salah sendiri pilih STAN
Selalu seperti ini. Sejak kuliah, kami selalu berinteraksi
dengan “ketidaktenangan” atas segala sesuatu. Jangan heran kalau kata “galau”
amatlah populer di kampus kami. Demi apa, sebuah tabloid triwulanan kampus
mengulas panjang lebar mengenai “galaumeter”-sebuah ukuran tingkat kegalauan
seseorang- dalam sebuah edisi menjelang UTS nya? Ya tak lain dan tak bukan
karena kami gemar menggalau. Eits, itu bukan tanpa sebab lho.
Ketidakpastian selalu membayangi setiap mahasiswa STAN. Nilai
yang tak transparan diumumkan, Ikatan dinas yang banyak digosipkan, IP yang tak
kunjung diupload, Penempatan yang lama (random pula), serta banyak hal lainnya.
Hal ini diperparah dengan hobi bergosip mahasiswa STAN.
Heran saya. Kampus dengan mayoritas laki-laki begini kok banyak sekali tukang
gosipnya. Tak henti-hentinya mereka mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan serta
mengkhawatirkan segala sesuatu tentang apa yang belum datang. Grup facebook
selalu ramai jadi ajang terror kiriman artikel yang mengatasnamakan kepedulian
terhadap sesama teman. Padahal, alih-alih menenangkan, artikel tersebut justru
membuat seisi grup makin bingung. Sisa percakapan di grup? Ya tentang curhatan
dan keluh kesah mengenai kondisi yang belum pasti.
Kenapa ya bisa seperti ini…
Saya yakin, dan saya tahu betul, semua mahasiswa STAN
cerdas. Minimnya arena penyaluran kecerdasan membuat kami gemar melakukan
hal-hal tak guna. Dilengkapi dengan ketidakpastian yang saya jelaskan di atas membuat hal-hal tak guna itu menjadi sangat
sering terjadi.
Minim arena? Ya, minim. Dalam perspektif saya, puluhan elkam
dan interest club yang berjibun di kampus masih belum banyak “dianggap” oleh
mahasiswa. Sekalipun, misal, banyak yang hobi IT, toh klub IT kampus
biasa-biasa saja jumlah peminatnya. Artinya, masalah bukan ada di elkamnya yang
tidak menarik, atau interest clubnya kurang banyak, Bukan! Jadi jelas masalah
ada di diri kami masing-masing.
Masuk kampus ini, dengan embel-embel pelat merahnya, sepertinya
langsung mengubah mahasiswanya secara drastis menjadi apatis. Pemikiran bahwa,
“ah, setelah lulus pasti penempatan toh? Gaji sama toh? PNS nanti kerjanya ya
gitu-gitu toh?” praktis membuat peminat kegiatan kampus berkurang secara
signifikan, dan jikapun ada yang mau ikut, lagi-lagi ya itu-itu saja.
Berbeda dengan pemikiran mahasiswa kampus non PTK. Setelah
lulus, Anda dituntut untuk benar-benar survive cari duit sendiri! Seleksi alam
hanya akan menyisakan yang terkuat dan paling siap menghadapi dunia kerja. Sehingga
mahasiswa PTN dan PTS (yang sadar) akan benar-benar memanfaatkan masa kuliahnya
untuk mencari bekal sebanyak mungkin. Dari sisi hardskill, mereka akan cari IP
tinggi bila mengejar beasiswa S2 atau perusahaan bonafit. Softskill, jelas. CV
yang bagian ‘pengalaman organisasi dan kursus’ penuh akan tampak lebih menarik
bagi HRD perusahaan. Dan pengalaman interview di berbagai kegiatan kampus
relatif akan memudahkan dalam menghadapi wawancara, setidaknya mereka tahu
bagaimana rasanya sebelumnya.
Tapi, saya sudah kerja di Kemenkeu.
Tapi, saya sudah lulus.
Tapi, saya sudah mau PKL.
Tapi, saya sudah mau tingkat tiga.
Bagaimana?
Tapi, saya sudah lulus.
Tapi, saya sudah mau PKL.
Tapi, saya sudah mau tingkat tiga.
Bagaimana?
Menyalahkan siapa? Salahkan diri kita sendiri. Siapa suruh
mengabaikan puluhan pamphlet OR elkam yang bertumpuk-tumpuk di gedung D dan E?
Siapa suruh selalu menolak diajak ngaji/acara kerohanian? Siapa suruh hanya
gulung-gulung di kasur tiap akhir pekan? Siapa suruh selalu menutup kuping
dengan segala macam sindiran baik lisan maupun tulisan seperti ini? Dan bahkan
sekarang kita menafikkan kalau “Ya, saya telah melakukan kesalahan, dan saya
mau berubah”.
Terpenting, salah sendiri pilih STAN.
My heart was left in Ali Wardhana college. Miss U so much.
No comments:
Post a Comment