Wednesday 30 November 2011

Hari 3 (bagian 2): Kuta-Persiapan



Sesampai di kosan (penginapan-red), kami bertiga bergantian mandi. Saat itu sekitar 8.30 WITA. Lega rasanya melihat air berlimpah setelah dua hari belakangan hanya mendapati fasilitas air kelas kereta ekonomi.

Usai mandi, Alam dan Ahmad tertidur pulas. Saya pun demikian, tapi tak sampai setengah jam saya bangun lagi arena terusik bule-bule di bawah yang lagi sarapan (FYI, kamar kosan kami ada di lantai 2, di bawahnya banyak toko dan warung (ejie, ada kosan, ada warung, kampus betul) yang dipenuhi bule). Hei, ini Bali. Jauh-jauh ratusan kilo kesini masa cuma dihabiskan buat tidur saja. Sayang dong, ayo bangun Sanda.

Energi positif ini coba saya tularkan ke teman-teman sekamar dulu, Alam dan Ahmad bangun bentar, lalu tidur lagi. Lalu saya cek tetangga sebelah, Ryan dan Dio malah tidur ditemani campursari-an lagu-lagu lawas. Bagunanto, Sinaga, dan Himawan sama saja. Para Kartini? Mungkin juga lagi mimpi Kartono, sebab kamarnya sunyi senyap.

Mulai ngantuk lagi. Saat itu pukul 9 WITA. Di seberang kosan ada rumah penduduk yang di lotengnya terdapat pura pribadi. Kebetulan saat itu jamnya sembayang. Saya liatin deh. Maaf ya bapak Made (kok tahu? Nebak aja, toh probabilitas seorang Balinese bernama Made adalah 1/5 (sotoy mode: activatedàguru matematika yang gagal)).

Beruntung Sinaga bangun, kalau nggak, saya tinggal tidur juga deh. Berkat bantuannya, kami berhasil meyakinkan 8 makhluk lainnya untuk melakukan perjalanan ke Bali bagian selatan.
 Bersama Matic dan Ahmad, otw Uluwatu

Ahmad, di Memorial Park Bom Bali Legian Kuta
Keluar kami cari persewaan motor, dan tak perlu jalan jauh dari kosan karena persewaan motor bertebaran dimana-mana. 1 motor Rp50.000. Kami perlunya 2 hari, jadi Rp100.000,00. Dengan rayuan maut, kami berhasil mendapat rabat Rp10.000,00 tiap sepeda (rabat adalah potongan tunai, berbeda dengan diskon yang menerapkan besaran persentase tertentu terhadap harga jualàcuih, sok mahasiswa betul bahasanya yak!). Syarat sewa di sana adalah dengan mengisi form pribadi yang mengharuskan kita punya SIM, dan meninggalkan KTP.

Adanya cuma motor matic, padahal saya nggak bisa naik matic! Kok bisa? Begini ceritanya, dulu pas awal SMA, jaman matic baru ngetrend, teman saya bawa matic baru ke sekolah. Saya pinjamlah matic itu (yang konon mudah pengoperasiannya). Benar saja, saya langsung lancar mengendarainya dan menabrakkannya ke gerbang parkiran. Bisa sih, tapi lebih baik jangan menggantungkan nasib Anda pada seorang yang menabrakkan dirinya ke gerbang sekolah. Agak trauma gitu pakai matic (paragraph ini di-skip saja, kok curhat gini isinya…ckck). Intinya saya bonceng Ahmad! Hampir sepanjang perjalanan selama 3 hari di Bali. Ahmad yang malang… Maaf ya bos e.

Bersambung, this post dedicated to Ahmad.

    

Hari 3 (bagian 1): Gilimanuk-Ubung-Kuta


Setelah kapal feri yang kami tumpangi merapat di Gilimanuk kira-kira pukul 01.00 WITA, kami bergegas naik bus. Baru siap-siap mau tidur (karena sepanjang perjalanan di kereta kemarin kami sibuk main jempol2an), eh malah disuruh turun jalan kaki. Ternyata ada pemeriksaan KTP. Bagi siapa saja yang tidak membawa kartu identitas, dipersilakan putar balik. Untung kami warga Negara yang baik. Saat itu suasana pelabuhan agak becek karena hujan. Jadi, kami tidak ada niat untuk foto-foto. Maaf ya, penggemar (cuih! #obsesi).

