Saturday 17 December 2011

Garuda Wisnu Kencana


Dalam buku lonely planet ed.2007 belum terdapat informasi mengenai GWK ini. Saya pikir tempat ini sudah lama dibuka untuk umum kok. Tapi ya mungkin memang belum diupdate oleh pengarangnya.

Dari dreamland, matahari sudah menggantung di ujung barat diikuti mega yang merona jingga menghiasi langit Bukit Peninsula Bali Selatan ini. Udara mulai agak sejuk juga. Kami bertekad meneruskan perjalanan ke objek selanjutnya.

Semuanya merasa baik-baik saja dengan perjalanan dreamland—GWK saat itu kecuali Imanur yang telah nekat mencebur ke pantai tanpa sebelumnya melihat berapa harga masuk kamar mandi di sana. Rp10.000,00! Hati-hati, jangan salah baca jumlah nol nya. Biar jelas, saya ulangi, harga masuk kamar mandi di sana Rp10.000,00. Tiga kali lipat harga tiket masuk Pura Luhur Uluwatu, Dua kali lipat lebih mahal dari harga nasi lauk ayam suir di depan STP Nusa Dua.

Jadilah si Imanur tak jadi membilas diri dengan air tawar. Bayangkan, pasti lengket dan gatal. Kombinasikan dengan keringat… Lalu, (tiiiiit tiiiiiit tiiiiiit àbagian ini tidak lulus sensor karena terlalu vulgar, dianjurkan untuk membaca di bawah pengawasan yang memadai dari orang tua Anda). Tak ada yang mau berbonceng dengannya.

“menuju pom bensin terdekat!” seru Imanur ketika keluar dari kompleks Pecatu Indah. Hmm, rupanya minyak yang diisi tadi pagi sudah habis, batin saya dalam hati.

Ternyata kurang tepat hipotesa saya.

Ia mencari toilet rupanya. Tak ada toilet, kran air pun jadi. Di sanalah ia membilas diri.

Lanjut, akhirnya tiba juga di pintu masuk GWK 17.30 WITA. Harganya Rp25.000,00 plus parkir Rp2.000,00. Sangat mahal! Tapi ada yang ingin kami cari di sana.

Di sana, kami berpisah dengan Lia (guide kami, temannya Dio) yang telah seharian kami repoti (Terimakasih Liaaaaaaaaaaaaaaa… entah berapa kali kami bakal kesasar kalau gak ada kamu). Dengan ramahnya Lia menawari kami lagi untuk nongkrong di Mal Bali Galeria nanti malam sampai pagi esok. Kami sih mengiyakan saja. (Yah, tapi kan kami anak Jakarte, nongkrong di Mal mah, udah biase dan gak seru. Kami mau ngebolang saja, nanti malam istirahat).

Sampai parkiran, angin semilir dan rasa lapar serta letih mengganggu kami untuk keep wandering di tempat wisata yang super luas ini. Oh ya, masih ada nasi bungkus! Kami makanlah nasi bungkus itu sambil memandangi senja dan bandara Ngurah Rai di seberang sana yang mulai menghidupkan lampu landasan pacunya. Indah sekali. Apalagi saat malam, hampir mirip dengan Bukit Bintang, tapi kurang adem saja.

Kepenatan, rasa lapar, dan rasa ingin memeluk bantal membuat kami agak malas jika jalan bergerombol. Friksi dan konflik (ha! Lebayisme) pun terjadi (biar seru macam sinetron). Jeng jeng jeng jeng. Si A pengen cuci muka pakai shampoo (hanya Iza dan pembaca blognya Iza yang tau kenapa shampoo), Si B pengen pipis, si C pengen segera masuk jalan-jalan di dalam GWK, si D pengen tidur aja di parkiran, si E pengen ngabisin nasi bungkus aja, si E pengen cari musola, si F teriak-teriak ngajak nonton kecak, dan sisanya menonton saja dengan rasa malas. 

Akhirnya kata mufakat pun terjadi, semuanya memenuhi hasratnya masing-masing, baru berkumpul di entrance GWK. Jadilah molor dan gak efektif betul di GWK. Jam 18 kurang sedikit baru masuk GWK. Di dalam pun terjadi konflik lagi. Beberapa mau langsung ke teater lihat kecak yang dimulai pukul 18, dan sisanya mau foto-foto di Lotus Pond. Pada akhirnya semua ikut ke Lotus Pond (sebuah lapangan luas yang dibatasi tebing-tebing megalitikum). Pelajaran No.7: Foto dapat mengatasi segala masalah dan konflik.
foto menyatukan kita... :D


Nun jauh di sana, potongan tangan, jari, dan bagian-bagian lainnya dari patung lengkap GWK tersebar. Entah, kapan penyatuan dan finalisasi patung GWK terealisasi. Kabarnya sih, kalau sudah disusun semua, bakal jadi patung terbesar dan tertinggi di dunia, mengalahkan patung Liberty di NYC. Tapi entah kapan ya itu jadinya…

Di bagian “Garuda” nya, kami foto banyak (dan memang kami sudah males jalan ke bagian patung lainnya). Ternyata saudara, Patungnya itu terbuat dari logam lho… Saya pikir batu padat.
indah betul harmoninya...
Hampir 18.30 dan suara mikrofon berkali-kali memberitahukan bahwa sajian tari kecak sudah dimulai. Ok, kami semua kompak ke sana. Kecak nya nggak mulai-mulai, adanya cuma tari-tarian gak jelas dan mengundang audiens untuk ikut nari di atas panggung. Hampir 30 menit begitu saja. Mana kecak nya?!!! Zzzz, makin krik krik ketika Ryan ikutan maju ke panggung dan joget chaiya chaiya. Apa deh semua ini?
Oh, ternyata yang tadi intermezzo saja (tapi kok lama bener…). Lalu rangkaian cerita anoman feat sinta versus raksasa jahat dimulai (maaf ya kalau terjadi kesalahan karakter). Seru, rame, dan rancak. Kecak itu bagus. Music acapela nya saya suka. Tapi eh singkat sekali!! Gak ada 10 menit kok udah selesai. T.T

Usai kecak, kami langsung pulang juga. Sebentar mengagumi lampu-lampu Ngurah Rai dari kejauhan, lalu cabut ke kosan. Di tengah jalan (saat kami mampir di mini market) kami sadari bahwa kunci kamar saya, Ahmad, dan Alam hilang. Panik sebentar, lalu yasudahlah. Liburan kali ini terlalu indah untuk mencemaskan hal-hal macam “kehilangan kunci kamar”. Gampang, itu urusan nanti.

Sampai di bungalow (tumben gak kosan?), saya bilang ke penjaga bungalow “pak, pinjam kunci kamar 4A boleh?” tanpa ba bi bu, kami dapatkan duplikatnya. Ya, tonight, let’s sleep tight. Urusan kunci kamar hilang besok2 saja.

No comments:

Post a Comment