Pukul 3 pagi, jalanan di depan
penginapan kami sudah ramai dilalui Hartop (Jeep besar), motor carteran, kuda,
dan pejalan kaki. Kami pun satu persatu beranjak dari tempat tidur, selain
karena terusik bebunyian (padahal alarm HP baru di-setting akan berbunyi pukul
3.30), selimut tebal juga sudah tidak mampu lagi menghangatkan saking
dinginnya.
Mandi? Oh, tidak tentu saja. Kami
hanya ambil air wudhu. Meski saya yakin saat itu (3.30) Probolinggo belum
subuh, tapi, daripada nanti tidak bisa solat di Penanjakan, kami solat saja berjamaah
dua rakaat dulu (huhu, maaf YaAllah L).
Belum setengah perjalanan, kami
sudah diturunkan ojek-an motor (forever warm~ serius, nama perusahaan abang
ojeknya adalah forever warm~ aihihi, lucu yak…) karena jalanan sudah penuh
diparkir di sepanjang jalan menanjak dan tidak tersisa lagi jalanan untuk
kendaraan bermotor. Wow, ramai sekali. Bermacam dialog dalam berbagai bahasa
membuat efek gaduh. Ditemani senter hape, kami mendaki jalanan licin bekas
hujan. Sedikit sebelum sampai di Penanjakan 2, di depan jalan terbentang tangga
yang harus antri berbagi dengan pendaki lain dan kuda tunggangan.
Saat itu gerimis, atau entah
apalah namanya, yang jelas, air dan kabut tebal terus menerus turun.
Sampai juga di sebuah dataran
agak luas yang terdapat dua buah atap peneduhnya. Itulah Puncak Gunung
Penanjakan 2 yang sering dijadikan pos observasi “Bromo’s Sunrise”. Ratusan
orang sudah berkumpul di sana. Lengkap dengan berbagai tipe kamera dan camilan,
menanti saat-saat matahari terbit dari balik Gunung Semeru, Bromo, dan Batok
yang katanya sangat indah itu.
di perjalanan, antara Penanjakan 1 dan 2 |
Pukul 5. Lautan Pasir masih
diselimuti kabut tebal. Susah untuk memastikan matahari sudah muncul atau
belum. Sesekali angin kencang menyapu kabut yang menutupi lautan pasir di bawah
Puncak Penanjakan 2. Saat itu terlihat jelas Gunung Batok yang hijau, kontras
sekali dengan Gunung Bromo yang gosong kecoklatan dan Gunung Semeru yang biru
tua di belakang keduanya. Lalu diikuti koor “wooooow” serempak dari atas
Penanjakan 2. Tapi itu sebentar saja karena sejenak kemudian kabut tebal
kembali menutup sekeliling. Begitu seterusnya sampai pukul 5.30.
Tak tahan, kami memutuskan untuk mendaki
ke atas lagi. Hanya segelintir saja yang mau mendaki jalan setapak yang curam
ke Penanjakan 1. Dan kebanyakan adalah para turis asing. Mungkin turis lokal terlalu
malas, atau terlalu mudah puas? Entahlah.
Subhanalloh, pemandangan yang
kami dapati sepanjang pendakian, indah sekali. Hamparan kebun sayur di bawah,
dipadu kelap-kelip lampu Cemoro Lawang plus bukit-bukit hijau yang mengepung
TNBTS membuat satu setengah jam perjalanan menjadi tak terasa. Sampai di puncak
Penanjakan 1, sudah pukul 7 dan memang bukan waktunya matahari terbit lagi. Tapi
dari atas sini kami memiliki daya edar yang lebih luas dan jelas karena kami sudah
ada di atas kabut dan dapat dengan mudah mengamati Semeru, Batok, dan Bromo.
Maha besar Allah |
Sooooo, beautifull |
sensasi berbeda begini yang bikin seru.
ReplyDeleteYang mana yang beautiful?yang tengah? :p
ReplyDeletededi: hah, maksud e opo?
ReplyDeleteiko: :(
bermanffan sekali informasinyaa..,karena saya tahun baru ini akan ke bromo..sedikit bingung sih dengan penanjakan 1 dan 2 nya...hhe
ReplyDeletewah iya, selamat menikmati bumi jawa timur... :D pandai-pandailah menawar harga penginapan, sewa motor/ hartop/ kuda, dan baiknya bawa jaket banyak.
Deletehappy long weekend