“Lagi selo (senggang_red) ya Mas? Kok sempat-sempatnya, udah kerja naik Lawu?” tanya seorang pendaki lain setelah turun di pos Cemoro Kandang.
Sabtu,
21 September 2013
Sasono
Bujono (ruang makan yang dikelilingi kolam) ini dipenuhi orang-orang yang menggelinding
koper. Padahal baru jam 6 pagi, mereka sudah mengambil sarapan untuk mengejar
penerbangan pukul 7 pagi dari bandara Adi Sumarmo. Aku pun juga begitu,
mengambil tempat terdekat dengan kolam, sembari mengamati ikan koi yang
memamerkan keindahan warna corak tubuhnya, sesekali kupercepat tempo
mengunyahku agar tidak kesiangan bertemu kawan yang sudah sejak semalam
menunggu di Terminal Tirtonadi.
Semalam,
acara baru saja ditutup di Ballrom Lorin International Hotel Solo. Para peserta
se-Indonesia satu persatu meninggalkan hotel entah untuk pelesir di Kota, atau
pulang ke tempat kerja masing-masing.
Selasa,
17 September 2013
Room
Boy Lorin Hotel terheran-heran melihat carrier 60 L yang saya panggul,
sementara tamu hotel umumnya membawa koper yang digelinding. Pun dengan
komentar teman-teman kantor, “ngapain bawa tenda segala?” Saya jawabnya sambil
senyum-senyum, “yaaa, mungkin nanti dibutuhkan”.
Senada
dengan mereka, petugas bandara pun tadi pagi terlihat mengernyitkan dahi
menimbang carrier saya di antara tumpukan koper teman-teman panitia.
Jumat,
20 September 2013
Saya
baru memantapkan hati akan mendaki Gunung Lawu hari Jumat pagi setelah
semingguan mengurungkan niat karena padatnya jadwal acara ini. Saya memang bawa
tenda, tapi niat awalnya hanya ingin menghirup udara segar dan camping ceria di
antara kebun strawberry di Tawangmangu. Lalu, kenapa tiba-tiba berubah? Alasannya,
karena penat, saya pikir berwisata ke Tawangmangu saja tidaklah cukup. Badan
rasanya sakit semua kalau tidak disalurkan dengan pelampiasan naik gunung. Bersama
seorang teman sekantor, yang belum pernah sekalipun naik gunung tapi punya
semangat luar biasa, Danoyo, kami sepakat meninggalkan kenyamanan hotel bintang
empat ini untuk menuju Lawu esok hari.
Jumat
pagi, saya telfon teman saya yang dulu menemani mendaki Mahameru, Izhar. Ia
jauh lebih bijak di atas Gunung sekalipun usianya 3 tahun lebih muda dari saya.
Kebetulan juga sudah lama kami tidak
naik gunung bersama. Ia langsung berangkat Jumat malam dengan bus dari Jawa Timur
dan sabtu pukul 4 pagi ia mengabarkan kalau sudah tiba di Terminal Tirtonadi,
Solo.
Terminal Tawangmangu, 21 Sept 2013 |
Minggu,
22 September 2013
Peta jalur pendakian Gunung Lawu Jalur Cemoro Kandang |
Semalam
saya pakai sleeping bag satu untuk berdua karena memang cuma bawa itu, dan
sejatinya tenda ini pun kapasitasnya hanya untuk dua orang, tapi ya mau
bagaimana lagi, daripada mati kedinginan. Semalam, di tenda yang sempit ini,
saya kram berkali-kali sehingga harus bangun berkali-kali pula. Tiap kali saya
bangun, pasti Izhar dan Danoyo sama-sama sedang ngelindur. Menceracau tak jelas
bersahut-sahutan. Haha. Memang dalam dunia medis, ngelindur itu berpotensi
besar terjadi kalau Anda sedang terlalu capai dan tidur Anda tidak benar-benar
nyenyak.
Tak ada tripod, batu pun jadi using self timer |
Sunrise
di setiap Gunung tak pernah sama. Lautan awannya pun tak pernah sama. Oleh
karena itu, banyak orang-orang yang selalu rela bangun sebelum subuh meninggalkan
sleeping bag yang hangat menerjang hawa dingin menuju puncak setiap Gunung
untuk menikmati detik-detik sang Surya muncul dari ufuk timur.
Puluhan
orang sudah mengelilingi tugu Puncak Hargo Dumilah saat itu. Bagi yang baru tiba, kebanyakan langsung sujud syukur,
lantas berfoto-foto dari delapan penjuru mata angin. Kami bertiga sih tidak sujud syukur, karena puncaknya telah kami gapai
kemarin malam.
Bagi
yang tidak membawa tripod, siap-siap fotonya goyang semua. Dinginnya udara
ditambah angin kencang di Puncak yang terbuka bebas tanpa vegetasi membuat
tangan tak pernah berhenti bergetar. Susah untuk sekedar memegang kamera dengan
stabil, bahkan untuk memencet tombol shutter saja kesulitan karena jari jemari
seperti mati rasa.
Kami mencari titik yang agak sepi untuk
menunaikan sholat subuh di 3.265 mdpal ini.
Beralaskan matras, kami tunaikan kewajiban kami sebagai hamba dari Sang
Pencipta Yang Maha Agung.
Allah yang Maha Pengasih,
Yang telah mengajarkan al-Quran
Dia menciptakan manusia,
Mengajarnya pandai bicara
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,
dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,
agar kamu jangan merusak keseimbangan itu,
dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah amu mengurangi
keseimbangan itu.
Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya,
di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang memiliki kelopak mayang,
dan biji-bijian yang berkulit dan bunga yang harum baunya.
Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar Rahman 1-13)
Praktis
saya meneteskan air mata ketika teman saya sebagai imam membacakan surat
tersebut dalam subuh kami. Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kami dustakan?
Air mata atas rasa syukur, haru, takjub, bahagia, bercampur menjadi satu
mengingat betapa sayangnya Ar Rahman kepada tiap hambanya. Terlebih ketika saya
memutar flashback ingatan ketika kami memulai pendakian ini, kemarin…
Cokro Srengenge |
Tangerang Selatan, 13 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment