Sst, tanggal merah di depan mata, traffic ke laman detik
travel meningkat drastis. Begitupun dengan keyword di mesin pencari google yang
kebanyakan tentang tempat/ gambar objek wisata. Benarkah? Entahlah, yang jelas
saya biasanya seperti itu. :P
Libur Nasional yang jatuh di hari kamis selalu dinanti
karena ia membuat cuti bersama otomatis di hari jumatnya. Seperti Tahun Baru
Islam 1434 H kali ini, (Kamis, 15 November 2012), kami berempat sekantor
merencanakan bolang Jogja. Meskipun sudah sering ke Jogja, entahlah, provinsi
itu selalu menarik untuk dikunjungi lagi.
Tiket kereta Sri Tanjung Mojokerto-Jogja, plus tiket kereta
balik Gaya Baru Malam sudah di tangan. FYI, harga tiket kereta ekonomi
sekarang, jauh dekat satu tarif, sama saja Mojokerto-Jogja atau Surabaya-Jakarta
tetap Rp 33.500,-.
Pukul 20.30 hari Kamis kami tiba di Lempuyangan. Telat sejam
lebih dari jadwal. Sampai sana, kami berjumpa pengantar dua tenda dome yang
kami sewa. Cantigi Tent di +622747888242. Recommended buat yang mau nginap di
alam bebas. Tambah sepuluh ribu saja buat antar ke stasiun Lempuyangan. Dua motor bebek sewaan pun datang diantar dari
Resmile Rental di +6285643107277. Ini Recommended juga, apalagi dengan
fasilitas diantar gratis selama penyewa ada di dalam area Ring Road.
Memang, melancong pakai motor itu tiada duanya. Rasanya “you
can feel everything what nature present”. Panas, hujan, angin, debu, badai
salju (oke, yang ini berlebihan), semuanya ada.
Menunggu air mendidih |
Di angkringan kopi Jos kami berjumpa kawan yang datang dari
diklat di Jakarta plus satu penduduk asli gang Suronatan. Ngobrol kemana-mana
sampai kami berempat memisahkan diri memutuskan untuk nge-camp di Nglanggeran
saja malam ini. Pukul sebelas kami melaju di jalan raya Wonosari. Melewati
bukit bintang yang tidak se-eksotis pertama kali saya melihatnya setahun lalu. Sampai
sana (Nglanggeran) tengah malam lewat sedikit. Dengan senter yang terbatas,
kami tidak mengincar puncak yang terlalu tinggi. Yang penting ada tempat buat
mendirikan tenda dan rebahan.
lampu Jogja dalam background |
Dari gardu pandang |
Sebelum dipacking, arigato Nglanggeran |
Pukul setengah dua tenda berdiri, kami nyalakan paraffin (sialnya)
yang agak basah. Cukup lama kami berjuang demi segelas kopi panas. Ngobrol sebentar,
eh sudah setengah tiga. Saya tidur, setelah beberapa jepretan foto kota Jogja
malam hari yang menyejukkan mata.
Setengah lima alarm Hp berbunyi, lalu sholat subuh dan
kemudian menanti matahari terbit. Haha, kurang beruntungnya kami karena
ternyata gardu pandang ini membelakangi letak matahari terbit.
Setengah tujuh kami turun dan bergegas ke Gua Pindul di
Bejiharjo. Sampai di simpang lima Kota Wonosari, kami bertanya ke kumpulan
tukang ojek yang mangkal di sana. Mereka memang merupakan “agen” yang bakal
menjadi guide para calon pelancong Gua Pindul ke lokasi tujuan. Tidak perlu
membayar, sebab mereka sudah dibayar Rp 5.000,- per orang yang akan membeli
tiket Cave Tubing tersebut.
Baru Jalan nih. Airnya bening dan adem. |
Untung masih pagi, jadi agak sepi. Setelah membayar tiket
masuk dan berganti pakaian, kami berjalan sekitar seratus meter menuju mulut
gua. Oiya, ban dan pelampung, serta sepatu karet (kalau mau), juga perlu
dipakai. Sistemnya, kita naik ban yang dibuat bersambung satu sama lain dengan
tangan masing-masing saling bertautan (bingung
ya? Lihat ilustrasi gambar saja. :P). Pemandunya ada di posisi paling depan
berenang dan menarik perlahan-lahan sambil menjelaskan setiap detail yang ada
di dalam Gua. Kurang lebih kayak gini penjelasannya:
Full Kostum |
Pintu Masuk Iconic Photo Spot |
ilustrasi sambung menyambung Watch out your head, Kids! |
Istirahat sejenak di pintu keluar |
“Jadi, Gua ini terbagi ke dalam tiga zona. Zona Terang,
Remang, dan Gelap abadi. Aliran sungai bawah tanah ini adalah bagian dari
Sungai Oya yang juga ada di aliran Air Terjun Sri Gethuk, Playen. Sungai ini
belum pernah kering. Nah, sekarang kita masuk ke Zona Gelap abadi (etdah,
namanya cetar membahana sekali). Mohon
matikan sejenak blitz kamera Anda untuk membuktikan apakah daerah ini
benar-benar gelap atau tidak. Selanjutya, di atas saudara adalah stalagtit yang
sampai saat ini masih aktif proses pembentukan kapurnya. Mitosnya, bagi
pengunjung yang bisa mendapat tetesan airnya, bisa awet muda (ceile). Nah,
mohon sejenak melipat kaki karena kita akan memasuki lorong yang diapit soko
guru dari Gua pindul ini. Lorongnya sempit, hati-hati kepalanya (dan jedug,
terdengar suara kepala terantuk dinding gua, dan itu kepala gue! >.<).
Selanjutnya kita memasuki zona tempat tinggal ratusan kelelawar pemakan
serangga, bentuknya relative kecil. Kalau di pintu keluar sana, kelelawarnya
lebih besar, sebab mereka adalah pemakan buah, dan bla bla bla (prememori)”
Sayang sekali ya, di atas Gua Pindul ini bukan daerah
konservasi alam, bahkan vegetasinya sudah sangat kurang karena banyak pemukiman
penduduk. Apalagi, saya bisa melihat genteng rumah dari celah gua yang dibangun
sengaja untuk pembudidayaan sarang burung walet. Coba masih banyak pohon, pasti
stalagtitnya masih banyak yang hidup. LSM, anybody care?
You might also like:
No comments:
Post a Comment