Friday 30 August 2013

Situs Megalitikum Gunung Padang

Seorang traveler nge-tweet bahwa ia baru saja traveling ke Peru dan mengunjungi salah satu keajaiban dunia, Machu Picchu. Tiba-tiba saya kepingin ke sana juga (that absolutely impossible for me, right now) dan segera terpikir solusinya bahwa Indonesia pun punya yang ‘mirip’ dengan itu, Gunung Padang. Hehe.

Sabtu pagi, berbekal dengan informasi dari internet, berangkatlah saya sendirian dari Terminal Kampung Rambutan. Jam sembilan naik bis, tapi praktis baru jam 10.30 bis Marita yang saya tumpangi berangkat karena ngetem berkali-kali sebelum masuk tol. Karena macet, baru pukul 15.00 saya tiba di Terminal Pasir Hayam, Cianjur. Lanjut saja naik angkot 02B ke pertigaan Joglo Baru. Dari sana, nyegat angkot 43 ke pangkalan ojek Pabedahan. Nah, dari sini, dilanjut dengan naik ojek 20km lagi. Jalannya sempit dan lumayan offroad. Pukul 16.00 saya baru naik ojek, dan tetiba mendung bergulung-gulung di atas perkebunan teh. Benar saja, baru sampai Stasiun Lampegan, hujan turun dengan deras. Demi agar tidak kemalaman dan mengejar loket situs yang katanya tutup pukul 17.00, kami teruskan ke atas.

Sampai sana, masih gerimis dan beberapa pengunjung banyak yang sudah bersiap-siap pulang. Saya pun beli tiket, dan langsung naik. Ada 2 jalur tangga naik, pertama, yang asli buatan nenek moyang dan kedua, tangga semen buatan pengelola. Bedanya? Kalau yang asli lebih curam, rute lebih pendek, sedangkan yang buatan anak tangganya lebih banyak dan memutar, tapi tidak terlalu curam.

Sore itu sih saya pilih jalan yang curam, lumayan ngos-ngosan juga. Takjubnya, sampai saat ini, jalan itu masih kokoh dan tidak bergeming meski telah dilewati banyak pengunjung. Hebat ya arsitektur purba kita. Prambanan, Borobudur, Muara Takus, dan Gunung Padang adalah buktinya.

Punden Berundak Gunung Padang terdiri dari lima teras yang dibangun dalam ukuran yang berbeda. Dibuat dari ribuan balok batu. Susunan balok batu di punden ini diantaranya bervariasi dengan pola melintang, membujur, berdiri dan dipasak dengan batu pengunci dan berterap. Kuat dugaan saat membangun punden ini para leluhur sudah sangat arif akan berbagai bentuk kebencanaan yang ada. Karena keadaan alam Jawa Barat saat itu (seperti juga saat ini) dilalui jalur sesar yang rawan akan bahaya gempa, longsor, dan letusan gunung berapi.

Punden berundak didirikan di masa lalu untuk menghormati arwah leluhur. Sebelum menginjakkan kaki di tangga pertama, para peziarah terlebih dulu mensucika diri di kolam batu sumber mata air (yang kata warga setempat tidak pernah kering ataupun banjir, konstan segitu terus). Bentuk teras dan ruang berorientasi ke Gunung Gede dan mengikuti perjalanan bulan dan matahari. Tampaknya rangkaian upacara ritual yang mereka lakukan di situs ini puncaknya dilakukan saat bulan purnama. (sumber: spanduk di papan informasi) 


Ada banyak ‘juru kunci’ di sana. Mereka rajin menegur orang-orang yang bandel naik ke atas batu, memunguti sampah, dan dengan telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung.