Jarak Gilimanuk ke terminal Ubung Denpasar ada sekitar 134 km (ini didapat dari baca softcopyan buku lonely planet, Bali & Lombok, 11th edition). Lumayan jauh. Wohoo, jalanannya naik turun gunung loh, menarik, tapi gelap dan saya ngantuk. Apalagi saat itu masih pagi buta dan udara sangat lembab karena habis hujan, jadi, tidur saja saya.Ternyata kalau dilihat di peta, Bali Barat memang dipenuhi gunung-gunung.

Melalui, jalur selatan Bali Barat, Gilimanuk-Kelatakan-Melaya-Candikesuma-Jembrana-Tabanan-Kediri-Badung-Denpasar (wuih, canggih bener hafal gini? Enggak lah, ini saya lihat peta kok). Semoga tidak ada orang Bali asli yang paham jalan, baca, terus marah-marah karena info saya salah. Saat itu, kami bersepuluh sudah tepar berbantalkan tas punggung masing-masing. Tahu-tahu pukul 4 WITA sudah sampai Tabanan, di sepanjang jalan, bangunan dan pohon-pohon sudah pakai sarung semua.

Sampai juga di terminal Ubung. Setelah mendapatkan angkot carteran ke Kuta seharga Rp100.000,00 kami makan dulu di warung Jatim. Bapak supir angkot yang baik itu langsung tahu kalau kami cari warung yang jual makanan halal dan menunjukkannya. Harganya pukul rata Rp7.000,00 (duh senengnya, masih bisa nemu makanan murah di public place seperti ini, apalagi ini Bali!). Saya lalu cari mushola buat solat Subuh. Ada sih di Ubung, tapi, Subuh kamar mandi dan ruang solatnya masih tutup. Terpaksa saya solat di angkot. Saat itu 5.00 WITA. Masih gelap.

Perjalanan Ubung-Kuta hanya memakan waktu sekitar 50 menit karena jalanan masih lengang. Atas permintaan Sinaga, kami diturunkan tepat di depan Poppies Lane. Bukannya langsung cari penginapan, tapi kami malah ke pantai. Sambil bergaya menggeliat2 kayak mau jogging, salah satu teman kami (yang namanya tidak mau disebut) berkata, “bentar ya, kita nunggu sunrise aja dulu, baru cari penginapan”. Lalu, “kriik, kriik, kriik” tiba-tiba muncul jangkrik dari dalam pasir, lalu kecoa, lalu semut rangrang, dan terakhir  kalajengking. Ya Alloh, kiamat! Jangan dulu, banyak yang belum solat subuh.
Pelajaran No.4: sebaiknya kita tidak tidur saat pelajaran geografi di sekolah dulu. Kuta kan pantainya di pesisir barat, kok bisa ada sunrise? Ingat, sebelum kiamat, matahari terbit dari timur!
Kuta diambil gambarnya jam 6 pagi, gerimis.
Model: sandalnya Ahmad dan Saya.

Usai berhasil meyakinkan teman saya bahwa tidak akan ada matahari terbit di Kuta, kami berjalan meyusuri Poppies Lane mencari kosan (selalu begini! Refleks kami selalu bilang “kosan” kalau menyebut “penginapan”, bahkan saat nulis ini) murah. Memang, menurut lonely planet, kosan paling murah ada di Poppies Lane I & II. Percobaan pertama, Rp150.000,00 per malam. Terlalu mahal! Apalagi hanya bisa dipakai sekamar berdua (serius saat itu kami nanya, “bisa dipakai berempat nggak pak?”). Percobaan kedua, Rp225.000,00 per malam. No hope! Tanpa malu dan tanpa menyerah kami terus mencari dan mencari kosan yang murah. Kami kekeuh, harus dapat yang di bawah Rp50.000,00 per malam. Percobaan ketiga, kepada seorang bapak-bapak yang gendong anaknya kami bertanya, dan jawabnya: “ini bukan penginapan Pak!”.

Sambil diejeki turis2 yang lagi jogging (mereka bilang “jiggy jig jiggy jig” atau apalah itu, kalau Ryan dan Bagunanto sih dengarnya “little dick little dick”, hehe #jleb kan? Kalian sih terlalu sensitif), kami berputar-putar sampai matahari mulai meninggi, sampai toko-toko souvenir mulai buka, sampai mulai timbul perasaan “orang Bali, kok gitu banget sih sama pribumi…”

Lalu, seorang tukang ojek bertampang sangar (sok nggak sangar kita! Padahal muka kita kucel semalaman kena angus kereta, kapal, bis, dan angkot), menawari kosan murah. Awalnya sih kami ogah-ogahan dan sok jual mahal. Tapi setelah kaki kami pegal, kami cari pula itu orang.
Pelajaran No.5: Jangan menilai orang dari penampilan luarnya, ya. Dosa lho.

