Wednesday 6 November 2013

Pertama Kali Mendaki Gunung? Pilih Papandayan! (bagian 2)


Di Pondok Salada kami makan kenyang dan ngobrol santai sampai lepas ashar. Selepas sholat, kami bersiap summit dengan membawa perlengkapan secukupnya. Air minum, jas hujan, snack, obat-obatan, kamera, dan headlamp yang dibawa dalam daypack saja. “Track yang sesungguhnya seharusnya baru dimulai” batin saya.
this is a lovely picture, isn't it?

Pukul 16 kami berangkat, menyusuri sumber air Pondok Salada yang terus menerus mengucur sehingga menciptakan genangan air dimana-mana. Selepas itu, kami memasuki kawasan hutan mati Papandayan yang sangat terkenal itu. Kalau dilihat-lihat, memang semuanya tampak mirip. Pantas saya sering dengar cerita kalau di sini banyak yang tersesat tak tahu arah jalan pulang, hihi. Kebanyakan karena bablas ke bawah menuju belerang dan tidak berbelok ke kiri ke arah Pondok Salada. Kami sih persiapannya dengan memasang rambu-rambu di pohon, mememori dengan foto, dan mengingat betul kapan kami harus belok. Bismillah, mudah-mudahan nanti malam kami tidak tersesat turunnya.

Merangkak demi puncak, @tanjakan mamang
Selepas hutan mati ada tanjakan ekstrim dengan kemiringa rata-rata 45 derajat. Namanya tanjakan mamang. Pemandangannya Bro, spektakuler sekali. Kiri jurang, belakang hutan mati, kanan pohon perdu dan gunung (entah namanya apa) cantik di kejauhan.

kebun edelweiss nya Tegal Alun
Sejam saja sudah sampai di Tegal Alun. Tak kalah spektakuler, padang edelweiss yang subur dan luas dengan batas bukit-bukit mengepung sekelilingnya. Sayang, kabut sore menghalangi sunset yang pastinya akan luar biasa kalau cerah.

Sunset berkabut di bukit Teletabis di Tegal Alun
Kami melanjutkan perjalanan ke puncak menyusuri sabana tegal alun. Jadi, sedari awal tadi sebenarnya kita tidak melihat Puncak Papandayan yang sesungguhnya, sebab Puncaknya baru terlihat di balik bukit-bukit yang mengepung Tegal Alun. Jarang ada pendaki yang camp di sini sekalipun ada sumber air juga di Tegal Alun. Mungkin alasannya mereka khawatir kalau badai, perdu-perdu edelweiss tak akan mampu mereduksi angin kencang, bisa bahaya tuh.

Selepas sabana, ada cekungan yang memisahkan jalur puncak dan Tegal Alun. Perjalanan melalui jalur setapak menembus rimbunnya pepohonan dimulai. Saking rimbunnya, jalur setapaknya kadang hilang tertutupi pohon tumbang dan pakis-pakis yang tumbuh lebat. Mungkin saja banyak yang mendaki Papandayan, tapi tidak betul-betul sampai Puncak, hanya ke Tegal Alun atau Puncak Bayangan saja.

Three musketeer di Puncak Bayangan, hahaha
Setengah jam menanjak, kami tiba di puncak bayangan. Dari sini seharusnya terlihat sunset yang bagus kalau tak berkabut. Kami lanjutkan menembus setapak yang terus menerus menanjak sampai mendapati tulisan Puncak Gn. Papandayan, 2.665 mdpal. Alhamdulillah, sujud syukur kami lakukan atas kemurahan hati Sang Pemilik Kehidupan ini sehingga kami berdelapan bisa menapakkan kaki di Puncak ini. Bagi setengah diantara kami, Papandayan adalah gunung pertama mereka. Dan sampai puncak setelah empat jam perjuangan adalah pencapaian luar biasa bagi ke empat ukhti tersebut. Fitri, Erna, Ayu, dan Ani. Selamat!