Petang dengan cepat turun, tapi belum puas saya menikmati situs ini, jadi saya putuskan untuk menginap saja. Lagipula ojek pun sudah tak ada jam segitu.

jalan buatan moyang,
masih kuat sampai sekarang

gelondongan batu
kiblatnya jaman purba, Gunung Gede


*foto pakai timer*
seperti biasa, gegara traveling sendiri

di atas awan...

batu gong, dalam sebuah kamar

batu gamelan, bisa berbunyi kabarnya

sunrise in siluet

pintu masuk G.Padang, 17 Agustus 2013
Demi menghemat beberapa puluh ribu untuk sewa penginapan, saya pilih mushola tempat wisata tersebut untuk menginap. Resikonya? Wuih, dingin banget Lur. Sekalipun sudah berjaket termal, kupluk, slayer, sarung tangan, sarung, dan kaos kaki, tetap kedinginan. Pantes disebut gunung…

Paginya, usai sholat subuh, saya bergegas naik, kali ini melalui tangga buatan. Di tengah perjalanan, Subhanalloh, kabut mengambang tebal di perbukitan dengan Puncak Gunung Gede dan Pangrango di batas horizon membuat bulu kuduk berdiri. Lama saya biarkan lansekap ini memenuhi indera penglihatan. Menjadikannya memori yang membuatku selalu rindu bertualang.

rel nya Lampegan
Di masing-masing teras, tanpa pengunjung, dapat dengan jelas diamati berbagai bentuk dan keunikan batuan di sana. Entah, saya paling senang mengunjungi tempat wisata di pagi buta, ketika loket belum buka, ketika belum ada satupun manusia lain di sana.

Puas mengcapture tiap sudut Gunung Padang, setelah matahari sepenggalah naik, saya turun. Seorang penduduk lokal bersedia menjadi ojek dadakan mengantar saya. Saya berpesan ke pak sopirnya, “pelan-pelan ya Pak, sayang kebun tehnya”.

stasiun lampegan dalam siluet
Sebelum pulang, mampir dulu ke stasiun Lampegan, stasiun kereta yang sudah tidak beroperasi lagi. Apa istimewanya? Jadi, tak jauh dari stasiun ini, terdapat terowongan kereta membelah bukit yang konon katanya merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia buatan tahun 1879.   
seperempat jam perjalanan kalo ke pintu satunya

kebun teh milik sosro
Rincian Biaya:
  • Bis Marita     Rp 30.000
  • Angkot 02B s/d Joglobaru    Rp 2.500
  • Angkot 43 s/d Pabedahan    Rp 8.000
  • Ojek berangkat (tawar aja sebisanya)    Rp 30.000
  • Tiket masuk    Rp 2.000
  • Nasi lauk cumi    Rp 7.000
  • Ojek turun s/d Pabedahan    Rp 25.000
  • Angkot 43 s/d Kota Cianjur    Rp 6.000
  • Total    Rp110.500
Notes: Pulangnya saya lanjut traveling ke Kebun Raya Cibodas, ke Jakarta naik angkot via Puncak-Cisarua-Ciawi-Kampung Rambutan
       

Saturday 24 August 2013

Kebun Raya Cibodas ; Amazing tapi Mengecewakan

Bagi saya, traveling/ backpacking itu selalu menyenangkan, nggak ada istilahnya sedih atau menyesal kemanapun destinasinya. Semuanya diambil hikmah dan pengalamannya.
Setelah dari Gunung Padang, saya mampir ke acara nikahan teman di Kota Cianjur. Selepas sholat dzuhur di tempat resepsi, saya naik angkot 03B ke arah perempatan tugu (yang ada patung buku di puncaknya), lalu ganti angkot biru ke Cipanas. Perjalanan menanjak terus melewati bukit-bukit. Trayek angkot ini melewati (persimpangan jalan) perkebunan teh Gedeh, Taman Bunga Nusantara, dan Istana Cipanas. Jadi kalau mau ke situ, naik angkot ini juga.

