Thursday 24 March 2011

RAINBOW TROOPS

kangen teman-teman madrasahku..
mereka,
seperti pelangi..
tujuh orang-tujuh warna.
merah,
jingga,
kuning,
hijau,
biru,
nila,
dan ungu.
tertanam dalam cakrawala bercampur mega yang malu-malu muncul karena awan sisa hujan enggan mengakhiri pancaroba.




Ketika film laskar pelangi diputar di bioskop beberapa tahun lalu, saya berfikir kenapa kesepuluh anak Belitong itu dinamai “laskar pelangi” oleh Andrea Hirata. Saya tidak mampu menemukan jawaban yang meyakinkan dalam film tersebut. Oleh karena itu, saya mencari novelnya, yang biasanya versi novel memaparkan lebih komprehensif dan tidak terpotong di banyak bagian penting-tapi kurang menjual untuk difilemkan. Kalau tidak salah karena suatu hari mereka lagi main-main di padang rumput tepi pantai. Lalu ada pelangi, mereka semua sedang memandang pelangi. Lalu ibu Mus, guru mereka, cari-cari mereka. Lalu dipanggillah mereka dengan “laskar pelangi”. Ah, maaf ya para penggemar Andrea Hirata, saya mendeskripsikan satu alur cerita dalam novel yang bestseller itu dengan asal-asalan karena saya tak terlalu paham dengan banyak bagian dalam buku ini, sampai sekarang.

Filosofi pertama yang saya coba buat adalah mungkin mereka berjumlah tujuh orang murid, tapi ternyata salah.

Kenapa bisa berfilosofi demikian? Terus terang hal ini langsung mengingatkan saya pada pengalaman pribadi.

Waktu kecil, tentu saya tidak berfikir SD/MI mana yang ingin saya masuki. saya disekolahkan ibu di madrasah milik teman kakek yang ada di dekat rumah. Saat itu hanya ada 8 pendaftar di sana. Sekolah ini semakin redup saja setelah dua angkatan sebelumnya hanya mendapatkan 11 dan 14 peminat. Ya, madrasah ini kalah bersaing dengan SD tetangganya. Entah apa alasan para orang tua di desa saya begitu enggan memilih sekolah ini tepatnya.

Saya masih lebih beruntung ketimbang kakakku. Pada jamannya, malah hanya ada 4 pendaftar. Kepala sekolahnya lalu dengan berat hati menyuruh mereka berempat untuk pindah ke SD dengan alasan tidak memenuhi kuota ujian nasional.

Memang, sebagian besar keluarga kami disekolahkan di sana atas kehendak mbah kakung saya. Kata beliau “biar agamanya dapat, meski sedikit. Selepasnya, terserah orang tuamu mau disekolahkan dimana”. Heu, kangen mbah kakung..T.T

Delapan orang itu salah satunya adik sepupu saya. Keluarganya (pak lek dan bu lek) baru pindah rumah dekat rumah ibuku. Ia baru lima tahun saat itu. Harusnya masuk TK dulu, tapi ia nggak mau. Maunya jadi satu dengan saya. Jadinya, kami selalu kemana-mana bersama-sama. Senang sekali kalau nilai ulangannya dapat jelek. Saya bisa punya senjata untuk menakut-nakutinya dengan melaporkan ke ibunya. Haha. Pun berlaku sebaliknya. Nah, kalau nilai kami berdua sama jeleknya, kami membuat sebuah MoU (ceile bahasanya..) dengan membuang hasil ujiannya ke sungai dan mengatakan “ndak ada ujian” ke orang tua kami.
Satu orang lagi pas kelas empat, tidak mau meneruskan sekolah. Katanya nggak mau sekolah lagi. Dulu awal-awal dia senang bolos, kami selalu menjemputnya beramai-ramai. Setiap hari!!

Lalu, apa saja yang kami lakukan dengan tujuh orang saja sekelas?
Haha, tak cukup pastinya untuk diceritakan di sini.
Yang jelas, waktu kami kebagian menjadi petugas upacara bendera hari senin, semuanya menduduki jabatan penting. 3 pengibar, 1 pemimpin upacara, 1 pembaca doa, 1 protokoler, 1 dirigen, dan 1 MC. Ups, itu delapan ya? Berarti kami selalu menaturalisasi satu orang dari kelas lain.

Bagaimana kalau waktunya mengaso (istirahat)? Ya, kami keluyuran kemana-mana bertujuh. Sering kami main di empang belakang sekolah sampai basah kuyup, atau mencari jamur di kebun pisang dekat sawah. Lalu memasaknya (baca: digongseng) langsung di rumahku. Saya baru tahu saat SMA, ternyata banyak juga jamur yang beracun. Alhamdulillah sampai saat ini kami bertujuh masih sehat wal afiat.

Kalau ada yang telat, kami berbondong-bondong menjemputnya. Kadang ada yang masih belum bangun, lalu kami menungguinya sampai selesai mandi dan berangkat bareng-bareng. Jadinya, jadwal masuk kami fleksibel. Menunggu sampai semuanya sudah hadir.
Karena bangku dan kursi di kelas ada 40 an, maka kami bebas memilih tempat duduk, tapi tetap sih, seringnya kami duduk bergerombol.

Apa yang terjadi dengan kami selanjutnya? Setelah tamat madrasah? Saat ini? Err, insya Alloh disambung lain kali ya.. sudah malam. :D

No comments:

Post a Comment