Erna, Jauh-jauh dari singapura buat naik Papandayan
*terharu
Di 2665 mdpal
(dari kiri ke kanan) Erna, Ani, Ayu, Loli, Fitri
You rock girls, jantaaan!
Foto yang kami lakukan tak terlalu fotogenik karena sudah lepas magrib. Setelah mengisi perut dengan snack secukupnya, kami turun lagi. Kali ini semua senter dinyalakan. Kami terus melipir di kiri sebab (kebalikan dari berangkat tadi) jurang ada di sisi kanan.

*_*

Sampai Tegal Alun, headlamp kami matikan. Subhanalloh, milyaran bintang bertaburan di kanvas hitam milik sang Khalik menemani perjalanan turun kami. Menurut pendapat saya, udara di Papadayan cukup hangat, tidak sedingin gunung lainnya. 
Benar saja apa yang saya takutkan sore tadi terjadi, di hutan mati kami sempat kebingungan mencari belokan ke Pondok Salada meskipun dari kejauhan sudah terihat lampu senter tenda-tenda di sana. Untung hanya berputar-putar seperempat jam untuk menemukan jalan yang tepat.     

*_*

Minggu, 29 Oktober 2013

Paginya, kami naik lagi untuk mencari oleh-oleh. Foto-foto dari Papandayan yang cantik. Pertama, sunrise di hutan mati, lalu tanjakan mamang yang ternyata tak hanya garang, tetapi juga ganteng sekali kalau dipotret. Kemudian di Tegal Alun, tak kurang dari seratus jepretan kami lakukan dengan berbagai gaya. Semuanya cuakep! Awannya, Bukitnya, Edelweissnya, Duh, sampai speechless. Pokoknya, Pertama Kali Mendaki Gunung? Pilih Papandayan! It Works!

sunrise di hutan mati

wonderful hutan mati

jump high! release your pain!
Terimakasih Dhani!

ukhti2 menuruni tanjakan mamang
tak hanya naik yang susah, turun pun juga
sungainya bau belerang, cocok buat yang mau cuci muka ilangin jerawat
*yakali
Sebelum pulang, see you next trips guys! 
Ups, ngomongin soal works, jadi nggak sabar untuk sampai Jakarta senin subuh, lalu ngantor, lalu kerja yang rajin, lalu gajian dapat duit banyak, lalu duitnya sebagian dipakai jalan-jalan lagi. :D 

Pertama Kali Mendaki Gunung? Pilih Papandayan!

Agak mirip judul FTV ya? Atau bahkan seperti iklan kampanye pilkada? Haha, bisa jadi.
tenda kami di Pondok Salada
Papandayan berangkat dari sebuah obrolan hangat segerombolan kawan akrab dalam reuni dadakan yang dulu pernah sama-sama kuliah di STAN, kampus perjuangan. Haru biru kebersamaan menaklukkan (sebenarnya, mungkin justru kami lah yang ditaklukkan) intermediate accounting, akuntansi pajak, manajemen keuangan, dan cost accounting rupanya masih terus membuat kami tak pernah lost contact satu sama lain selama lebih dari 3 tahun terakhir ini.

Dalam suasana Ramadhan 1434 H, usai baksos yang meriah sesorean tadi, di sebuah warung nasi goreng pinggir jalan di bilangan Pasar Senen Jakarta Pusat, bergulirlah ide dan racauan geng kami.

Dhani: kita harus realisasikan acara sunatan masal di reuni tahun depan di Makasar!
Ayu: terus ide bikin perpustakaannya gimana?
Fitri: waaa, keren, satu per satu aja…
Yudha: (bengong aja)
Saya: emmm, mana nih nasi gorengnya kok lama betul, udah mau tarawih tapi kita belum buka puasa?

*_*

Dhani: (sambil ngunyah) eh, Sand, kamu udah jalan kemana aja?
Erna: iya nih, kok aku nggak pernah diajak naik gunung? Mau dong kalau ada acara naik, kita-kita diajak.
Saya: Emang kalian mau?
Lolita: ya mau lahhh, yuk tentuin jadwal. Yang dekat-dekat aja…
Saya: gimana Dhan?
Dhani: yoi, atur saja, biar jantan kita, naik gunung semua. Gede saja.