"Kosan" kita. Subuh kedua.
Singkat cerita, berkat beliau kami dapatkan, (jeng jeng) Mekar Jaya Inn & Bungalows (Phone: 754487; off Poppies Lane II) Twenty five rooms in bungalows face huge, open and grassy grounds in the midst of Kuta. Rooms are simple with cold water (source: lonely planet page 105).

Harganya Rp120.000,00 per kamar, dapat dipakai untuk bertiga. Sebuah kosan luas dengan kamar mandi dalam, dua kasur, tiga lampu, satu kipas, satu lemari, satu meja belajar (nggak penting ya?). Terlalu mewah bagi kami. Serius. Kami yakin, kalau boleh, kamar itu dipakai berempat saja masih nyaman kok.        
Saya sekamar dengan Ahmad dan Alam. Tiga orang pendiam. (saya dihitung pendiam juga lho! Haha #fail!). 

Monday 21 November 2011

Memories of Bali (bukan judul film) ; Hari 2: Jogjakarta-Banyuwangi


Dari Bukit Bintang kami pulang ke rumah salah satu teman kami, Ahmad, yang berada di kampung Suronatan Jogja. Sepi sekali jalanan sepanjang jalan dari Gunungkidul ke Jogja (yaiyalah, kan jam 1 pagi!). Sambil melamun kami melaju di jalan, dan tiba-tiba ban belakang motor yang saya tumpangi, bocor.
Pelajaran No.3: Jangan melamun di jalanan.

Beruntung, tak jauh dari sana di perempatan PLN (atau entah namanya apa, yang jelas di seberang jalan ada kantor PLN) ada tambal ban yang buka 24 jam (nggak 24 jam juga sih, tapi kami bangunin yang punya bengkel, hehe).

Sampai rumah Ahmad, tepar dengan sedikit bumbu masuk angin (ayolah, masih belum apa-apa!). “Besok, sehat” begitu sugesti saya dalam hati.

Subuh, bangun, dan lekas bergantian mandi. Lalu tiba-tiba ada enam gelas teh hangat dan kue-kue dari tuan rumah. Terimakasih Ahmad! Jangan kapok ya. Usai berpamitan kami mencegat angkot menuju Lempuyangan. Luar biasa ramainya. Hampir pukul 7 (FYI, di tiket, tertera kereta berangkat 7.28) dan kami belum berangkat. Akhirnya, ada sebuah taxi yang lewat.

Singkat cerita, kami sampai di Lempuyangan dengan komposisi, Sinaga ((berangkat dari)Jakarta), Saya (Jakarta), Izati (Klaten), Amalia (Semarang), Bagunanto (Semarang), Ahmad (Jogja), dan Himawan (Kebumen). Masih ada lagi dua kawan kami yang belum datang dengan kereta Bengawan-nya dari Jakarta. Ternyata memang Kereta Sri Tanjung tidak akan berangkat sebelum Bengawan tiba. Oalah, tahu gini kami nggak panik-panik amat tadi.  Dio (Jakarta) dan Ryan (Jakarta) pun datang pukul 8.00 dan langsung pindah kereta. Bayangkan, sesudah 13 jam Jakarta-Lempuyangan, mereka berdua masih harus lanjut ke Banyuwangi yang memakan waktu sekitar 16 jam lagi. Saya sih belum sempat menanyakan bagaimana rasanya.

Tidak banyak hal spesial yang kami alami dari setengah perjalanan pertama Lempuyangan-Surabaya Gubeng.
Hawa panas, penumpang yang penuh sesak, dan asap rokok adalah bagian tidak menyenangkan dalam kereta seharga Rp35.000,00 ini. Namun, seusai Gubeng menuju Banyuwangi, banyak pemandangan menarik yang dapat dilihat. Mulai dari Lapindo, Gunung Raung (yang saya sangka Bromo sebelumnya), Gunung Semeru, dan hutan-hutan di sepanjang Jember dan Banyuwangi. Apalagi hawa mulai dingin. Penat mulai hilang membuat kami melakukan banyak permainan di atas kereta. Grup sebelah sibuk dengan kartu bridge, sedang grup kami dengan berbagai permainan masa kecil dulu (sebut saja namanya jempol-jempolan, subyung, dan truth or dareà yang ini masuk kategori 17+ deh ya…).

