Sabtu,
21 September 2013
Lama
kami berdiri menanti bis yang menuju arah Terminal Tirtonadi di Jalan Adi
Sucipto. Banyak bis berseliweran tapi kebanyakan adalah bis karyawan. Ah ya,
kami patut bersyukur, meskipun kami adalah pekerja pemerintah, tapi hari libur
kami ada dua hari, Sabtu dan Minggu, cukup untuk planning trip jarak pendek.
Tidak seperti guru atau bahkan karyawan swasta yang weekend nya biasanya hanya Minggu.
Karena
carrier kami berat dan tak jelas kapan bis nya datang, kami putuskan naik
taksi. Rp 30.000, untuk bisa sampai Tirtonadi. Sebagai info, taksi di Solo
tidak pakai argo, jadi siap-siap menawar ya.
Izhar (kiri) |
Kami
lanjutkan dengan angkot putih dengan ongkos Rp10.000 bersama ibu-ibu yang
pulang belanja dan 5 pendaki lainnya dari Jogja. Tanjakannya ekstrim Bro,
lumayan ngeri juga naik angkot berdurasi 45 menit itu.
Untuk
mencapai puncak Lawu sebetulnya ada tiga jalur pendakian, yaitu cemoro kandang,
cemoro Sewu, dan satu lagi dari candi Cetho. Kata Mas-mas pendaki di angkot,
Cemoro Kandang lebih ‘bersahabat’ dan landai sementara Cemoro Sewu lebih
ekstrim tanjakannya. Kosekuensinya, di Cemoro Kandang jalurnya lebih panjang
dan normalnya ditempuh dalam 8 jam
sedangkan Cemoro Sewu cukup 6 jam saja. Kami, yang berprinsip “alon-alon waton
kelakon” lebih memilih Cemoro Kandang karena saya tahu betul, meski lebih
cepat, tapi usahanya pasti lebih berat kalau melewati Cemoro Sewu. Hehe.
Apalagi kami sudah tidak muda lagi, sayang dengkul ini. Tsaaah.
Barang-barang
yang tidak berguna termasuk kemeja, batik, dan pantofel kami titipkan di pos
bawah. Pukul 10.40, setelah berdoa dan pemanasan secukupnya, kami berangkat.
Dari
pos cemoro kandang ke Pos I, Taman Sari Bawah (2.300 mdpal) memakan waktu
sekitar 1 jam. Musim kemarau yang cukup pajang membuat debu tanahnya
beterbangan ketika diinjak. Siapkan masker Anda. Musim kemarau juga membuat
sepanjang perjalanan ditemani pepohonan yang tak berdaun. Batangnya
kehitam-hitaman mirip hutan mati di Papandayan, tapi ini lebih lebat.
Ranting-ranting pohon berserakan di sepanjang jalan.
Setelah
istirahat sejenak di Taman Sari Bawah, kami teruskan perjalanan. Satu jam lagi
untuk sampai Pos II, Taman Sari Atas (2.740 mdpal). Masih setipe dengan rute
sebelumnya yang tanahnya berdebu dan pepohonan meranggas, tapi sesekali pohon
besar bisa kita jumpai. Saat itu matahari tepat di atas ubun-ubun. Di Taman
Sari Atas, kami bertemu dengan empat pendaki, 2 cowok, 2 cewek.
Akhirnya, setelah tak satupun kami jumpai pendaki yang berpapasan turun sejak
tadi…
Dengan
keempat orang tersebut kami mendadak merasa dekat sebab kami sering sekali berpapasan
dan susul menyusul di tengah perjalanan Pos II s/d IV saat break.
Dari
pos II, ujian berat dimulai. Tanjakan curam semakin sering dijumpai di jalur
yang dinamai Parang Gupito ini. Kaki saya kram tak jauh setelah istirahat di Pos
II. Cukup lama saya meringis kesakitan, aneh, padahal sebelumnya kalau naik
gunung saya belum pernah kram kecuali saat tidur. Setelah meluruskan kaki sejenak, kami
lanjutkan perjalanan.
Duuh, rasanya Pos III jauh sekali. Sudah 1,5 jam tapi belum ada
tanda-tanda akan sampai. Kerier saya terasa makin berat saja.
2
jam kemudian kami berjumpa pondokan di kanan jalan, pos Bayangan. Awalnya kami
kira itu Pos III, tapi ternyata bukan. Kata pendaki lain, memang pos II ke pos
III adalah jalur paling panjang. Sama seperti Semeru dulu di jalur Landegan
Dowo.
Dari
pos bayangan saya kram lagi dan kali ini lebih awet. Tiap tanjakan yang agak
ekstrim, saya mesti paling lambat karena kaki saya sakitnya bukan main. Hampir
saya menyerah dan menyuruh kedua teman saya jalan duluan tapi saya diam saja,
nggak enak kalau mereka jadi batal melanjutkan perjalanan juga gara-gara
menangkap sinyal pesimis saya.
Sejam
kemudian kami sampai di Pos III, Sendang Panguripan 2.780 mdpal. Kami bertemu banyak
pendaki yang istirahat di sana. Dari sana kita bisa melihat jurang
Pangarip-Arip.
Selepas
Pos Sendang Panguripan, vegetasi mulai didominasi dengan semak-semak yang tidak
terlalu tinggi tapi rimbun. Udara mulai berganti dingin. Edelweiss pun mulai bertebaran
di sepanjang jalan. Sumpah, banyak bener jumlahnya dan mereka berserakan aja gitu di sepanjang jalur pendakian. Berbeda dengan Semeru atau
Papandayan yang baru dijumpai di lahan datar (Jambangan dan Kalimati untuk
Semeru serta Tegal Alun dan Pondok Salada untuk Papandayan). Matahari yang
sudah condong ke barat membuat udara makin dingin.