(singkat cerita, akhir September disepakati, kami bersama-sama akan naik Gunung Gede di Cianjur)

*_*

Kesibukan masing-masing (tsaaah, pencitraan) membuat kami saya lupa, bahwa untuk mendaki Gunung Gede diperlukan registrasi yang cukup ribet. Dan begitu kami ingat, H-3 minggu, jumlah pendaftar dan waiting list untuk pendakian Gunung Gede sudah berlebih. Baik jalur Cibodas, Selabintana, maupun Gunung Putri (saat itu sedang direnovasi kabarnya). Yaaah, masa gagal… Apalagi yang begitu bersemangat dalam pendakian ini adalah Erna yang saat ini bekerja di Singapura Batam. Dia sudah bela-belain beli tiket pesawat Jakarta-Batam lho demi pendakian ini.

Akhirnya, kami yang tinggal di Jakarta cari alternative lainnya. Dengan baca-baca di internet dan catatan perjalanan orang-orang, kami putuskan bahwa Papandayan mungkin pilihan yang tepat untuk rombongan kami menggantikan Gunung Gede.

*_*

Jumat 27 September 2013

Macetnya jalan Gatot Subroto membuat perjalanan kantor-Terminal Kampung Rambutan menghabiskan waktu 2 jam lebih. Dengan kondisi bus Transjakarta yang penuh sesak, rasanya tak tega untuk masuk ke dalamnya dengan memanggul keril 60 L ini. Bagaimana lagi, wong hari jumat, kalau mau bis yang sepi, ya nunggu sampai jam 10an. Padahal teman-teman yang perempuan sudah pada confirm tiba di terminal.

Setibanya di Kampung Rambutan, kami berenam bergegas naik bis jurusan Garut. 4,5 jam perjalanan ini kami habiskan dengan tidur pulas. Memasuki wilayah Garut, beberapa penumpang berkeril lainnya turun di perjalanan. Rupanya mereka mau mendaki Gunung yang berbeda, yakni Guntur dan Cikuray. Pukul 3 pagi kami sampai di Terminal Guntur. Hawa sejuk yang menyambut indra peraba menyadarkan kami bahwa kami sudah berada jauh dari Jakarta yang macet itu.

*_*

Sabtu 28 September 2013

Masih terlalu pagi untuk meneruskan perjalanan ke Papandayan. Kalau naik angkot sekarang, pasti tarif nya lebih mahal dibanding kalau agak siangan. Akhirnya, kami istirahat sejenak sambil menunggu subuh di Masjid samping terminal. Woah, rupanya sudah ada puluhan pendaki juga yang istirahat di sana. Pasti nanti di atas ramai. Mendaki Gunung makin populer saja akhir-akhir ini.

Pukul 6, kami sarapan dulu sambal menunggu 2 teman lagi yang semalam berangkatnya menyusul. Etdah, mereka bawa semangka, kangkung, tempe, dan telur mentah dari pasar belakang terminal! Rupanya kami mau pesta kebun di atas, haha.

Setelah lengkap, kami berdelapan berangkat dengan angkot putih jurusan Cisurupan. Harganya Rp12.000 per orang. Mahal? Enggak juga sih, memang ruteya jauh kok. Di sepanjang jalan, pemandangan pyramid Gunung Cikuray memanjakan mata. Gunung yang bentuknya hampir limas sempurna itu juga merupakan salah satu primadona pendaki gunung lho.

ukhti2 dalam wahana pick up goyang
Sampai Cisurupan, masih harus naik mobil pick up sejam lagi melalui jalanan rusak berat dan berdebu. Ini adalah wahana yang lebih mantap dibandingkan roller coaster dufan sekalipun (yaiyalah, roller coaster dufan kan muter dua kali doang, haha). Kasian yang ber (maaf) pantat tipis kalau begini. Goncangan pasti akan makin menyiksanya (hus! Jangan mikir yang enggak enggak ya).