Tak terasa, pukul 23.00 WIB (setelah ini, penyebutan jam akan memakai informasi waktu Indonesia bagian mana) sudah tiba di stasiun Banyuwangi Baru. Stasiun baru yang memperpanjang rute dari Stasiun Banyuwangi Kota (Karangasem) ke tepi selat Bali. Keluar stasiun, langsung “disambut” para calo bus. Beruntung ada Sinaga yang sangat siap dengan pengalamannya dan pengetahuannya berkat buku traveler guide-nya yang tebal. Rp25.000,00 sudah termasuk tiket penyeberangan feri. Di atas feri, kami yang jarang naik kapal (dengan lebaynya) naik ke atas dek dan menikmati semilir (bukan semilir, tapi sangat kencang!) angin selat malam hari dan gemerlapnya lampu di antara dua pulau. 30 menit saja.

Sampai Gilimanuk pukul 00.30 WITA. Peringatan penting, jangan lupa bawa KTP/SIM kalau nyeberang ke Bali. Sebab, pengamanannya cukup ketat. Bagi yang tidak membawa kartu identitas, dipersilahkan putar balik. Hiii, seram amat.

Memories of Bali (bukan judul film) ; Hari 1: Jakarta-Jogjakarta



Hampir satu semester penuh kami merencanakannya. Keadaan yang saya katakan sebagai “sindrom-tak ingin-berpisah” akhir-akhir masa kuliah serta kesibukan yang makin jarang membuat kami merencanakan macam-macam, backpacking salah satunya.

Rencana demi rencana mengenai tujuan backpacking terlontar (FYI, kami adalah mahasiswa yang berkuliah di Jakarta). Jadi, kota wisata belanja yang padat dan macet seperti Surabaya, Semarang, Palembang, Bandung, atau Singapura (ceile!) tidak terlalu menarik perhatian kami. Kami ingin backpacking ke daerah yang alami dan indah. Singkat cerita, pantai siung Gunung Kidul dan sekitarnya Jogja jadi alternative yang paling banyak disetujui. Waktunya, usai yudisium (wisuda resmi pihak kampus).

Manusia merencanakan, Tuhan memutuskan. Usai yudisium, ada acara di rumah. Jadi, saya batal ikut karena pulang kampung. Eh, ternyata, semuanya juga nggak jadi berangkat. Lalu, kami ubahlah rencana menjadi seusai wisuda. Dan tiba-tiba saja destinasinya jadi Bali! Kok Bali? Entahlah.

Tanggal 18 Oktober 2011 kami berangkat dari kosan di Jurangmangu, Tangsel. Hanya berdua. Kawan saya, Sinaga, dari Medan. Hanya dia rupanya di antara rombongan kami yang pernah backpacking ke Bali sebelumnya. Jadi, kami sangat bergantung padanya.

Dari kosan naik angkot ke stasiun Pondok Ranji Rp2.000,00 (bayangkan setiap saya membayar/menyebutkan nominal rupiah ada bunyi “cengkring”). Dari Pondok Ranji kami mengejar KRL pukul 5.28 pagi ke stasiun tanah abang. Masih relative sepi kalau jam segitu, sekalipun hari itu adalah Selasa/hari kerja. Sampai Tanah Abang pukul 5.58. Ya beginilah kalau terlalu bersemangat backpacking-an. Kereta Kutojaya Utara yang akan kami naiki baru berangkat pukul 7.00. Masih ada sejam lagi. Fiuh. Jadilah kami foto-foto dulu, dan setelah bosan berfoto, kawan saya-dengan-kekaguman-yang-berlebihan merekam Asmirandah dalam iklan produk sandal di TV stasiun. What the??
Pelajaran No.1: terlalu bersemangat dapat membuat Anda lupa diri.