Berhenti di pasar cipanas dengan ongkos Rp 6.000, lalu saya naik angkot kuning jurusan Loji dan turun di pertigaan Cibodas, Rp 2.000. Di situ hujan deras. Begitu turun angkot, payung nggak bisa dibuka, akhirnya saya paksa, dan ‘ckrek’ patah. Saya segera naik angkot kuning juga jurusan KRC-Rarahan biar tidak semakin basah, sekitar 5 km, harganya Rp3.000. Turun di pasar oleh-oleh karena jalanan macet penuh dengan rombongan wisatawan. Jalan kakilah saya ke pintu masuk Kebun Raya Cibodas dan membayar Rp9.500 sebagai retribusinya.

peta kebun yang luas...
Kebun Raya Cibodas didirikan pada tanggal 11 April 1852 oleh Johannes Ellias Teijsmann, bersamaan dengan dibawanya pohon Kina (Cinchona casilaya) ke Indonesia. KRC mempunyai fungsi sebagai tempat konservasi, penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Terletak di kaki Gunung Gede Pangrango pada ketinggian 1300-1425 mdpl dengan luas 84,99 hektar, kebun ini telah mengoleksi 1260 jenis tanaman koleksi kebun, 262 koleksi anggrek, 98 jenis koleksi kaktus, 71 jenis koleksi sukulen, 164 jenis koleksi obat, 767 jenis koleksi biji, dan 2984 jenis herbarium (berdasarkan data registrasi per maret 2013). – Brosur Resmi KRC.
Beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi di dalam KRC di antaranya:
·         
Taman Rhododendron --- koleksi jenis Rhodonderon yang berasal dari Indonesia, Jepang, dan China.
·         
jalan air,
sayang rame banget
taman sakura itu,
biasa aja ya kalo nggak pas berbunga
Taman Sakura --- Bunganya musiman, kata brosur sih 2x setahun tiap Januari-Februari dan Agustus-September. Tapi pas saya ke sana (agustus), tanamannya meranggas nggak ada bunganya sama sekali. *apes
·       
  Jalan Air --- “dilarang mencuci mobil di sini” begitu tulisan di lokasi ini. Hah? Ada gitu emangnya? Entahlah, yang jelas, this was so much pleasant spot (if you are a kid). Jadi ceritanya, ini adalah sungai yang dipotong sama jalan aspal. Normalnya kan dibikin jembatan, tapi ini enggak. Airnya ngalir gitu aja membanjiri jalan, jadi siap-siap lepas sepatu ya kalau mau nyeberang di sini.
·         
Araucaria Avenue --- jalan yang diapit pohon Araucaria bidwilli dari wisma tamu sampai kolam besar. Serasa di filem-filem bolywood gitu. Katanya pohon-pohon ini ditanam sejak 1866.
·         
Taman Lumut --- Luasnya 1300 meter persegi dengan koleksi 134 jenis lumut << taman lumut outdoor terbesar di Asia lhoo. *yakali masa lumut ditanem indoor, yang ada gedungnya di cat biar gak lumutan.
·         
bukannya narsis, aduh malu
cuma mau menunjukkan kalo Cibogo rame bener
Air terjun Ciismun dan Cibogo --- Ciismun adalah yang terbesar sekaligus terjauh. Tingginya sekitar 30 meter. Yang dekat adalah Cibogo, tapi ya itu, ramainya minta ampun. Bahkan kalau Anda foto, besar kemungkinan backgroundnya bukan air terjun, tapi punggung pengunjung lain.
·         
Bunga Bangkai, Koleksi Paku-pakuan, Koleksi tanaman air di Kolam Besar, Hutan Alami Wornojiwo, Koleksi tanaman obat dan tanaman hias.

Awalnya saya excited sekali dengan deskripsi tentang KRC di internet. Secara nama pun, kayaknya keren maksimal. Namun… yah kecewa.

use this instead of private car
Sebetulnya sih KRC memang sangat keren, sayang pengelola dan pengelolaannya terkesan kurang serius. Pertama nih, masa iya, Kebun raya ada angkot bisa masuk dan keleleran di dalam? Enak-enak jalan kaki, menikmati udara sejuk dan tanjakan yang lumayan, eh, banyak mobil lewat dengan santainya, jadi jalan minggir-minggir deh biar gak ketabrak. Apa bedanya sama di kota kalau gitu? Polusinya pun, argh! --- Mulai badmood. Mbok ya kalau nggak kuat jalan kaki, digunakan fasilitas kereta wisata aja, ngga usah mobil dibawa sampai jauh ke dalam…