Kami
tidak istirahat terlalu lama agar bisa segera tiba di warung Mbok Yem karena
kami tidak membawa kompor dan hanya mengandalkan warung Mbok Yem untuk mengisi
perut nanti malam. Warung itu adalah sasaran sebagian besar pendaki untuk
menginap sebelum summit esok paginya.
Di ujung jalur Ondo Rante, rute terberat menurut kami |
Sampai
Pos IV, 3.025 mdpal, di sekitar sudah mulai gelap. Ada beberapa pendaki yang memilih camp
di Pos IV ini. Tempatnya cukup luas untuk menampung beberapa tenda. Mereka
menyarankan kami untuk menginap di sana saja tapi kami mantapkan untuk terus
naik karena kami mulai kelaparan dan tak tahu bisakah bertahan sampai esok pagi
tanpa kompor dan logistik. Bekal kami cuma informasi dari mereka bahwa perjalanan ke puncak
dan warung Mbok Yem berlawanan arah di sebuah persimpangan nanti setelah sekitar 1,5
jam perjalanan dari Pos IV. Kami didoakan semoga selamat dan diwanti-wanti agar turun ke
Pos IV saja kalau terjadi apa-apa. Terharu sekaligus merinding.
Senter
kami nyalakan, dan cuma ada dua dengan salah satunya redup kayak mau habis
baterainya. Pikir saya, agak ngeri juga nih membayangkan kalau ada persimpangan
yang sama-sama tampak meyakinkan. Sejam berlalu tapi tak tampak ada tanda
warung Mbok Yem ataupun ketemu pendaki lain. Jangan-jangan kami tersesat,
jangan-jangan warung Mbok Yem memang tutup, jangan-jangan…
Hua,
finally ketemu juga dengan persimpangan. Yang satu ke Hargo Dalem (apa itu? belum pernah saya dengar sebelumnya!), yang satu ke
Puncak. Inikah arah ke warung Mbok Yem? Kami tak tahu. Gelap dimana-mana.
Sinyal HP nihil, mau buka internet gak bisa, teriak-teriak dan lampu SOS headlamp tak ada yang
membalas. Kami putuskan terus ke puncak, sebab (pikir kami) nanti pasti terlihat
lampu-lampu tenda dan warung dari atas.
Jalanan
terus menanjak dan banyak sekali persimpangan yang membuat saya dan Izhar
beberapa kali harus berpencar untuk sekedar mencari jejak sepatu atau sampah di
jalur tersebut guna memastikan bahwa itu adalah jalur yang benar. Setengah jam berlalu tapi masih tak ada tanda kami berjalan tepat
ke warung. Sampai di persimpangan kesekian kami terduduk, kecapekan, kedinginan,
dan kelaparan. Saya merasa berdosa mengajak kedua teman saya ke Lawu tanpa
persiapan matang, bahkan info dari internet yang biasanya saya hafal sebelum
naik, belum saya baca tuntas. Apalagi kepada Danoyo yang baru sekali ini naik
gunung. Ia diam saja sepanjang perjalanan dari Pos IV. Diam lama, membuat udara
dingin makin menusuk. Sudah hampir mati rasa ini jari-jari kami kalau tidak
digerak-gerakkan.
Dalam
saat genting tersebut, kami putuskan untuk terus naik daripada berhenti dan
teriak-teriak tanpa ada yang menyahuti. Toh pasti kalau kita naik terus, akan
ketemu puncak kan?
(tidak sengaja) summit malam-malam |
Akhirnya,
kami turun sedikit untuk mencari tempat mendirikan tenda untuk istirahat malam
ini. Oreo dan sedikit roti tawar kami bagi rata sebagai pengganjal perut dan
sumber panas tubuh untuk malam itu. Kalau di hotel kemarin, biasanya kami makan malam prasmanan
outdoor di pinggir sungai buatan dengan live music dan bendera-bendera motif
sarung seperti di Bali yang tertiup angin sepoi-sepoi. Duh tapi oreo dan roti
ini jauh lebih nikmat kok, sungguh!
Minggu,
22 September 2013
Awesome Partners |
Setibanya
di warung, kami pesan nasi pecel lauk telur ceplok Rp8.000,00. Rasanya? Ini adalah
yang pecel terbaik yang pernah saya makan, sebabnya lebih karena proses untuk
bertemu dengan pecel ini sih yang susah, jadi terasa nikmat pol. Di dalam
warung, puluhan kantung tidur pendaki belum dibenahi. Debu lantai yang
beterbangan ditambah asap perapian kompor membuat penat tempat ini. Kalau bawa tenda,
kompor, dan logistic, mending jangan memilih tidur di sini deh. Bising dan
Sumpek.
Usai
makan, kami bergegas turun. Rupanya di Pos IV kami ketemu lagi dengan rombongan
semalam yang ternyata nggak jadi Summit tadi pagi. Katanya capek, sayang sekali, padahal
tinggal 2 jam lagi naiknya.
Turunnya,
kami ngebut setengah berlari. 3 jam sudah sampai cemoro kandang. Padahal kami
sering berhenti foto-foto dulu. Oiya, di sepanjang perjalanan, biasanya pendaki
akan dikawal burung-burung jinak (cantigi gunung kalau tidak salah) yang
berjalan di depan kita.
Meskipun
banyak kejadian tak biasa selama kemarin, tapi saya sungguh bersuka cita untuk
semua pembelajaran dan pengalaman baru yang saya dapatkan. It was really
awesome mountain, partners, sunrise, sunset, and Hargo Dumilah. Overall, I love this journey.
Tangerang Selatan, 20 Oktober 2013, 01.10 dinihari
Cerita Sebelumnya di: Belajar dari Lawu (bagian 1)
No comments:
Post a Comment