Oh iya, tiket kereta ekonomi Kutojaya Utara kami beli dua hari sebelumnya. Rp28.000,00 tapi kena charge Rp2.000,00 karena pesan dulu. Hmm, info penting juga bahwa sejak 1 Oktober 2011 tiket kereta ekonomi dapat dipesan H-7 di stasiun online terdekat. Untuk kereta eksekutif H-40. PT KAI pun hanya membatasi penumpang kereta ekonomi maksimal 100%. Jadi, berbeda dengan sebelumnya kalau Anda menjumpai penumpang bergelantungan saking penuhnya, sekarang, tidak lagi. Benar-benar langkah yang bijak. Nice try! Selain itu, reformasi perkeretaapian yang saya jumpai adalah, tidak dijualnya tiket peron  sehingga tidak memungkinkan penumpang tanpa tiket resmi, masuk ke stasiun. Pokoknya, jadi rapi dan teratur deh. Ada lagi, di semua stasiun sepanjang pulau Jawa, selalu ada toilet resmi yang gratis. Love PT KAI, Love Kemenhub! (tapi, heran juga saya, kenapa menhubnya malah direshufle? Ah, sudahlah, itu hak pak SBY).

Sampai Kutoarjo pukul 17.00 (di jadwal pukul 15.30). Lalu, kami beli tiket Prambanan Ekspress ke Stasiun Tugu, Jogja. Rp10.000,00. Di Kutoarjo, kami kelaparan, lantas keluarlah kami ke warung yang kelihatannya murah. Saya-yang-belum-pengalaman-backpackingan memesan lauk belut (saya pikir, kutoarjo banyak sungai dan rawa, pasti belut murah ya…), dan ternyata Rp12.000,00. Shock dan langsung sakit perut saya.
Pelajaran No.2: di tempat asing, jangan coba berspekulasi soal makanan. Pilihan paling aman dalam memilih lauk adalah telur (dalam berbagai versi, entah bulat, matasapi, atau orak-arik).

Ternyata, di Kutoarjo, kami bertemu dengan satu anggota backpacking lainnya, Himawan yang asal Kebumen. Berangkat kami ke stasiun Tugu untuk bertemu kawan lainnya.
Bukit Bintang. Sesuatu.
Ternyata (lagi) Jogja sedang punya hajatan euy. 18 Oktober, rombongan pengantin putri bungsu Sultan dikirab sepanjang jalan malioboro. Kabarnya juga ada 200 angkringan gratis di sana. Tentu segala hal yang berbau gratis akan menarik minat mantan mahasiswa seperti kami. Salah perhitungan! Faktanya, “gratis” juga menarik minat ribuan pengunjung di malioboro sehingga beberapa menit saja, ke-200 angkringan tersebut sudah habis. Jadi, kami hanya ngopi Jos di samping stasiun Tugu. Pukul 22.00, kami memutuskan bahwa jam segitu masih terlalu sore untuk tidur, bahkan, ada yang ingin keliling Jogja sampai pagi kereta kami datang. Akhirnya, suara mufakat mengatakan kami jalan-jalan dulu ke bukit bintang. Subhanallah, sebuah sky city view (nggak tahu ini istilah apa…) di jalan raya Wonosari, Gunung Kidul yang bisa melihat lampu-lampu kota Jogja dari atas gunung. I’m speechless! Coba saja, dan tambahan saat itu tepat tengah malam ada banyak kembang api yang dinyalakan pengunjung sebelah. Pukul 1.00 kami pulang karena mulai masuk angin, apalagi perjalanan besok masih sangat panjang.

Sekeping Cerita, Kereta Ekonomi

Sekeping Cerita, Kereta Ekonomi

Anda hendak bepergian tapi budget Anda terbatas? Akibatnya, alternative yang dapat Anda pilih juga terbatas. Semua menjadi serba ekonomi. Mulai bis ekonomi (semacam kopaja), motor ekonomi (pinjam teman), kereta ekonomi, dan pesawat ekonomi. Eits, yang terakhir kayaknya enggak masuk alternative deh. Soalnya semurah apapun pesawat, kayaknya masih di atas Rp 100 ribu.
Untuk jarak jauh, semisal lintas pulau/provinsi, alternative minjam motor teman dan kopaja menjadi kurang etis dan estetis. Lagipula mana ada kopaja ke jawa? (baca: jawa tengah, jogja, dan jawa timur).
Sekarang alternatifnya tinggal kereta ekonomi toh?
Mungkin banyak dari Anda yang sering mendengar cerita seram tentang pengalaman orang-orang yang naik kereta ekonomi, tapi jika boleh jujur, saya telah mengalami lebih dari tiga puluh kali bolak-balik Jakarta-Mojokerto-Surabaya naik kereta ekonomi dan Alhamdulillah, saya selalu diberi keselamatan olehNya tanpa kekurangan suatu apapun. Bahkan hampir selalu membawa sekantung penuh oleh-oleh khas dari atas kereta dan tentu saja, yang tak ternilai harganya adalah pengalaman berharga. Pengalaman apa? Donny Darmawan, dalam bukunya 5 cm berujar bahwa kereta ekonomi dan isinya adalah potret nyata bagaimana bangsa ini. Ratusan orang dengan berbagai karakter dan motif berada di sana. Mereka bercerita, mereka mengeluh, dan mereka berbagi tentang kisah hidupnya, anaknya, istri/suaminya, dan mungkin, tetangganya. Luar biasa, tentu.  
Tertarik? Berikut ini beberapa kereta api ekonomi yang pernah saya tumpangi beserta rute perjalanannya.
 
