Wednesday, 30 November 2011

Hari 3 (bagian 1): Gilimanuk-Ubung-Kuta


Setelah kapal feri yang kami tumpangi merapat di Gilimanuk kira-kira pukul 01.00 WITA, kami bergegas naik bus. Baru siap-siap mau tidur (karena sepanjang perjalanan di kereta kemarin kami sibuk main jempol2an), eh malah disuruh turun jalan kaki. Ternyata ada pemeriksaan KTP. Bagi siapa saja yang tidak membawa kartu identitas, dipersilakan putar balik. Untung kami warga Negara yang baik. Saat itu suasana pelabuhan agak becek karena hujan. Jadi, kami tidak ada niat untuk foto-foto. Maaf ya, penggemar (cuih! #obsesi).

Jarak Gilimanuk ke terminal Ubung Denpasar ada sekitar 134 km (ini didapat dari baca softcopyan buku lonely planet, Bali & Lombok, 11th edition). Lumayan jauh. Wohoo, jalanannya naik turun gunung loh, menarik, tapi gelap dan saya ngantuk. Apalagi saat itu masih pagi buta dan udara sangat lembab karena habis hujan, jadi, tidur saja saya.Ternyata kalau dilihat di peta, Bali Barat memang dipenuhi gunung-gunung.

Melalui, jalur selatan Bali Barat, Gilimanuk-Kelatakan-Melaya-Candikesuma-Jembrana-Tabanan-Kediri-Badung-Denpasar (wuih, canggih bener hafal gini? Enggak lah, ini saya lihat peta kok). Semoga tidak ada orang Bali asli yang paham jalan, baca, terus marah-marah karena info saya salah. Saat itu, kami bersepuluh sudah tepar berbantalkan tas punggung masing-masing. Tahu-tahu pukul 4 WITA sudah sampai Tabanan, di sepanjang jalan, bangunan dan pohon-pohon sudah pakai sarung semua.

Sampai juga di terminal Ubung. Setelah mendapatkan angkot carteran ke Kuta seharga Rp100.000,00 kami makan dulu di warung Jatim. Bapak supir angkot yang baik itu langsung tahu kalau kami cari warung yang jual makanan halal dan menunjukkannya. Harganya pukul rata Rp7.000,00 (duh senengnya, masih bisa nemu makanan murah di public place seperti ini, apalagi ini Bali!). Saya lalu cari mushola buat solat Subuh. Ada sih di Ubung, tapi, Subuh kamar mandi dan ruang solatnya masih tutup. Terpaksa saya solat di angkot. Saat itu 5.00 WITA. Masih gelap.

Perjalanan Ubung-Kuta hanya memakan waktu sekitar 50 menit karena jalanan masih lengang. Atas permintaan Sinaga, kami diturunkan tepat di depan Poppies Lane. Bukannya langsung cari penginapan, tapi kami malah ke pantai. Sambil bergaya menggeliat2 kayak mau jogging, salah satu teman kami (yang namanya tidak mau disebut) berkata, “bentar ya, kita nunggu sunrise aja dulu, baru cari penginapan”. Lalu, “kriik, kriik, kriik” tiba-tiba muncul jangkrik dari dalam pasir, lalu kecoa, lalu semut rangrang, dan terakhir  kalajengking. Ya Alloh, kiamat! Jangan dulu, banyak yang belum solat subuh.
Pelajaran No.4: sebaiknya kita tidak tidur saat pelajaran geografi di sekolah dulu. Kuta kan pantainya di pesisir barat, kok bisa ada sunrise? Ingat, sebelum kiamat, matahari terbit dari timur!
Kuta diambil gambarnya jam 6 pagi, gerimis.
Model: sandalnya Ahmad dan Saya.

Usai berhasil meyakinkan teman saya bahwa tidak akan ada matahari terbit di Kuta, kami berjalan meyusuri Poppies Lane mencari kosan (selalu begini! Refleks kami selalu bilang “kosan” kalau menyebut “penginapan”, bahkan saat nulis ini) murah. Memang, menurut lonely planet, kosan paling murah ada di Poppies Lane I & II. Percobaan pertama, Rp150.000,00 per malam. Terlalu mahal! Apalagi hanya bisa dipakai sekamar berdua (serius saat itu kami nanya, “bisa dipakai berempat nggak pak?”). Percobaan kedua, Rp225.000,00 per malam. No hope! Tanpa malu dan tanpa menyerah kami terus mencari dan mencari kosan yang murah. Kami kekeuh, harus dapat yang di bawah Rp50.000,00 per malam. Percobaan ketiga, kepada seorang bapak-bapak yang gendong anaknya kami bertanya, dan jawabnya: “ini bukan penginapan Pak!”.

Sambil diejeki turis2 yang lagi jogging (mereka bilang “jiggy jig jiggy jig” atau apalah itu, kalau Ryan dan Bagunanto sih dengarnya “little dick little dick”, hehe #jleb kan? Kalian sih terlalu sensitif), kami berputar-putar sampai matahari mulai meninggi, sampai toko-toko souvenir mulai buka, sampai mulai timbul perasaan “orang Bali, kok gitu banget sih sama pribumi…”

Lalu, seorang tukang ojek bertampang sangar (sok nggak sangar kita! Padahal muka kita kucel semalaman kena angus kereta, kapal, bis, dan angkot), menawari kosan murah. Awalnya sih kami ogah-ogahan dan sok jual mahal. Tapi setelah kaki kami pegal, kami cari pula itu orang.
Pelajaran No.5: Jangan menilai orang dari penampilan luarnya, ya. Dosa lho.

"Kosan" kita. Subuh kedua.
Singkat cerita, berkat beliau kami dapatkan, (jeng jeng) Mekar Jaya Inn & Bungalows (Phone: 754487; off Poppies Lane II) Twenty five rooms in bungalows face huge, open and grassy grounds in the midst of Kuta. Rooms are simple with cold water (source: lonely planet page 105).

Harganya Rp120.000,00 per kamar, dapat dipakai untuk bertiga. Sebuah kosan luas dengan kamar mandi dalam, dua kasur, tiga lampu, satu kipas, satu lemari, satu meja belajar (nggak penting ya?). Terlalu mewah bagi kami. Serius. Kami yakin, kalau boleh, kamar itu dipakai berempat saja masih nyaman kok.        
Saya sekamar dengan Ahmad dan Alam. Tiga orang pendiam. (saya dihitung pendiam juga lho! Haha #fail!). 


Next Story:

Hari 3(2): Kuta (persiapan)
Uluwatu
Dreamland Beach
Garuda Wisnu Kencana
Sensasi Jogging di Kuta
Toya Bungkah, Global Geopark
Last Day in Sanur and Tanah Lot

2 comments:

  1. wkkkk, lha kenapa itu cari sunrise di pantai kuta? harusnya di sanur kk :D oke deh, udah dapet pelajaran sekarang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, iya Bang, itu bukan saya lho, sumpah teman saya itu kok.

      Kalo sunrise yang bener ada di http://sandaaditya.blogspot.com/2012/02/bali-last-day.html

      Delete