Antz Troopers, geng kami di camp david
Sebelum sampai parkiran yang luas (camp david namanya), kami registrasi dulu di pos pendakian. Setelah pemanasan dan berdoa, kami berangkat. Oh Men, matahari pukul sepuluh itu rasaya hampir tepat di atas kepala. Panas dan bau belerang yang menyengat sungguh mungkin memberatkan kelima ukhti dalam perjalanan kali ini. Apalagi sebagian besar dari mereka baru pertama kali naik gunung.

Setengah jam pertama rute kami adalah batuan kapur. Asap belerang mengepul disana sini membuat pemandangan yang ditangkap retina dominan putih dan biru. Putih untuk daratan, dan biru untuk langit yang cerah.

batuan kapur dan langit biru
Setengah jam selanjutnya, tanah kapur telah berubah kecoklatan, tapi vegetasi masih jarang. Hanya rumput-rumput kecil di sela bebatuan.

Usai tikungan tebing yang memagari lembah belerang, pemandangan hijau dimana-mana. Pemandangan dari tikungan ini spektakuler sekali. Batuan belerang dengan asapnya yang putih mengepul di kejauhan seperti cerobong asap pabrik.

maksud tikungan tebing itu ini.. -.-"
Saya pikir, sedari tadi jalurnya sangat bersahabat. Sesekali tanjakan dan banyak bonus turunan atau jalan datar. Sejam kemudian kami melewati punggungan bukit dengan jurang menganga di sisi kiri. Lansekapnya dari tadi membuat saya tak berhenti berdecak kagum. Sesekali ada sungai di bawah, lalu air terjun yang kolamnya hijau, lalu bukit bukit cantik dengan pohon-pohon mati yang eksotis. Semuanya adorable. Padahal baru dua jam pendakian.

selamat datang di Pondok Salada
menuju Pondok Salada
Saking sibuknya menikmati perjalanan, kami tak sadar kalau sudah sampai di Pondok Salada. Basecamp bagi sebagian besar pendaki Papandayan. Tempatnya luas dengan pohon-pohon pelindung dari badai, tanah-tanah yang landai untuk mendirikan tenda dan mata air yang mengucur deras. Wow, betapa Tuhan Maha Baik sekali menciptakan gunung yang ‘baik’ seperti ini. Memanjakan deh pokoknya. Oiya, tambahan satu lagi, edelweiss nya tumbuh subur dimana-mana. It’s perfect? Isn’t it? *terharu*

edelweiss nya Pondok Salada
Sekalipun sudah banyak pendaki, tapi kami tak kehabisan pilihan tempat mendirikan tenda saking luasnya. 3 tenda didirikan, nesting dinyalakan, dan dimulailah acara memasak bersama. Pendakian ceria deh pokoknya…    

Berlanjut ke... Pertama Kali Mendaki Gunung? Pilih Papandayan! (bagian 2)

Kota Pekalongan, (Hampir) Sempurna untuk Turis

Sebelumnya saya tidak punya tujuan lain ke Pekalongan selain untuk berbelanja batik. Sebagai sentra penghasil kain batik terbesar di Indonesia dan mungkin dunia, memang wisata batik lah yang sangat ditonjolkan oleh Pemerintah Daerahnya. Namun saya penasaran, jika hanya karena batik, apakah mungkin Pekalongan didaftarkan oleh Indonesia ke Unesco sebagai kota budaya dunia yang perlu dilindungi dan dilestarikan? Apalagi dari Indonesia hanya 2 kota saja yang didaftarkan, Pekalongan dan Solo. Pasti ada yang menarik di sana.

Berbekal dari rasa penasaran tersebut, 11 Oktober 2013 berangkatlah saya sendiri menuju Pekalongan dengan kereta api. Kereta ekonomi yang ke Pekalongan berangkat pukul 22.10 WIB dari stasiun Pasar Senen, cocok untuk memulai traveling dari hari jumat sepulang kerja.