- Gaya Baru Malam Selatan (GBMS), harga Rp33.500,00 (oktober 2011). Rute: Jakarta Kota-Cirebon-Purwokerto-Jogja-Solo-Madiun-Mojokerto-Surabaya Gubeng. Boleh saya katakan, inilah kereta ekonomi paling ekonomis kalau kita bandingkan antara harga dengan panjang trayek yang ditempuh. Kereta ini melintasi jalur selatan pulau Jawa seusai dari stasiun Prujakan Cirebon. Berangkat dari stasiun Senen pukul 12.20 dan sampai di Mojokerto biasanya pukul 3.00 dini hari. Kalau dari Mojokerto, kereta ini berangkat pukul 14.40 dan tiba pukul 6.45 pagi di Senen. Menurut saya, kereta ini paling cocok dan nyaman dipakai untuk bepergian, sebab, kita menghabiskan waktu di kereta (yang kata orang-orang panas/pengap) saat malam hari. Hawa dingin di luar dapat sedikit menetralisir udara panas yang terjebak dalam gerbong. Top Recommended!

- Kutojaya Utara, harga Rp28.000,00 (oktober 2011). Rute: stasiun tanah abang-cirebon-purwokerto-gombong-kebumen-kutoarjo. Berangkat dari stasiun Tanah Abang pukul 7.00 pagi. Menurut saya, timingnya agak kurang pas kalau dipakai bepergian. Pertama, karena Jakarta luar biasa macet kalau pagi, susah kalau mau mengejar kereta ini dengan kondisi macetnya Jakarta, jadi mesti bangun sebelum subuh dan berangkat mengejar komuter pukul 5 pagi dari serpong, malas kan? Kedua, Anda akan mendapati perjalanan siang hari. Sangat gerah pasti. Apalagi kalau cuaca cerah, dipadu dengan penuhnya kursi kereta, plus banyak perokok aktifnya. Cobaan! Namun keunggulannya adalah, Anda bisa menikmati panorama alam yang indah setelah stasiun Cirebon, yakni daerah Tegal, Bumiayu, Purwokerto, sampai Kebumen yang (menurut saya) indah sekali. Hal ini tidak didapatkan kalau kita naik kereta malam. Selain itu, bagi Anda yang tidak ingin sampai Kutoarjo/Jogja sebelum hari gelap, kereta ini cocok karena sampai di sana sekitar pukul 17.00. Overall, better choose another one.

-Sri Tanjung, harga Rp35.000,00 (oktober 2011). Salah satu teman saya berceletuk, inilah kereta wisata Indonesia. Maksudnya, kereta ini ditujukan bagi para pelancong atau backpacker yang ingin berwisata ke Bali. Kereta ini adalah pasangan dari kereta Progo dan Logawa. Saya katakan demikian karena kereta ini hampir selalu berangkat setelah kedua kereta itu datang di Lempuyangan. Jadi, Sri Tanjung baru berangkat dari stasiun Lempuyangan Jogja setelah Progo dan Logawa tiba, sekitar pukul 7.30. Rutenya adalah Lempuyangan-Madiun-Mojokerto-Surabaya Gubeng-Sidoarjo-Pasuuan-Probolinggo-Jember-Banyuwangi. Ya, terakhir di stasiun Banyuwangi Baru, yang hanya terletak beberapa puluh meter dari ASDP Ketapang, penyeberangan ke pulau Bali. Kereta ini adalah pilihan utama, dan mungkin satu-satunya, kalau ingin backpackingan dari Jawa Tengah atau Jawa Barat ke Bali. Biasanya masih lengang sampai Madiun, tapi setelahnya bisa sangat ramai mengangkut penumpang yang akan turun di Jember dan sekitarnya. Harap sabar juga, karena meski kelihatan kecil di peta, tapi Jawa Timur ternyata sangat panjang membentang dari Ngawi sampai Banyuwangi. Ketika sampai di Surabaya Gubeng, pukul 16.30, Anda akan sedikit bosan melihat papan informasi yang berisi tulisan “324kmßJogjakarta----Banyuwangià325km”. Masih setengah perjalanan! Kira-kira sampai di Banyuwangi pukul 23.00. 16 jam perjalanan. Namun, demi Bali, boleh lah…

-Progo, harga Rp30.000,00 (Ramadhan 1432H). Ini adalah kereta terakhir menuju Jogja dari Jakarta Pasar Senen. Mengakhiri perjalanan di Lempuyangan sekitar pukul 7.45, kereta ini berangkat pukul 21.00. Biasanya merupakan alternative bagi para penumpang yang telah ketinggalan kereta Gaya baru, Kertajaya, atau Matarmaja. Cocok juga bagi Anda para pekerja/mahasiswa yang hari itu masih masuk kerja/kuliah sampai pukul 17.00 misal. Kalau tujuan Anda Jawa Timur, sebaiknya turun melanjutkan dengan Sri Tanjung.

-Bengawan, harga Rp35.000 (oktober 2011). Mirip dengan Progo yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Bengawan berangkat dari Stasiun Tanah Abang pukul 19.30 dan mengakhiri perjalanan di Solo Jebres. Bengawan tiba di Lempuyangan sekitar pukul 6.00. Progo dan Bengawan sama-sama kereta malam yang memiliki keunggulan tidak terlalu panas di dalamnya. Namun, kereta ini agak mahal bila dibandingkan dengan kereta ekonomi jarak jauh lainnya tujuan Jawa Timur seperti Gaya baru dan Kertajaya.

-Matarmaja, harga Rp43.500 (oktober 2011, hanya sampai Kertosono). Rutenya adalah Jakarta Pasar Senen-Cirebon Prujakan-Tegal-Pemalang-Semarang-Solo-Madiun-Kertosono-Blitar-Malang. Kereta ini melintasi setengah jalur utara pulau Jawa sampai Semarang, lalu menuju ke selatan ke Solo Jebres. Setelah Solo, menuju Kertosono dan di Kertosono, belok ke Selatan menuju Blitar untuk mengakhiri perjalanan di stasiun Malang. Cocok bagi backpacker yang ingin ke Bromo atau Malang.  Berangkat pukul 14.00 biasanya sampai di Kertosono subuh.

Kalau tadi selalu cerita tentang kereta ekonomi jarak jauh, kali ini ada sedikit pengalaman kereta trayek pendek. Kereta-kereta ini biasanya ada di kota-kota besar dan hinterland nya. Tujuan utama tentu untuk memfasilitasi mobilitas para penduduk yang dari dan akan ke kota tersebut.

-KRD (Kereta Rapi Dhoho), Kertosono-Surabaya kota, harga Rp2.000,00 (November 2011). Meskipun jaraknya sangat dekat, tapi jumlah stasiun kecil yang dilalui dan berhenti sangat banyak, hampir menyamai jumlah stasiun dari Jakarta-Surabaya. Membosankan! Sangat penuh sesak. Sepertinya memang petugas stasiun tidak embatasi jumlah penumoang yang dinaikkan. Berangkat dari Kertosono pukul 04.46, baru sampai di Mojokerto pukul 7.00, mungkin di Surabaya pukul 8.00 lebih.
-Kalau yang lainnya seperti Prameks (Rp10.000,00 rute Kutoarjo-Jogja Tugu-Klaten), Surokerto (Rp3.500,00 rute Surabaya Pasar Turi-Mojokerto), dan KRL ekonomi AC (Rp6.000,00 rute Jabodetabek) punya karakteristik yang sama. Hampir selalu penuh, tempat duduk berhadap-hadapan seperti Bus TransJakarta, dan punya banyak jadwal keberangkatan.

