Monday 21 November 2011

Memories of Bali (bukan judul film) ; Hari 1: Jakarta-Jogjakarta



Hampir satu semester penuh kami merencanakannya. Keadaan yang saya katakan sebagai “sindrom-tak ingin-berpisah” akhir-akhir masa kuliah serta kesibukan yang makin jarang membuat kami merencanakan macam-macam, backpacking salah satunya.

Rencana demi rencana mengenai tujuan backpacking terlontar (FYI, kami adalah mahasiswa yang berkuliah di Jakarta). Jadi, kota wisata belanja yang padat dan macet seperti Surabaya, Semarang, Palembang, Bandung, atau Singapura (ceile!) tidak terlalu menarik perhatian kami. Kami ingin backpacking ke daerah yang alami dan indah. Singkat cerita, pantai siung Gunung Kidul dan sekitarnya Jogja jadi alternative yang paling banyak disetujui. Waktunya, usai yudisium (wisuda resmi pihak kampus).

Manusia merencanakan, Tuhan memutuskan. Usai yudisium, ada acara di rumah. Jadi, saya batal ikut karena pulang kampung. Eh, ternyata, semuanya juga nggak jadi berangkat. Lalu, kami ubahlah rencana menjadi seusai wisuda. Dan tiba-tiba saja destinasinya jadi Bali! Kok Bali? Entahlah.

Tanggal 18 Oktober 2011 kami berangkat dari kosan di Jurangmangu, Tangsel. Hanya berdua. Kawan saya, Sinaga, dari Medan. Hanya dia rupanya di antara rombongan kami yang pernah backpacking ke Bali sebelumnya. Jadi, kami sangat bergantung padanya.

Dari kosan naik angkot ke stasiun Pondok Ranji Rp2.000,00 (bayangkan setiap saya membayar/menyebutkan nominal rupiah ada bunyi “cengkring”). Dari Pondok Ranji kami mengejar KRL pukul 5.28 pagi ke stasiun tanah abang. Masih relative sepi kalau jam segitu, sekalipun hari itu adalah Selasa/hari kerja. Sampai Tanah Abang pukul 5.58. Ya beginilah kalau terlalu bersemangat backpacking-an. Kereta Kutojaya Utara yang akan kami naiki baru berangkat pukul 7.00. Masih ada sejam lagi. Fiuh. Jadilah kami foto-foto dulu, dan setelah bosan berfoto, kawan saya-dengan-kekaguman-yang-berlebihan merekam Asmirandah dalam iklan produk sandal di TV stasiun. What the??
Pelajaran No.1: terlalu bersemangat dapat membuat Anda lupa diri.

Oh iya, tiket kereta ekonomi Kutojaya Utara kami beli dua hari sebelumnya. Rp28.000,00 tapi kena charge Rp2.000,00 karena pesan dulu. Hmm, info penting juga bahwa sejak 1 Oktober 2011 tiket kereta ekonomi dapat dipesan H-7 di stasiun online terdekat. Untuk kereta eksekutif H-40. PT KAI pun hanya membatasi penumpang kereta ekonomi maksimal 100%. Jadi, berbeda dengan sebelumnya kalau Anda menjumpai penumpang bergelantungan saking penuhnya, sekarang, tidak lagi. Benar-benar langkah yang bijak. Nice try! Selain itu, reformasi perkeretaapian yang saya jumpai adalah, tidak dijualnya tiket peron  sehingga tidak memungkinkan penumpang tanpa tiket resmi, masuk ke stasiun. Pokoknya, jadi rapi dan teratur deh. Ada lagi, di semua stasiun sepanjang pulau Jawa, selalu ada toilet resmi yang gratis. Love PT KAI, Love Kemenhub! (tapi, heran juga saya, kenapa menhubnya malah direshufle? Ah, sudahlah, itu hak pak SBY).

Sampai Kutoarjo pukul 17.00 (di jadwal pukul 15.30). Lalu, kami beli tiket Prambanan Ekspress ke Stasiun Tugu, Jogja. Rp10.000,00. Di Kutoarjo, kami kelaparan, lantas keluarlah kami ke warung yang kelihatannya murah. Saya-yang-belum-pengalaman-backpackingan memesan lauk belut (saya pikir, kutoarjo banyak sungai dan rawa, pasti belut murah ya…), dan ternyata Rp12.000,00. Shock dan langsung sakit perut saya.
Pelajaran No.2: di tempat asing, jangan coba berspekulasi soal makanan. Pilihan paling aman dalam memilih lauk adalah telur (dalam berbagai versi, entah bulat, matasapi, atau orak-arik).

Ternyata, di Kutoarjo, kami bertemu dengan satu anggota backpacking lainnya, Himawan yang asal Kebumen. Berangkat kami ke stasiun Tugu untuk bertemu kawan lainnya.
Bukit Bintang. Sesuatu.
Ternyata (lagi) Jogja sedang punya hajatan euy. 18 Oktober, rombongan pengantin putri bungsu Sultan dikirab sepanjang jalan malioboro. Kabarnya juga ada 200 angkringan gratis di sana. Tentu segala hal yang berbau gratis akan menarik minat mantan mahasiswa seperti kami. Salah perhitungan! Faktanya, “gratis” juga menarik minat ribuan pengunjung di malioboro sehingga beberapa menit saja, ke-200 angkringan tersebut sudah habis. Jadi, kami hanya ngopi Jos di samping stasiun Tugu. Pukul 22.00, kami memutuskan bahwa jam segitu masih terlalu sore untuk tidur, bahkan, ada yang ingin keliling Jogja sampai pagi kereta kami datang. Akhirnya, suara mufakat mengatakan kami jalan-jalan dulu ke bukit bintang. Subhanallah, sebuah sky city view (nggak tahu ini istilah apa…) di jalan raya Wonosari, Gunung Kidul yang bisa melihat lampu-lampu kota Jogja dari atas gunung. I’m speechless! Coba saja, dan tambahan saat itu tepat tengah malam ada banyak kembang api yang dinyalakan pengunjung sebelah. Pukul 1.00 kami pulang karena mulai masuk angin, apalagi perjalanan besok masih sangat panjang.

9 comments:

  1. Mau saya jelaskan kenapa Bali?
    Karena saya yang gembar-gembor sana-sini. Coba kamu yang ngajak, jadinya siung kali deh.

    ReplyDelete
  2. wah..bukit bintangg,,jadi pengennn o.O

    ReplyDelete
  3. Ijonk: iya tah? lha wong kemarin dedi udah berangkat sendiri2 kok. yang lainnya juga gak jelas.

    Lutvia: iya. silakan dicoba. tapi ya itu, anak gadis gak baik keluar malam2. hehe

    ReplyDelete
  4. Kita bahas yang mana ya... -___-"
    hashtagnya #Bali sando.

    ReplyDelete
  5. dengar asmirandah single lagi itu rasanya kayak iklan kopi di TV.

    ReplyDelete
  6. wek, bekas duda (herlino) masih juga mau..

    ReplyDelete
  7. klo ada rencana ke bandung, bisa hubungi saya ya

    Abert Rental
    Phone : 087722040204 / 082219181515
    Address : Komp. Taman Bumi Prima Blok P2 Bandung – 40513

    ReplyDelete
  8. ooh ternyata penikmat drakor juga, saya kira mas mas anteng berkacamata yang doyan baca aja ��

    ReplyDelete