Penanggungan terletak di Kabupaten Mojokerto, puncaknya
terlihat dari rumah, tapi (sebelumnya) belum pernah saya berkesempatan
menginjakkan kaki di sana. Hujan deras adalah faktor yang sering membuat rencana-rencana
sebelumnya selalu gagal.
subuh di puncak bayangan |
semeru di batas horison |
a process |
...tak perlulah aku, keliling dunia... |
punggungan puncak penanggungan |
gua, dekat puncak |
Idul Fitri, 1434 H saya mudik ke kampung halaman dari
Jakarta (ecie mudik). Selama puasa di rantau tak pernah sakit, begitu lebaran,
berbagai macam makanan dan minuman berebutan masuk perut. Jadilah, badan
rasanya nggak enak semua. Kalau sudah begini artinya saya perlu ‘pelampiasan’
untuk jalan-jalan entah kemana.
Terlintas tiba-tiba, hey Penanggungan! Sudah semingguan di rumah tidak hujan,
pasti jalurnya nggak licin.
Bersama 2 teman, saya berangkat pukul 22.30 H+1 Lebaran.
Padahal tidak ada persiapan khusus, tenda, jaket, dan semua peralatan pendakian
lainnya tertinggal di kosan. Karena tidak ada kompor, saya bungkus makanan
untuk besok pagi di puncak.
Kami pilih jalur Trawas yang umum dipakai karena jalurnya
cukup ‘nyantai’. Setelah tiba di pos penitipan sepeda, ternyata masih tutup.
Maklum, masih suasana lebaran. Rasanya, kami pendaki pertama yang naik pasca
puasa kemarin…
dia request, fotonya minta dipajang Ferdi, 23 tahun, lajang, siap jadi porter sekaligus pendamping Anda |
Sekitar pukul 24.00 kami mulai mendaki. Senter dinyalakan,
MP3 dibunyikan biar mengurangi kesan spooky. Hehe. Perjalanan dimulai dengan melewati
ladang penduduk di kaki gunung. Cukup gelap ditambah pengetahuan tentang
tumbuh-tumbuhan saya yang kurang baik membuat saya cuma megenali tanaman bambu,
lamtoro, dan singkong di sepanjang 2 km an pertama. Semakin lama, tanaman makin
lebat dan berakhirlah vegetasi ladang menjadi hutan. Jalanan mulai terjal dan
hanya cukup untuk satu orang. Rupanya, jalur ini memang jalur aliran air juga.
Kebayang kan betapa licinnya pendakian sehabis hujan, apalagi saat hujan.
Setelah 2 jam perjalanan, di beberapa titik terbuka
terhampar ribuan lampu rumah penduduk yang terlihat cantik. Beberapa kali kami
break sekedar untuk menikmati pemandangan lampu dari ketinggian.
partner in crime! |
alhamdulillah, |
Pukul 3, sampailah di puncak bayangan. Di depan terhampar
jurang berpendar yang memeluk ribuan lampu kota, sedang di belakang, berdiri
senyap dalam gelap puncak sejati Mahameru, Puncak Penanggungan.
Kenapa saya katakan Penanggungan adalah Puncak Sejati
Mahameru? Sebab dalam mitos dikatakan bahwa ketika para dewa mengangkut Gunung
Meru dari India ke Jawa dan diletakkannya di tempat Gunung Semeru sekarang,
Pulau Jawa jadi tidak seimbang miring ke timur. Akhirnya, dipotonglah sebagian
pucuknya dan diletakkanlah di tempat Gunung Penanggungan sekarang agar Pulau Jawa
menjadi stabil. Mitos ini juga dikaitkan dengan alasan banyaknya candi yang
tersebar di punggungan Gunung Penanggungan yang akan dijumpai kalau kita
mendaki via Jalur Jolotundo. Jalur itu terkenal mistis dan tidak
direkomendasikan daripada jalur Trawas.
Sesampainya di Puncak Bayangan pukul 3.30, perut ini
berontak minta makan. Akhirnya bekal yang sejatinya untuk sarapan, saya makan
saat itu juga. Usai makan, terbitlah ngantuk…
puncak, terlihat dari puncak bayangan. |
Jadilah kami bertiga beralaskan ponco, tidur
berdesak-desakan agar hangat. Udara semakin dingin ditambah angin gunung dari
atas yang menerpa sekalipun kami berlindung di balik semak. Brrrr, jangan
sekali-kali meremehkan Gunung deh. Mending persiapan yang matang sebelum naik.
Oiya, tidak ada sumber air sedikitpun di sini, jadi bawalah air sesuai
kebutuhan.
Pukul 5, dinginnya sudah tak tertahankan membuat kami
bangun, sholat, dan persiapan summit. Jalur summit menanjak dari awal.
Kemiringannya berkisar 30-60 derajat. Jalurnya kombinasi batu kecil, besar dan
tanah humus dengan kiri kanan ilalang. Di tengah-tengah matahari sudah terbit,
hihi, telat deh nonton momen sunrise di puncak. Nun jauh di atas awan sebelah
selatan, puncak Mahameru menyapa. Di barat, puncak Arjuno dan Welirang dengan
anggun menyapa seolah berkata “ayo, kapan-kapan kemari…”
Sebelum puncak, jalurnya penuh batu-batu besar dengan
beberapa batu membentuk kombinasi gua yang bisa dipakai berlindung untuk 3
orang. Kalau tak bawa tenda (seperti kami) mending camp nya di gua batu itu.
Pukul 6 kami sampai di puncak memanjang. Lampu kota berganti
dengan atap deretan vila di Trawas dan Pacet. Surabaya di utara, Pasuruan di
timur, deretan pegunungan Tengger + Semeru di selatan, dan gugusan Arjuno
Welirang di Barat. Alhamdulillah, Penanggungan 1653 mdpl berhasil dikunjungi.
What’s next? J
No comments:
Post a Comment