PEMBELIAN TIKET
Saya tidak tahu apakah PT KAI sedang menggalakkan reformasi atau tidak, tapi yang jelas pelayanan mereka sungguh memuaskan akhir-akhir ini (terutama pasca Ramadhan 1432 H). Salah satunya terlihat melalui mekanisme pengaturan penumpang. Kalau dulu, penumpang ekonomi harus lekas2 berangkat dan antri di pagi hari-H, tapi sekarang tiket kereta ekonomi bisa dipesan sejak H-7. Belilah di loket resmi kereta dengan terlebih dulu mengisi form yang disediakan di depan loket. Tidak ada charge pemesanan.
Jumlah kursi yang dijual hanya 100%, berbeda dengan dulu yang mencapai 150% atau lebih. Jadi, sekarang normalnya, tidak ada lagi yang berdiri atau duduk-duduk di koridor kereta. Sangat nyaman dan tertib. Hanya penumpang yang bawa tiket saja yang bisa masuk peron. Pengantar tidak diperkenankan masuk dan memang, tidak dijual lagi tiket pengantar untuk mengantisipasi penumpang gelap.

SEBELUM NAIK
Sebelum naik, pastikan semua barang bawaan Anda tidak tertinggal. Bagi Anda yang Muslim, sebaiknya menjamak dulu sholat Anda yang memungkinkan di mushola stasiun keberangkatan meskipun air selalu lancar di toilet gerbong kereta.
Sebaiknya belilah makanan ringan, minuman, ataupun bekal makanan berat dari luar kereta, entah di warung stasiun, atau dari rumah. Kenapa? Selain mengantisipasi isu-isu gendam dan hipnotis melalui makanan dari orang asing yang marak belakangan ini, juga untuk menjamin kebersihannya. Masakan sendiri/ warung makan relatif lebih baik kualitasnya. Oh ya, sering juga rekan-rekan saya tertipu ketika beli makan di atas kereta, missal nasinya agak basi atau lauk yang ditunjukkan, berbeda dengan yang diberikan.
Akan tetapi, kalau tidak mau repot, boleh saja beli di atas kereta. Jangan malu untuk menjadi cerewet atau selektif memilih penjual makanan di atas kereta. Dan penting, cobalah selalu menawar terlebih dahulu.

DI ATAS KERETA-AWAL NAIK
Taruhlah barang bawaan Anda tepat di atas tempat duduk Anda sehingga mudah diawasi. Kalau bisa talikan tas Anda dengan kisi-kisi teralis untuk mengantisipasi kalau Anda tertidur. Tidak ada salahnya Anda menyapa penumpang samping dan depan Anda. Orang Indonesia, seperti saya dan Anda, ramah kok… Biasanya, kalau sudah nyambung, pembicaraan dengan orang-orang baru itu akan sangat seru dan tak ada habisnya. Ada saja topic yang dibahas. Ini asyiknya kereta ekonomi.

DI ATAS KERETA-PERTENGAHAN-SAAT MALAM
Jangan lupa bawa jaket kalau naik kereta malam sebab hawa dingin di luar begitu menusuk, sangat bisa membuat Anda masuk angin. Jika bepergian beramai-ramai, usahakan selalu ada satu atau dua orang yang berjaga mengawasi barang bergantian. InsyaAllah aman kok. Tiap beberapa menit juga selalu ada polisi stasiun yang melintas antar gerbong.

CLOSING STATEMENTs
Dengan harga tiket ekonomi hanya sepersepuluh kereta eksekutif (contohnya Bima, Rp290.000,00 (Juli 2011) rute Gambir-Surabaya Gubeng), seharusnya pelayanan, kenyamanan, dan keamanannya juga sepersepuluhnya Bima kan? Namun, saya rasa tidak jauh berbeda kok. Serius!
Ada cerita teman, yang pertama kali naik kereta (kebetulan ekonomi juga), langsung kehilangan HP dan dompet. Ada juga teman lainnya, yang empat kali naik kereta ekonomi, empat kali juga ia harus ganti HP setelahnya karena selalu kehilangan HP di kereta. Ya, cerita seperti itu memang ada, tapi sangat minor. Contohnya saya, puluhan kali naik kereta ekonomi, Alhamdulillah, baik-baik saja. Tinggal bagaimana kita menjaga dan mempersiapkan perjalanan kita agar lebih menyenangkan sebelum, saat, maupun setelahnya.
Kereta ekonomi adalah asset berharga bangsa Indonesia, Taman Mini Berjalan Indonesia. Mari kita jaga dan gunakan dengan bijak.
Selamat mencoba!