"Asal dari mana?"
"Dari kota paling tentram, rumah segala rindu, Jogjakarta."
Jawab seorang teman Saya yang saat ini bekerja di Waingapu,
NTT.
|
welcome 'home' |
Sejenak saya berpikir bahwa sepertinya alasan itu juga yang
akan saya jawab kalau ditanya, “kenapa sih kok seneng banget main ke Jogja?”
Betapa banyak tulisan saya tentang catatan perjalanan di sana sejalan dengan
jumlah kesempatan ke Provinsi yang (super) komplit destinasinya itu.
Terakhir ke sana, April 2013 setelah menghadiri pernikahan
teman di Magelang.
Bangun untuk sholat subuh di kampung Muhammadiyah Suronatan
Kota Jogja sungguh mudah bagi seorang muslim yang tinggal di sana. Adzan
bersahut-sahutan dari pengeras di menara masjid ditambah para tetangga yang
berduyun-duyun memenuhi jalan ke masjid membuat tenteram hati di permulaan
hari. This going to be a good day. Sepulangnya, suara tilawah mengalun dari
setiap jendela rumah-rumah tua mendominasi indera pendengaran.
Di belakang masjid, ada persewaan sepeda onthel, per jam
Rp3.000,00. Well, pasti menarik gowes jam 5 pagi di jalanan Jogja yang masih
sepi. Kuayun sepeda, bersamaan dengan becak-becak dan motor membonceng ibu-ibu.
Sepertinya ke pasar.
Perhentian pertama, KM 0. Pictures tell more than words.
|
gedung BNI yang fotogenik. KM 0 |
|
rehat sejenak, menikmati perempatan yang sepi |
Selanjutnya ke alun-alun lor dan Kampung Ngasem. Rute becak
yang biasanya ramai itu, kini sepi dan terlihat aslinya. Untuk sejenak,
bangunan-bangunan itu istirahat sebelum agak siang nanti, dijubeli ribuan orang
yang belanja bakpia dan kaos dagadu. Oiya, jadi ingat, kalau mau lihat kampung
pembuatan bakpia, ke Kampung Pathuk lah. Di sana ada gang yang hampir semua
rumahnya memproduksi bakpia. Fresh from the oven! Dan menurut saya, bakpia
terlembut memang dari sana (mungkin gara-gara masih panas ya).
Kemudian saya meneruskan ke Pasar Burung Ngasem. Pasar
tradisional (kebanyakan menjual jajanan) yang meriah, sungguh. Turis pasti
senang kalau tahu tempat itu.
|
Di belakang pasar, ada Water Castle |
|
Gapura Ngasem |
|
Para ibu berbelanja di Ngasem |
|
teater yang baru dibangun di Puri Air |
Di belakangnya ada Puri Air (water castle, red). Pagi itu, fajar membuat dindingnya menyala merah. Dengan beberapa burung walet dan siluet gunung Merapi di kejauhan menyempurnakan lansekap simetris benteng ini.
|
Jajanan Pasar |
Menyusuri lorong bawah tanah, maksud saya ingin ke sumur gemuling yang subhanalloh, cantik sekali di iklan pariwisata visit Indonesia itu. Sayang masih kepagian, tutup.
Taman Sari pun juga tutup, tapi dari pintu belakang, saya bisa masuk ke sebagian besar bagiannya. Sama seperti Puri Air, Dindingnya tampak menyala.
|
benteng, luar biasanya arsitek jaman dulu |
|
the tunnel |
|
pintu masuk sumur gemuling, :( lagi tutup |
|
Pintu depan |
|
Pintu belakang taman |
|
those puppies playing around Taman Sari |
|
The Lumierre Swan of South Alun-Alun |
|
Soto Lentok, Lentoknya dari singkong |
|
kelihatannya Ibu ini akan bisa melalui dua beringin Apa penutupnya bolong ya? |
Dari sana, saya sarapan dulu di trotoar alun-alun lor.
Sambil menikmati soto lentok, ternyata jalanan mulai ramai. Mengakhiri
perjalanan ini, saya ke alun-alun kidul yang terdapat beringin kembar symbol
mitos yang sangat terkenal dari Jogja itu. Terpenting, Saya jingkrak-jingkrak
begitu mendapati sepeda angsa yang penuh lampu terparkir di seberang alun-alun.
Sungguh, iklan visit Indonesia itu menghipnotis dan membuat saya sampai
terobsesi mencari angsa itu di
sarangnya. Sayang, ini siang, kalau malam, yakin pasti romantis naik angsa di
jalanan Jogja.
See You Very Soon, Jogja.
Wah, keren banget Nda. Saya juga pecinta Jogja. Saya tulis juga di blog saya http://alamatblogspotsaya.blogspot.com/2013/09/5-tempat-paling-nyaman-untuk.html
ReplyDeleteSalam kenal Sanda! Hahaha
Salam kenal Adelia. Wah, kamu juga tipe orang yang-senang-melampiaskan-kegalauan lewat tulisan toh... Haha, post yang menarik De, keep writing.
Delete