Dengan kereta yang nyaman, tiada hal lain yang lebih nikmat dilakukan di kereta malam selain tidur. Tapi sejak dari Tegal saya sudah tidak bisa tidur karena takut kebablasan. Padahal kan masih jauh ya, ada Pemalang juga di antara Tegal dan Pekalongan.

Tepat subuh, saya sampai di Stasiun Pekalongan. Kemarin saya ‘googling’ dan mendapati ada beberapa alternatif wisata di sini. Musium Batik, Pasar Setono, IBC, Pantai Pasir Kencana, Pantai Slamaran, Tempat Pelelangan Ikan, dan kompleks wisata hutan Petungkriyono adalah beberapa di antaranya. Yang terakhir sepertinya berat, sebab di internet disebutkan jaraknya sekitar 40km dari pusat kota dan tidak banyak angkutan umum ke sana. Next time, maybe…

Dari stasiun, saya menyeberang ke pertigaan pom bensin menaiki angkot oranye ke kawasan Boom. Boom adalah nama lokal untuk daerah di sekitar Pantai Pasir Kencana. Saya ingin mencari sunrise di Pantai. Di sepanjang jalan, entah sugesti saya atau memang benar demikian, menurut saya jalannya lebar dan bersih dibandingkan dengan kota lain pada umumnya. Suasana khas Kota di Jawa yang masih tidak terlalu ramai menemani 15 menit perjalanan ke utara selepas jalur utama Pantura.

***

Sunrise, selalu cantik dimanapun
Pagi itu Pantai Pasir Kencana masih sepi. Hanya beberapa orang saja yang berjoging di sana. Saya sadar betul kalau Pantai di Utara Jawa ya memang tidak sebagus Pantai Selatan. Jadi ekspektasi saya tidak terlalu tinggi ketika masuk ke sana.

Jembatan Kanal Buatan di Pasir Kencana
Anjungan di Pasir Kencana
Yang saya apresiasi adalah, bagaimana Pemerintah Daerah/ Pengelola menyadari kelemahan tersebut dan berusaha menghias dan melengkapi Pantai-pantai tersebut untuk menarik pengunjung. Ada panggung hiburan, jembatan yang menghubungkan kanal dan batu pembatas ombak, deretan pohon cemara, bebek air, Musium Bahari, kandang-kandang satwa, Gazebo, dan Anjungan pantai. Meskipun demikian, tetap pantai yang cantik alami seperti di Pantai Selatan jauuuuh lebih layak dipilih kalau Anda mau mencari wisata pantai.

kapal-kapal nelayan merapat di pelabuhan sandar
Syahbandar? Entah kok jadi ingat malin kundang
Ikan dimana-mana, beli satu boleh gak ya?
I'm broken heart because of this, hiks,
 please jangan tangkap hewan langka itu dong
Selepas dari Pasir Kencana, saya tertarik mendatangi keriuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tak jauh dari Pasir Kencana. Rupanya sumber keributan tersebut adalah suara seorang pemimpin lelang yang duduk di atas kursi tinggi dan dikelilingi puluhan orang yang bidding ikan secara tradisional dengan isyarat jari. Riuh rendah lah pokoknya. Di sekeliling mereka, ikan-ikan beku hasil tangkapan perahu-perahu nelayan semalam yang baru saja merapat. Terdapat berbagai macam jenis ikan, termasuk hiu, ada di sana.

Penampakan luar museum batik
Matahari yang semakin terik membuat saya memilih menjauhi pantai dengan naik angkot oranye lagi ke arah Musium Batik. Di tengah jalan, mata saya menangkap sebuah warung yang menjual Nasi Megono yang katanya khas Pekalongan. Sepiring Nasi Megono + Cumi + Teh Manis Hangat hanya Rp 8.000,00. Meeen, murah bener, kalo di Jakarta mah bisa Rp30.000 nih. Tak jauh dari sana, di depan SMPN 1, ada penjual sup buah. Meskipun sudah kenyang, saya tetap beli demi membandingkan harganya dengan di Jakarta. Kalau di Jakarta kan Rp10.000, nah di sana hanya Rp 6.000 dan buahnya jauh lebih banyak. Berasa mendadak jadi orang kaya kalau traveling ke tempat murah begini. Pada umumnya, Jawa Tengah dan DIY yang paling murah kalau urusan makanan.