Kedua, di tempat-tempat terbuka, banyak panggung dengan orkes dangdutan yang biasa di kondangan itu. Dengan penyanyi-penyanyi berpakaian sekedarnya (padahal duingin) dan bapak-bapak yang bergoyang ikutan nyawer. Oh God, polusi suara!! Mestinya suara ngengat gunung atau kodok yang bisa bikin rileks ini malah… Badmood kedua.

kolamnya keren, tapi kalau di zoom, itu bungkus popmi
Lanjut, di pinggir kolam, pas saya mau foto-foto, bungkus p*pmie mengambang di mana-mana. Hellooo bunga teratai yang terbuat dari Styrofoam, apa kabar? Hey Indonesian travelers, please, don’t you know that there is garbage bin beside the pool? This is pool, for fish and water plant, and that is bin, for your garbage! Errr. Badmood ketiga dan saya putuskan pulang balik saja. Memang sih, 18 Agustus 2013 ini adalah penghujung hari libur sekolah paska Idul Fitri, jadi mungkin pengelolanya kewalahan menghandle ribuan pengunjung.

green everywhere
Begitu keluar KRC jam 16.00, bis-bis besar tur pariwisata sudah bersiap pulang, bergegaslah saya cari angkot turun ke pertigaan Cibodas. Baru berjalan beberapa ratus meter, sudah macet berhenti total. Setengah jam tidak ada tanda akan jalan, saya turun dan memutuskan untuk jalan kaki. Sekitar 4 km lho, untung jalannya menurun terus. Sampai bawah, sudah jalur satu arah doang ke Jakarta. Bis tak ada yang lewat! Akhirnya saya nekat naik angkot jurusan Puncak At-Taawun, pikir saya yang penting mendekati Jakarta. Lanjut angkot Puncak-Cisarua, lalu Cisarua-Tol Ciawi. Di Ciawi pun nunggunya lama. Begitu dapat (rebutan dulu), saya berdiri dari Ciawi-Kampung Rambutan dengan kondisi tol yang padat merayap dan baru sampai kosan pukul 22.30.
Moral Value nya, traveling itu selalu asyik, selama kita persiapan dengan matang, termasuk timingnya. 

    

Mendaki Penanggungan; Puncak Sejati Mahameru

Penanggungan terletak di Kabupaten Mojokerto, puncaknya terlihat dari rumah, tapi (sebelumnya) belum pernah saya berkesempatan menginjakkan kaki di sana. Hujan deras adalah faktor yang sering membuat rencana-rencana sebelumnya selalu gagal.
subuh di puncak bayangan
semeru di batas horison
a process
...tak perlulah aku, keliling dunia...
punggungan puncak penanggungan
gua, dekat puncak 


Idul Fitri, 1434 H saya mudik ke kampung halaman dari Jakarta (ecie mudik). Selama puasa di rantau tak pernah sakit, begitu lebaran, berbagai macam makanan dan minuman berebutan masuk perut. Jadilah, badan rasanya nggak enak semua. Kalau sudah begini artinya saya perlu ‘pelampiasan’ untuk jalan-jalan  entah kemana. Terlintas tiba-tiba, hey Penanggungan! Sudah semingguan di rumah tidak hujan, pasti jalurnya nggak licin.

Bersama 2 teman, saya berangkat pukul 22.30 H+1 Lebaran. Padahal tidak ada persiapan khusus, tenda, jaket, dan semua peralatan pendakian lainnya tertinggal di kosan. Karena tidak ada kompor, saya bungkus makanan untuk besok pagi di puncak.

