih banyak pohon, pasti stalagtitnya masih banyak yang hidup. LSM, anybody care?
  
You might also like:

No comments:

Post a Comment