Cumi+ Megono + Teh Manis = Rp 8.000
Sop Buah yang beneran banyak buahnya, bukan airnya kyk di Jkt
Setelah kekenyangan, saya ikut tur di Museum Batik. Cukup membayar Rp 5.000 saja dan saya sudah mendapat guide pribadi untuk berkeliling museum berarsitektur eropa tersebut, termasuk praktik melukis batik di sebuah kain selebar 30cm yang dibagikan. Wuih, mbatik itu susah betul Bro. Sekarang saya jadi maklum kenapa harga batik tulis itu mahal. Di museum ini, pengunjung dilarang memotret dan memegang koleksi. Ada ratusan koleksi motif batik keraton maupun pesisir dari seluruh Indonesia di sana. Ternyata sebagian besar daerah di Nusantara punya motif sendiri ya… Ah, proud!

Canting, Kompor, Lilin: Bahan baku membatik
sampai berkeringat, fyuuuh
Usai dari Museum Batik, saya lanjutkan perjalanan ke Pasar Grosir Setono. Selain harganya yang sangat murah, pasarnya cukup nyaman dan bersih. Langit-langitnya yang tinggi membuat sirkulasi udara di dalamnya cukup baik. Banyaknya lapak lumayan membuat bingung dalam menentukan pilihan. Hayo, yang minat bisnis jualan batik, kulakan dimari saja.

Disini, kemeja batik cuma 20rebuan
Dari Setono, saya kembali ke alun-alun. Di sana ketemu masjid agung untuk istirahat sejenak, nge-charge baterai Hp dan mandi sore dilanjut makan sore di warung-warung yang berjajar di sepanjang trotoar alun-alun. Lagi-lagi sepaket makan kurang dari Rp10.000,00.

Bingung nggak nih milihnya?
Sampai di sana saya masih belum sepenuhnya menemukan alasan kenapa Pekalongan yang didaftarkan ke Unesco. Lalu, pulang dari alun-alun ke stasiun, saya jalan kaki menelusuri trotoar jalan hayam wuruk yang lebar. Sepanjang jalan itulah banyak terdapat butik-butik batik. Kuliner-kuliner yang masih unik seperti nasi goreng yang dimasak pakai arang, bakul-bakul jamu, tauto, dan nasi megono. Hotel pun banyak disana-sini. Moda transportasi berlimpah mulai bis, angkot, sampai becak. Sangat turis sekali!
Peta 'persebaran' industri rumahan di Kauman

Kalau ini, Pesindon

Keyakinan saya semakin nyata ketika di pintu tiap gang (Kampung Kauman dan Pesindon) terdapat peta home industry batik, dilengkapi dengan tembok yang dilukis batik. Begitu saya masuk ke gang-gang di Pesindon, butik-butik eksklusif bertebaran. Woah, sungguh mempesona. “Turis mancanegara pasti suka yang beginian” batin saya. This is almost perfect, trotoar yang nyaman untuk jalan dengan sightseeing yang adorable.

Jadilah saya mendapat jawaban kenapa Pekalongan didaftarkan ke Unesco. Ia kota yang menjaga dan melestarikan warisan budaya luhur batik yang merupakan kekayaan tak ternilai Indonesia. Ia juga merupakan kota yang nyaman, teduh, dan menyenangkan untuk dipakai sebagai tempat belanja, jalan, dan jajan.

Yihaaa, vote Pekalongan for Unesco Heritage city!
Ayo, sebelum Pekalongan dibanjiri turis manca seperti Jogja dan Bali, turis lokal kudu nyobain dulu! Kenali Budayamu, Cintai Negerimu!