Kami pilih jalur Trawas yang umum dipakai karena jalurnya cukup ‘nyantai’. Setelah tiba di pos penitipan sepeda, ternyata masih tutup. Maklum, masih suasana lebaran. Rasanya, kami pendaki pertama yang naik pasca puasa kemarin…

dia request, fotonya minta dipajang
Ferdi, 23 tahun, lajang,
siap jadi porter sekaligus pendamping  Anda
Sekitar pukul 24.00 kami mulai mendaki. Senter dinyalakan, MP3 dibunyikan biar mengurangi kesan spooky. Hehe. Perjalanan dimulai dengan melewati ladang penduduk di kaki gunung. Cukup gelap ditambah pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan saya yang kurang baik membuat saya cuma megenali tanaman bambu, lamtoro, dan singkong di sepanjang 2 km an pertama. Semakin lama, tanaman makin lebat dan berakhirlah vegetasi ladang menjadi hutan. Jalanan mulai terjal dan hanya cukup untuk satu orang. Rupanya, jalur ini memang jalur aliran air juga. Kebayang kan betapa licinnya pendakian sehabis hujan, apalagi saat hujan.

Setelah 2 jam perjalanan, di beberapa titik terbuka terhampar ribuan lampu rumah penduduk yang terlihat cantik. Beberapa kali kami break sekedar untuk menikmati pemandangan lampu dari ketinggian.

partner in crime!
alhamdulillah,  
Pukul 3, sampailah di puncak bayangan. Di depan terhampar jurang berpendar yang memeluk ribuan lampu kota, sedang di belakang, berdiri senyap dalam gelap puncak sejati Mahameru, Puncak Penanggungan.

Kenapa saya katakan Penanggungan adalah Puncak Sejati Mahameru? Sebab dalam mitos dikatakan bahwa ketika para dewa mengangkut Gunung Meru dari India ke Jawa dan diletakkannya di tempat Gunung Semeru sekarang, Pulau Jawa jadi tidak seimbang miring ke timur. Akhirnya, dipotonglah sebagian pucuknya dan diletakkanlah di tempat Gunung Penanggungan sekarang agar Pulau Jawa menjadi stabil. Mitos ini juga dikaitkan dengan alasan banyaknya candi yang tersebar di punggungan Gunung Penanggungan yang akan dijumpai kalau kita mendaki via Jalur Jolotundo. Jalur itu terkenal mistis dan tidak direkomendasikan daripada jalur Trawas.

Sesampainya di Puncak Bayangan pukul 3.30, perut ini berontak minta makan. Akhirnya bekal yang sejatinya untuk sarapan, saya makan saat itu juga. Usai makan, terbitlah ngantuk…
puncak, terlihat dari puncak bayangan.

Jadilah kami bertiga beralaskan ponco, tidur berdesak-desakan agar hangat. Udara semakin dingin ditambah angin gunung dari atas yang menerpa sekalipun kami berlindung di balik semak. Brrrr, jangan sekali-kali meremehkan Gunung deh. Mending persiapan yang matang sebelum naik. Oiya, tidak ada sumber air sedikitpun di sini, jadi bawalah air sesuai kebutuhan.

Pukul 5, dinginnya sudah tak tertahankan membuat kami bangun, sholat, dan persiapan summit. Jalur summit menanjak dari awal. Kemiringannya berkisar 30-60 derajat. Jalurnya kombinasi batu kecil, besar dan tanah humus dengan kiri kanan ilalang. Di tengah-tengah matahari sudah terbit, hihi, telat deh nonton momen sunrise di puncak. Nun jauh di atas awan sebelah selatan, puncak Mahameru menyapa. Di barat, puncak Arjuno dan Welirang dengan anggun menyapa seolah berkata “ayo, kapan-kapan kemari…”

Sebelum puncak, jalurnya penuh batu-batu besar dengan beberapa batu membentuk kombinasi gua yang bisa dipakai berlindung untuk 3 orang. Kalau tak bawa tenda (seperti kami) mending camp nya di gua batu itu.

Pukul 6 kami sampai di puncak memanjang. Lampu kota berganti dengan atap deretan vila di Trawas dan Pacet. Surabaya di utara, Pasuruan di timur, deretan pegunungan Tengger + Semeru di selatan, dan gugusan Arjuno Welirang di Barat. Alhamdulillah, Penanggungan 1653 mdpl berhasil dikunjungi.     

What’s next? J